Capres: Petugas Partai atau Petugas Rakyat?

Kolom

Capres: Petugas Partai atau Petugas Rakyat?

Agus Riewanto - detikNews
Rabu, 24 Mei 2023 14:10 WIB
agus uns
Agus Riewanto (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Akhir-akhir ini wacana tentang calon presiden (capres) sebagai petugas partai politik dan petugas rakyat menghangat dalam perbincangan publik. Salah satu elite petinggi partai politik (parpol) ada yang menyatakan capres adalah petugas partai, sementara elite parpol yang lain menyatakan capres adalah petugas rakyat.

Tulisan ini akan membedah lebih mendalam tentang kebenaran capres merupakan petugas parpol atau petugas rakyat dalam perspektif hukum tata negara yang berbasis dari pemaknaan norma dalam UUD 1945

Parpol Aktor Utama Negara

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesungguhnya istilah petugas partai atau petugas rakyat tak diatur dalam UUD 1945, maka wajar tak terdapat satu norma pun dalam UUD 1945 baik pasal, ayat, maupun bagian dari ayat yang mengatur secara langsung perihal tersebut. Namun dalam UUD 1945 hanya terdapat dua norma yang tak langsung mengatur wacana tersebut, yaitu; pertama, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Kedua, ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa peserta pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Kedua norma UUD 1945 itu hanya mengatur tentang pemberian hak istimewa kepada parpol untuk mengusulkan pasangan capres dalam pilpres dan anggota DPR dan DPRD dalam Pemilu Legislatif (Pileg) setiap lima tahun sekali. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa UUD 1945 menempatkan organisasi parpol merupakan satu-satunya pintu masuk bagi seorang warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi capres/cawapres dan caleg DPR/DPRD.

ADVERTISEMENT

Maka parpol merupakan subjek hukum penting dalam negara demokrasi, seperti dinyatakan oleh Rossiter, C. (1960) dalam The Pattern of American Politics: In Parties and Politics in America bahwa no democracy without politics, no politics without parties (tidak ada demokrasi tanpa politik dan tidak ada politik tanpa partai politik). Karena realitasnya capres dan caleg DPR/DPRD merupakan delegasi parpol untuk menduduki posisi penting negara di eksekutif dan legislatif sebagai pengambil kebijakan jalannya pemerintahan.

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) memang untuk menjadi capres adalah hak setiap warga negara, namun hak tersebut tidak serta merta dapat dilaksanakan sendiri, melainkan harus melalui pintu pencalonan oleh parpol. Maka yang memiliki hak konstitusional dalam pencalonan capres adalah parpol, bukan setiap warga negara. Sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK No. 007/PUU-II/2004, ada pembedaan antara hak konstitusional warga negara dengan hak konstitusional parpol.

Parpol Pengusung dan Pendukung

Dalam ketentuan Pasal 6A UUD 1945 tersebut diatur mengenai peran khusus parpol baik secara mandiri maupun berkoalisi dengan parpol lain untuk mengajukan pasangan capres. Oleh karena itu dalam UUD 1945 secara eksplisit mengatur bahwa terdapat dua jenis parpol, yaitu parpol pengusung dan parpol pendukung capres.

Parpol pengusung adalah parpol yang memenuhi persyaratan ambang batas tertentu (presidential threshold/PT) untuk mendaftarkan secara administratif capres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pilpres. Sedangkan, parpol pendukung adalah parpol yang tidak memenuhi PT dan tidak terdaftar secara administratif di KPU, namun hanya ikut serta memberi dukungan agar capres menang dalam kompetisi pilpres.

Dalam perspektif konstitusi, parpol pengusung capres tidak sama dengan parpol pendukung atau parpol lainnya. Parpol pengusung capres mendapatkan hak istimewa sekaligus wewenang strategis yang bersumber dari atribusi langsung dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Capres Kader Parpol

Dengan demikian seorang capres merupakan kader parpol bukan perorangan sejak pencalonan pilpres hingga kelak menjabat sebagai presiden. Dalam perspektif UUD 1945, sesungguhnya parpol pengusung mempunyai relasi yang sangat erat dengan capres. Karena capres ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme internal organisasi parpol. Dalam proses pencalonan, ada parpol yang berstatus pengusung dan parpol yang hanya berstatus pendukung.

Maka, lazimnya dalam praktik demokrasi seyogianya parpol hanya mencalonkan kadernya sendiri, bukan mencalonkan kader partai lain. Itulah sebabnya, mengapa hubungan antara parpol pengusung dengan capres tak berhenti di pencalonan, melainkan kelak hingga terpilih dalam pilpres dan menjabat sebagai presiden. Sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, hanya organisasi parpol yang dapat mengusulkan pasangan capres saat presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya.

Maka visi-misi dan program kerja yang akan diusung capres dalam kampanye pemilu di pilpres dan hendak dilaksanakan saat terpilih sebagai presiden adalah cerminan visi-misi dan program berdasarkan ideologi parpol pengusungnya saat pencalonan. Agenda kebijakan presiden mencerminkan karakteristik platform politik parpol pengusungnya. Kelak presiden terpilih tetap kader parpol pengusung. Presiden tak terputus relasinya dengan parpol pengusung.

Sesungguhnya program dan kebijakan presiden adalah platform parpol. Bahkan Visi-misi capres di pilpres dituangkan dalam visi-misi capres menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Adapun visi-misi capres kelak akan dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) setiap 5 tahun sekali. Terakhir visi-misi capres kelak akan diterjemahkan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) setiap tahun oleh Bappenas.

Capres Terikat Parpol

Di titik ini, ketika seorang warga negara direkrut menjadi capres oleh parpol pengusung, maka secara sadar warga negara tersebut mengikatkan dirinya dalam komitmen perjuangan demi kepentingan bangsa dan negara melalui garis, asas, ciri, dan cita-cita yang telah dibangun parpol sesuai ketentuan Pasal 9 UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Dengan demikian, seorang capres adalah kader parpol terbaik yang diberi mandat untuk menjadi duta dan petugas parpol dalam kompetisi pilpres. Relasi capres dengan parpol pengusung terus berlanjut karena kelak akan menggunakan ideologi dan parpol untuk menjadi referensi menjalankan roda pemerintahan saat terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

Tak Ada Dikotomi

Dalam memaknai konstruksi UUD 1945 sesungguhnya seorang capres kelak terpilih menjadi presiden, maka ia memanggul dua tugas sekaligus, yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara yang akan dijabarkan keduanya sebagai berikut. Pertama, capres adalah petugas/delegasi/kader parpol sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Presiden pun merupakan simbol ideologi parpol di pemerintah. Bahkan ideologi parpol menjadi referensi utama rencana pembuatan program dan kebijakan dalam menjalankan roda pemerintah.

Presiden sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang sehari-hari merancang kebijakan strategis sesuai visi-misinya saat kampanye pilpres yang sesuai dengan RPJPN, diterjemahkan dalam RPJMN, dan dilaksanakan melalui RKP setiap tahun yang dilaksanakan secara konsisten oleh kementerian, lembaga negara struktural dan non struktural bahkan oleh pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota tentu saja berbasis pada kepentingan politik pemerintahan. Politik pemerintahan adalah politik yang berbasis platform dan ideologi parpol tempat Presiden berasal dalam pencalonan capres saat pilpres.

Kedua, capres adalah merupakan petugas atau representasi rakyat; ketika terpilih menjadi presiden dalam menjalankan pemerintahan wajib melayani seluruh rakyat tanpa kecuali, baik yang memilih saat pilpres maupun tidak memilihnya. Presiden dalam sistem pemerintahan presidensialisme bertindak sebagai kepala negara yang menjalankan politik kenegaraan yang netral tanpa berpihak atau negarawan (statesman).

Presiden sebagai kepala negara tunduk pada perintah UUD 1945 tanpa mempertimbangkan platform dan ideologi parpol lagi. Tindakan presiden sebagai kepala negara dapat dimaknai dari sejumlah norma dalam UUD 1945, antara lain Pasal 10 memegang kekuasaan yang tertinggi atas AD, AL, dan AU; Pasal 11 Ayat (1) dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; Pasal 12 membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR; Pasal 12 menyatakan keadaan bahaya; Pasal 13 Ayat (1) mengangkat duta dan konsul; Pasal 13 Ayat (3) menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR; Pasal 14 Ayat (1) memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA; Pasal 14 Ayat (2) memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR; Pasal 15 memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.

Maka dalam konteks pemaknaan dari norma-norma dalam UUD 1945 sesungguhnya konstitusi tidak mendikotomikan capres sebagai petugas partai atau petugas rakyat karena dalam diri presiden memanggul dua tugas tersebut secara bersamaan, yakni presiden sebagai kepala pemerintahan, sekaligus presiden sebagai kepala negara. Maka seorang presiden harus dapat membedakan tindakan dan kewenangannya kapan sebagai kepala pemerintahan dan dan saat apa ia berperan sebagai kepala negara, sebagaimana dinyatakan Manuel L Quezon: Loyality to my party end, wen loyality to my country begin (loyalitas presiden pada partai berakhir, pada saat tugas pada negara dimulai).

Agus Riewanto Assosiate Professor Hukum Tata Negara FH Universitas Sebelas Maret, Ketua Departemen Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN-HAN

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads