Kolom

Bertumpu Belanja Si Miskin

Ivanovich Agusta - detikNews
Rabu, 17 Mei 2023 15:29 WIB
Foto: Dok. Istimewa
Jakarta -

Sudah saatnya semua pihak memahami penghitungan kemiskinan Indonesia berbasis pengeluaran (belanja, pembelian), bukan yang lain. Pemahaman itu perlu diwujudkan dalam implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di pusat, daerah dan desa. Juga, oleh pemerintah, legislator, pebisnis, pegiat masyarakat, hingga warga biasa.

Ingkar dari ketepatan ukuran belanja, kelak berbuah kegagalan mencapai target nol kemiskinan ekstrem pada 2024. Sayang jika sampai terjadi, karena saat ini telah diketahui persis cara mengukur kemiskinan nasional, berikut konsekuensi program penanggulangannya.

Dipilih Ukuran Belanja

Ada beragam ukuran kemiskinan antar negara yang terpaut dengan kondisi keterandalan data. Sejak awal 1970-an, Widyakarya Gizi Nasional memastikan garis kemiskinan berbasis gizi, yaitu minimal 2.100 KKal per kapita/hari. Kiranya ini menjadi proksi kemiskinan yang mendekati absolut, karena kekurangannya langsung dirasakan tubuh.

Garis kemiskinan gizi itulah yang ditaksir lebih lanjut dalam pendapatan perkapita/bulan. Taksiran pendapatan andal jika hampir seluruh penghasilan warga negara berasal dari pekerjaan formal yang sepenuhnya dipajaki. Data pajak menandai jumlah pendapatan perkapita/bulan, sehingga garis kemiskinan dapat dihitung menurut pendapatan warga.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) melansir setidaknya 29 negara menerapkan garis kemiskinan berbasis pendapatan di antaranya, Jerman, Perancis, Yunani, Malaysia, dan Thailand. Basis data SDGs Desa juga mendata by name by address warga desa menurut pendapatannya.

Di Indonesia, penghasilan warga dari usaha dan pekerjaan informal terlalu tinggi. Nah, pajak atas ekonomi informal tidak lengkap, sehingga sulit mengandalkannya guna menaksir garis kemiskinan.

Sebagai gantinya, diselenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional tiap Maret dan September untuk mengukur pengeluaran warga. TNP2K memberitakan 49 negara mengukur kemiskinan berbasis pengeluaran di antaranya Albania, Armenia, Hungaria, Makedonia, Moldova, Turki, Iran, Srilanka, Kamboja, Bangladesh, dan Myanmar.

Pokok yang ditanyakan BPS berupa pembelian atau belanja makanan dan di luar pangan. Sekali lagi perlu digaris bawahi, perhitungan kemiskinan berbasis belanja alias pembelian dengan uang. Perolehan dengan cara selain belanja turut dicatat, namun tidak masuk hitungan.

Agar mudah mengingat, pertanyaan atas belanja makanan dibatasi sepanjang seminggu terakhir. Apakah seminggu terakhir belanja padi-padian, umbi-umbian, ikan, udang, cumi, kerang, daging, telur, dan susu. Apakah juga belanja sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan kelapa, bahan minuman, bumbu-bumbuan, maupun bahan makanan lainnya. Juga belanja makanan dan minuman jadi, serta rokok dan tembakau.

Ingatan belanja setahun terakhir ditanyakan atas pembelian untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga, aneka barang dan jasa, pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. Juga pembelian barang tahan lama, belanja untuk membayar pajak, pungutan, dan asuransi, serta belanja untuk keperluan pesta dan upacara/kenduri.

Terakhir, di Indonesia, ada pula ukuran kemiskinan lain yaitu berbasis aset yang dimiliki keluarga atau rumah tangga. Terutama, aset berupa rumah dan kendaraan. Ini diterapkan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE), dan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).

Perluasan Tunai Bersyarat

Sampai di sini perlu ditegaskan kembali, meskipun empat penghitungan kemiskinan dijalankan, namun publikasi resmi tentang tingkat kemiskinan Indonesia berbasis pengeluaran belanja warga negara. Bukan yang lain.

Rumusnya, kebijakan yang meningkatkan pengeluaran si miskin akan menurunkan tingkat kemiskinan. Contohnya bantuan langsung tunai, bantuan tunai bersyarat, padat karya, dan fasilitasi usaha ekonomi.

Sebaliknya, kebijakan yang berakibat penurunan pengeluaran si miskin justru meningkatkan angka kemiskinan. Contohnya sekolah gratis, rumah sakit gratis, pajak bumi dan bangunan gratis, subsidi BBM, subsidi listrik, perbaikan rumah tidak layak huni.

Mengimplementasikan kebijakan pengurangan kemiskinan di luar basis pengeluaran belanja tidak akan efektif. Sebuah kabupaten kaya pada 2022 mengalokasikan Rp 1,2 triliun untuk pengurangan beban pengeluaran, berupa pembagian sembako, perbaikan rumah, pembayaran uang kuliah, bantuan sekolah dan siswa. Pemda juga membangun jalan ke desa, membayar tagihan listrik, dan membelikan mobil layanan kesehatan.

Menurut BPS, garis kemiskinan kabupaten itu Rp 403.403 per kapita/bulan. Maka, seharusnya, anggaran Rp 1,2 triliun mengentaskan 251.260 warganya. Tetapi, kenyataannya, tahun itu hanya 13.120 si miskin yang terentaskan.

Yang juga menarik, terhitung ada 153.400 warga miskin. Artinya, kapasitas fiskal daerah untuk mengentaskan 251.260 si miskin mestinya mampu mewujudkan nol kemiskinan pada 2022!

Dengan menyesuaikan pengukuran kemiskinan berbasis pengeluaran (belanja, pembelian), arah kebijakan yang paling efektif adalah bantuan tunai bersyarat. Si miskin diberi uang tunai, sekaligus dipersyaratkan dibelanjakan kebutuhan primer tertentu. Misalnya, bantuan tunai bersyarat pendidikan anak, harus dibelanjakan untuk membeli buku, tas sekolah, iuran, uang sekolah. Kontrol atas penggunaan dana program bisa dipanggul pengurus rukun tetangga setempat.

Pada saat bersamaan, digerakkan literasi penggunaan uang dari bantuan tunai bersyarat. Yaitu, uang dibelanjakan sesuai tujuan program, lalu pemanfaat mengingat-ingatnya, atau mencatat pembelian, dan jumlah dana program yang dibelanjakan.

Kaidah yang harus dipegang erat: membangun yang diukur, sekaligus mengukur yang dibangun.

Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi

Lihat juga Video: Grafis Anies Vs Ganjar soal Berantas Kemiskinan, Siapa Juara?







(akd/ega)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork