Memahami Konflik Sudan dan Skenario Selanjutnya

Kolom

Memahami Konflik Sudan dan Skenario Selanjutnya

Miftahuddin Ahimy - detikNews
Kamis, 18 Mei 2023 12:00 WIB
Para peserta aksi berdemonstrasi damai di depan Gedung Perwakilan PBB di Jl MH Thamrin, Jakarta, Selasa (9/5/2023). Para pendemo mendesak PBB merespon dan tidak tinggal diam melihat perang saudara di Sudan.
Foto: Ari Saputra
Jakarta -

Sudah lebih dari sebulan konflik di Sudan berkecamuk dan belum menampakkan tanda-tanda akan selesai. Media mencatat dalam kurun waktu tiga minggu sejak pertengahan April hingga Selasa 2 Mei, konflik telah memakan lebih dari 500 korban jiwa dan lebih dari 5000 lainnya luka-luka. Ditambah lagi ada sekitar 430 ribu jiwa mengungsi ke negara-negara sekitar seperti Mesir dan Chad. PBB bahkan memprediksi jumlah pengungsi tersebut akan melonjak hingga dua kali lipat. Konflik ini juga telah menyebabkan pulangnya sebagian besar warga negara asing termasuk WNI.

Empat tahun setelah dilengserkannya Presiden Bashir pada April 2019, demokratisasi di Sudan belum juga menemukan arah menuju proses konsolidasi sipil yang matang, alih-alih mendapatkan pemerintahan sipil yang mengayomi semua golongan, Sudan justru jatuh pada kecenderungan sebaliknya, yaitu kembalinya sistem pemerintahan militer yang bisa jadi lebih kejam dari pemerintahan militer Bashir itu sendiri. Korbannya sudah pasti rakyat Sudan. Ibaratnya, sudah lepas dari mulut harimau, masuk ke dalam mulut buaya.

Pertanyaannya apa yang sebenarnya terjadi? Transisi kekuasaan pasca Bashir ke tangan militer dinilai menjadi sumber awal dari serangkaian petaka yang terjadi hingga saat ini. Setelah Bashir lengser, Transitional Military Council (TMC) mengambil alih kekuasaan dan bertanggung jawab membentuk Pemerintahan Gabungan Sipil-Militer hingga tercapainya pemilihan umum. Pada Agustus 2019 terbentuklah Pemerintahan Transisi Sipil pertama Sudan: Kabinet Hamdok yang dipimpin oleh PM Abdalla Hamdok Al-Kinani, seorang ekonom sipil yang memiliki karier cemerlang di organisasi internasional. Tugas utama Hamdok adalah menyiapkan transisi ke pemilihan umum demokratis yang dijadwalkan Juli 2023.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sayangnya, ambisi kekuasaan Militer masih sangat kuat. Hamdok dikudeta pada Oktober 2021 oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan Pimpinan Tertinggi Sudanese Armed Forces/SAF atau militer Sudan yang dibantu oleh Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo alias Hemedti, Komandan Pasukan Paramiliter Rapid Support Forces/RSF. Hasilnya, militer secara penuh kembali mengambil alih kekuasaan di Sudan. Hamdok dan beberapa menteri kabinetnya diamankan, sementara di tengah demonstrasi masyarakat yang menolak kembalinya militer, Al-Burhan justru mengumumkan kondisi darurat negara dan ia memegang pucuk kekuasaan, sementara Hemedti yang turut membantunya dalam kudeta menjadi wakilnya.

Kemesraan dua Jenderal ini memang bukan barang baru. Meskipun keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, namun sama-sama "asuhan" Presiden Bashir. Keduanya yang sangat berperan dalam melawan bermacam pemberontakan di Darfur sejak 2003. Secara latar belakang, Al-Burhan adalah seorang militer yang memiliki karier cemerlang, sementara Hemedti adalah komandan pasukan milisi Janzaweed (militansi bersenjata) yang diangkat Bashir untuk menjadi "supporting unit" militer Sudan dalam melawan pemberontakan khususnya di Darfur.

ADVERTISEMENT

Setahun belakangan kedua Jenderal kharismatik ini dikabarkan berselisih dalam pembagian kedudukan strategis dalam tubuh militer dan rencana peleburan sejumlah besar personil dari RSF yang dipimpin Hemedti ke dalam tubuh militer. Dari satu sisi, Al-Burhan menolak peleburan personel RSF ke dalam tubuh militer karena dirinya telah mencium potensi yang berbahaya apabila RSF menduduki posisi-posisi strategis di tubuh militer yang dipimpinnya. Al-Burhan tidak ingin ada kelompok militansi yang bergabung menjadi tentara nasional. Sementara di sisi lain, Hemedti dianggap menginginkan peleburan tersebut.

Penolakan Al-Burhan terhadap rencana peleburan diduga telah membuat Hemedti merasa terkucilkan. Hasilnya, tensi ketegangan di antara kedua jenderal tersebut meningkat dan akhirnya meledak. Puncaknya pada pertengahan April lalu, Al-Burhan mengumumkan operasi militer untuk menangkap pasukan RSF khususnya di kota-kota besar. RSF dianggap kekuatan yang berniat menghancurkan stabilitas keamanan dan demokratisasi Sudan. Di tengah konflik, keduanya dalam berbagai kesempatan mengklaim bertujuan menjamin proses supremasi sipil dan stabilitas nasional. Insiden tembak-menembak tidak terhindarkan lagi yang berujung konflik berdarah.

Perkembangan menggembirakan terjadi pada Selasa 2 Mei lalu. Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan menyatakan bahwa Al-Burhan dan Hemedti menyepakati gencatan senjata selama 7 hari (4-11 Mei) dengan fasilitasi Salva Kiir Mayardit, Presiden Sudan Selatan. Gencatan dimaksudkan agar proses evakuasi WNA dapat berjalan aman, terjadinya pemulihan fasilitas kesehatan hingga upaya menemukan solusi damai antara kedua pihak. Keduanya disebut akan melakukan pertemuan dalam waktu dekat untuk mengupayakan tercapainya kesepakatan.

Namun demikian, upaya untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak tidaklah semudah membalikkan kedua telapak tangan. Apalagi perselisihan ini terjadi di antara dua jenderal yang dinilai memiliki ego yang kuat dan sama-sama mengusai kekuatan bersenjata.

Selain urusan internal, pengaruh negara-negara besar seperti AS, Rusia dan negara-negara Arab di Kawasan seperti Mesir, Arab Saudi dan UAE juga sangat krusial dalam menentukan arah konflik Sudan. Tarik-menarik kepentingan terjadi. Al-Jazeera menyebutkan bahwa "intervensi dan upaya regional maupun internasional yang muncul untuk mengakhiri (konflik) serta membantu pemulihan pemerintahan sipil, telah mengakibatkan terjadinya perbedaan sikap diantara sebagian negara-negara, hal ini jelas dimengerti, sebab pada faktanya, militer dan partai politik yang ada memiliki hubungan erat dengan negara-negara yang memiliki kepentingan besar."

AS memiliki kepentingan untuk memastikan keberlangsungan proses demokratisasi Sudan, sementara Rusia memiliki tempat strategis di Laut Merah. Mesir adalah saudara terdekat Sudan yang memiliki kepentingan dagang dan pengelolaan Sungai Nil.

Pertanyaan menariknya, bagaimana kemungkinan-kemungkinan selanjutnya? Konflik dinilai akan reda apabila kedua pihak baik SAF maupun RSF menemukan kesepakatan bersama dalam pengaturan komposisi militer baru. Kesepakatan tersebut tampaknya agak mustahil tanpa adanya desakan masyarakat sipil dan seluruh pihak eksternal. Paling tidak, salah satu dari SAF ataupun RSF harus ada yang mengalah demi kepentingan bersama. Jika tidak, maka konflik akan berlanjut hingga salah satunya takluk.

Dalam kondisi terburuk, operasi militer gabungan negara-negara yang berkepentingan juga dapat saja terjadi. Dua hal terakhir tampaknya bukan menjadi solusi yang diharapkan masyarakat Sudan, meskipun kemungkinannya ada. Hal ini sangat tergantung kepada skenario-skenario yang akan dijalankan oleh para pihak yang bertikai serta peran dari negara-negara pemilik kepentingan besar di Sudan.

Output yang paling diharapkan rakyat Sudan adalah terjadinya gencatan senjata permanen atau selesainya konflik dengan ditemukannya solusi yang mengedepankan perdamaian dan kemaslahatan bersama. Artinya SAF dan RFS wajib menyepakati perjanjian yang menjamin pengaturan jabatan dalam tubuh militer secara terperinci dan adil dengan menjaga kedaulatan Sudan, serta tunduk pada konstitusi sipil.

Apabila kesepakatan belum juga tercapai dalam dua atau tiga minggu ke depan, negara-negara pemilik kepentingan dapat saja mengambil langkah-langkah yang lebih nyata untuk terus mendorong perdamaian Sudan. Minimal hingga ditemukannya solusi agar kekuatan militer hanya berpusat pada satu poros dan terjaminnya pemilihan umun. Membiarkan adanya kekuatan bersenjata lebih dari satu poros adalah tak ubahnya seperti menjaga api dalam sekam di kawasan padat penduduk, yang pada suatu saat tanpa diprediksi dapat menimbulkan "kebakaran" yang lebih besar. Skenario lain lebih simpel.

Al-Burhan menawarkan pengaturan jabatan-jabatan tertentu dalam tubuh SAF serta pada lembaga-lembaga lain yang disetujui Hemedti. Namun demikian, meskipun tidak menutup kemungkinan, nampaknya hal ini hanya akan mengulang proses negosiasi yang pernah terjadi.

Dalam kondisi terburuk, konflik akan tetap berlanjut apabila semua upaya di atas menemui jalan buntu. SAF akan kembali mengumumkan operasi militer penangkapan RSF. Kali ini bukan hanya di Ibu Kota Khartoum ataupun kota-kota besar lainnya, namun juga akan merembet hingga ke daerah. Walaupun pada akhirnya salah satunya baik SAF maupun RFS akan mengambil alih kekuasaan, namun kerugian jiwa dan materiil dipastikan akan melonjak berlipat-lipat.

Ditambah lagi bentrokan kepentingan negara-negara asing antara perbedaan sikap mereka. Apabila kondisi ini terjadi, demonstrasi sipil dipastikan akan sampai berjilid-jilid hingga semua pihak menyadari kerugian yang telah jatuh tidak akan pernah terbayarkan. Salah satu aktivis dari FFC kurang lebih menulis dalam akun Twitter-nya: "Kalau nanti ujung-ujungnya semuanya akan berdamai juga, mengapa tidak sekarang saja?"

Akhirnya, kita berharap agar konflik Sudan dapat segera menemukan jalan keluarnya yang terbaik dan memberikan maslahat bagi rakyat Sudan. Segala upaya untuk mengembalikan kedaulatan pemerintahan sipil dan pembatasan dominasi militer harus menjadi fokus utama semua pihak yang berkepentingan di Sudan. Sebab, keberadaan militer yang dominan di negara yang dijuluki Negeri Dua Nil ini tak ubahnya seperti upaya untuk membangkitkan kembali sistem militarianisme yang pernah berkuasa. Meskipun demikian, kita juga memahami bahwa fase-fase awal menuju demokrasi yang terkonsolidasi, tentu akan sulit berhasil jika hanya dilakukan oleh sipil sendiri, namun peran militer yang berintegritas juga sangat dibutuhkan.

Bagaimana peran Indonesia? Sebagai negara yang berperan aktif dalam upaya perdamaian dunia, segala bentuk upaya yang diambil pemerintah Indonesia untuk mendorong proses perdamaian dinilai akan menjadi sangat berarti bagi Sudan. Upaya tersebut dapat dikomunikasikan baik dengan pihak internal Sudan maupun dengan mendukung pihak-pihak manapun yang menginginkan terjadinya perdamaian.

Miftahuddin Ahimy Staf Bidang Politik Kedubes RI Beirut 2015-2018, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads