Mahasiswa dan (Lunturnya) Karakter Pembelajar
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Mahasiswa dan (Lunturnya) Karakter Pembelajar

Jumat, 19 Mei 2023 13:30 WIB
Muhammad Afif Nur Hanan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Mahasiswa
Foto ilustrasi: Shutterstock
Jakarta -

Lulus kuliah mau ngapain? Itulah pertanyaan sederhana yang marak dilontarkan dan terkadang membuat over-thinking mahasiswa strawberry. Pertanyaan semacam ini memang tidak dapat kita pungkiri selalu datang yang ditujukan kepada kita seorang mahasiswa yang akan segera lulus atau bahkan calon mahasiswa, karena memang bisa jadi sebagai kritik tidak langsung entah kepada siapa ditujukannya. Pertanyaan sederhana, mengapa berdampak?

Mahasiswa bukan lagi seorang siswa yang mana pembelajaran layaknya botol kosong yang selalu diisi air. Hal yang paling berbeda dalam konteks pembelajaran adalah "dari kita untuk kita" yang mana selalu dituntut interaktif dan kritis dalam ruang kelas. Namun, realitas yang terjadi adalah justru ruang kelas mahasiswa seolah belum dapat beranjak dari bangku SMA. Apalagi ditambah dengan dibenturkannya kondisi pascapandemi.

Banyak permasalahan yang seharusnya dibenahi oleh pemangku kekuasaan, juga semua masyarakat karena memang pendidikan ini sebagai hal dasar yang patut dibenahi bersama. Karena memang setiap ganti periode pemerintahan, sistem pembelajaran juga ikut berganti. Mahasiswa yang memiliki karakter seorang pembelajar sejati tentunya dengan sistem apapun, sekolah di mana pun, bukan menjadi sebuah masalah, yang menjadi masalah jika tidak belajar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belajar bukan hanya dimaknai mengikuti pembelajaran di ruang kelas dengan presensi dan mengerjakan tugas dengan cepat. Tugas yang kini dimaknai hanya sekadar mengumpulkan agar segera bebas dari tanggungan dan segera staycation setelah melahab habis tugas yang diberikan dosen, bahkan menyelesaikan dengan metode copy paste. Sebenarnya, apa orientasi dari mahasiswa ini? Apa Karakter seorang pembelajar?

Pilihan atau Kesempatan

ADVERTISEMENT

Menempuh bangku perkuliahan terkadang bukan pure keinginan dari dalam diri. Ada beberapa faktor yang dampaknya tentunya adalah kepada orientasi dan ketika berproses sebagai seorang mahasiswa. Saya mengerucutkan menjadi dua yakni, pilihan dan kesempatan. Marilah bahas satu per satu.

Yang pertama adalah kuliah sebagai pilihan, yang artinya ia memilih untuk kuliah sebagai tempat untuk menimba ilmu, entah bagaimana kondisinya baik ekonomi maupun sosial, dia akan punya berbagai jalan agar dapat menempuh bangku kuliah. Mahasiswa yang seperti ini tentu lebih besar kemungkinan berorientasi untuk benar-benar mencari ilmu dibangku perkuliahan.

Selanjutnya, yaitu kuliah sebagai kesempatan. Artinya bisa dikatakan bahwa menimba ilmu dibangku perkuliahan bukanlah keinginannya, hanya karena kesempatan yang ada. Contohnya kecil misalnya tingginya ekonomi keluarga, tentunya kesempatan untuk berkuliah sangat besar, karena tidak adanya kendala khususnya dalam segi ekonomi. Namun, biasanya kuliah karena kesempatan inilah yang orientasinya kadang dipertanyakan, hanya sekadar formalitas atau benar ingin menimba ilmu atau berproses di kampus.

Karakter Pembelajar

Jika membicarakan orientasi mahasiswa ada dua permasalahan, yaitu faktor internal dan eksternal. Permasalahan internal atau dalam diri paling mendasar adalah lunturnya karakter pembelajar. Orientasi hasil semata yang tidak memahami esensi. Sebuah tugas kuliah yang memiliki esensi sebagai sebuah metode guna pemahaman materi, hanya dianggap sebagai "kewajiban" mahasiswa kepada dosen agar mendapatkan nilai bagus.

Pun dalam konteks kuliah; kuliah hanya dimaknai secara praksis agar nilai bagus dengan penuhnya presensi. Pola pikir inilah yang semakin terparadigma dalam mahasiswa. Takut jika IPK jelek menghambat ketika kerja, takut kalah saing dengan teman se-circle-nya, dan lain-lain. Apalagi ditambah pandemi yang membawa mahasiswa semakin "rebahan" akan keilmuan dan semakin berorientasi hasil praksis.

Masih dalam konteks internal, sekarang beranjak dari ruang kelas ke konteks luar kelas formal. Mahasiswa anti dengan politik, hanya fokus dengan disiplin ilmu, acuh tak acuh akan isu yang terjadi di masyarakat, bahkan tidak tahu isi dari tri dharma perguruan tinggi. Seperti itukah mahasiswa sekarang?

Ditambah lagi dikaitkan dengan permasalahan rendahnya literasi di Indonesia. Dengan kondisi mahasiswa yang kebanyakan "lelah" hanya seputar tugas yang diberikan dosen tanpa ada keinginan menambah pengetahuan di luar disiplin ilmu, apakah Indonesia mampu meningkatkan peringkat literasi dunia? Data UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.

Menurut UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Mahasiswa yang seharusnya mampu menjadi garda terdepan, justru cuek dengan hal itu. Seperti itukah karakter seorang pembelajar?

Belum juga dikaitkan dalam konteks sosial masyarakat, meninjau dari program KKN misalnya, orientasi hanya sekadar sertifikat yang diberikan oleh lembaga pengabdian kampus. Jika memahami esensi, hal ini tidak akan terjadi. KKN sebenarnya adalah sebagai pengejawantahan tri dharma perguruan tinggi yakni pengabdian masyarakat, tapi lagi-lagi dimaknai sebagai formalitas sebagai "syarat lulus kuliah". Setelah penarikan, lepaslah hubungan dengan masyarakat.

Bukan sepraktis itu esensi dari KKN, namun KKN adalah sebagai metode mahasiswa untuk bermasyarakat dengan membawa keilmuan yang didapatkan di dunia kampus. Masyarakat merasakan manfaat, pun mahasiswa paham akan nilai-nilai dalam masyarakat yang tentunya berbeda ketika di lingkungan kampus. Setelah KKN penarikan, selesai? Praktis sekali orientasinya jika hal ini terjadi, namun memang itu yang terjadi. Hubungan dengan masyarakat seakan lepas dan lupa bahkan pernah menjadi bagian dari masyarakat di sana. Mahasiswa tidak punya rasa sosial?

Itulah konteks internal dari dalam diri. Siapa yang bisa mengubah? Kemauan dan niat diri sendiri terhadap orientasi. Karakter pembelajar dibangun dari dalam diri dengan mengubah paradigma yang sekedar orientasi hasil, menjadi orientasi terhadap esensi dan nilai, baik dalam kegiatan formal di kelas maupun di luar kelas. Pahami esensi terlebih dahulu, lakukan agar bukan sekedar hasil administratif yang didapatkan namun juga nilai-nilai yang tentunya lebih bermanfaat. Namun lagi-lagi kembali kepada diri sendiri!.

Enggan Kritis

Selain konteks internal atau yang dapat kita kendalikan, ada faktor eksternal yang tentunya hal ini tidak dapat sepenuhnya dalam kendali diri kita. Ambil contoh kecil dalam ruang kelas misalnya, ruang kritis mahasiswa yang semakin dibatasi baik di ruang kelas maupun luar kelas. Banyak realitas yang terjadi misalnya di ruang kelas, ketika mahasiswa mengkritisi materi dibatasi oleh dosen dengan dalih kendala waktu, misalnya.

Bahkan ketika perdebatan antara mahasiswa dan dosen terkait perbedaan pandangan, nilai bisa menjadi taruhannya. Padahal IPK (biasanya) berorientasi hasil. Hal semacam inilah yang justru memperkuat paradigma mahasiswa enggan untuk kritis ataupun sekadar bertanya di dalam kelas. Kondisi ini semakin memperlemah daya kritis mahasiswa, dan semakin melunturkan dialektika dalam ruang kelas.

Padahal jika ditinjau dari manfaatnya, dengan mahasiswa bertanya atau mengkritisi materi, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa itu sendiri serta meningkatkan soft skill yakni keberanian untuk berbicara di depan umum. Namun dengan adanya permasalahan tadi, apalagi berdampak kepada nilai, mahasiswa menjadi enggan dan takut untuk mencoba.

Hal apa yang dapat kita atasi dalam konteks eksternal ini? Apakah harus selalu ikut dengan kultur atau regulasi dengan takut mencoba? Tentunya kita tidak dapat mengendalikan apa kemauan dosen, misalnya. Yang bisa dilakukan lagi-lagi kembali kepada internal diri, seperti yang sudah dikemukakan di bagian sebelumnya. Pahami esensi dan value. Jika tidak berani mencoba dan takut akan risiko yang terjadi, hanya hasil administratiflah yang didapatkan yaitu nilai.

Refleksi Diri

Berbagai permasalahan di atas, bukankah justru mengarahkan agar mahasiswa nantinya menjadi "karyawan"? Ruang kritis dibatasi, literasi yang semakin kalah dengan Tiktok, orientasi hasil semata tanpa paham esensi dan value, belajar hanya dimaknai sekadar hadir di kelas, dan lain sebagainya. Maka sangat layak apabila pertanyaan di awal dilontarkan kepada mahasiswa, baik calon mahasiswa maupun mahasiswa yang menginjak semester enam.

Pertanyaan itu sebenarnya menyadarkan mahasiswa terkait orientasi, apakah sekadar kuliah untuk syarat mencari kerja atau kuliah benar-benar mencari ilmu, atau keduanya yang tentunya sangat ideal untuk diharapkan. Jika benar ilmu yang ingin kita cari, apakah membatasinya hanya di dalam kelas? Apakah masih layak kita membatasi disiplin ilmu kita? Apakah masih layak untuk kita acuh tak acuh terhadap kondisi atau isu yang merugikan masyarakat? Apakah sekadar adu outfit di kampus?

Dan, segala permasalahan yang telah dituliskan sebelumnya. Oleh karenanya, mari kita refleksi diri, sebenarnya apa orientasi kita, ingin sekadar mengikuti "kultur" atau "biasanya" untuk sekadar menjadi "karyawan" atau melawan kultur dengan "tidak ingin seperti yang lain" dalam arah konstruktif agar menjadi seorang "pemimpin" nantinya? Pilihan ada di tangan kita. Semua kembali kepada diri sendiri. Jangan membenarkan yang biasa, tapi biasakan yang benar. Sadarlah!

Muhammad Afif Nur Hanan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads