Istilah Flexible Working Arrangement (FWA) mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia. FWA pada dasarnya adalah mekanisme pengaturan kerja alternatif yang memungkinkan pegawai untuk menentukan dan mengelola berbagai bentuk fleksibilitas, seperti jadwal kerja (waktu mulai dan selesai), jumlah pekerjaan atau jam kerja, dan lokasi kerja (Chen & Fulmer, 2018).
Sebenarnya konsep FWA sudah mulai gencar diterapkan di Indonesia sejak pandemi Covid-19 melanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya implementasi Work From Home (WFH) atau Teleworking di berbagai instansi pemerintahan pusat maupun daerah. FWA dianggap sebagai mekanisme kerja alternatif masa depan yang efektif diaplikasikan dalam organisasi sektor publik.
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memberikan kepastian hukum terkait fleksibilitas lokasi dan waktu kerja dalam pelaksanaan tugas ASN.
Diterbitkannya peraturan tersebut tidak lepas dari asumsi bahwa FWA merupakan panasea terwujudnya world class bureaucracy. Lantas, apakah FWA memang benar-benar efektif dalam mewujudkan birokrasi yang profesional atau justru dapat menyebabkan masalah baru?
Keniscayaan
FWA pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan di tengah semakin masifnya perkembangan teknologi dan upaya pemerintah dalam melakukan digitalisasi. Konsep FWA menuntut terbentuknya tatanan kerja baru bagi birokrasi yang lebih agile, adaptif, dan fleksibel dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan. Tentunya FWA dipandang dapat meningkatkan produktivitas, kepuasan organisasi, dan kualitas pelayanan dari birokrasi itu sendiri.
Sebenarnya konsep FWA sudah mulai gencar diterapkan di Indonesia sejak pandemi Covid-19 melanda. Hal ini dibuktikan dengan adanya implementasi Work From Home (WFH) atau Teleworking di berbagai instansi pemerintahan pusat maupun daerah. FWA dianggap sebagai mekanisme kerja alternatif masa depan yang efektif diaplikasikan dalam organisasi sektor publik.
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memberikan kepastian hukum terkait fleksibilitas lokasi dan waktu kerja dalam pelaksanaan tugas ASN.
Diterbitkannya peraturan tersebut tidak lepas dari asumsi bahwa FWA merupakan panasea terwujudnya world class bureaucracy. Lantas, apakah FWA memang benar-benar efektif dalam mewujudkan birokrasi yang profesional atau justru dapat menyebabkan masalah baru?
Keniscayaan
FWA pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan di tengah semakin masifnya perkembangan teknologi dan upaya pemerintah dalam melakukan digitalisasi. Konsep FWA menuntut terbentuknya tatanan kerja baru bagi birokrasi yang lebih agile, adaptif, dan fleksibel dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan. Tentunya FWA dipandang dapat meningkatkan produktivitas, kepuasan organisasi, dan kualitas pelayanan dari birokrasi itu sendiri.
Berbagai studi memang menunjukkan hal serupa; FWA berimplikasi positif bagi pegawai, seperti peningkatan produktivitas, peningkatan kesejahteraan psikologis, work-life balance (keseimbangan antara kehidupan karier dengan kehidupan pribadi), peningkatan komitmen afektif, berkurangnya biaya dan waktu untuk melakukan perjalanan, peningkatan kepuasan kerja, peningkatan otonomi dan kontrol kerja dari pegawai, serta lingkungan kerja yang relatif lebih kondusif (Diab-Bahman dan Al-Enzi, 2020; Wheatley, 2016).
FWA juga berdampak positif bagi organisasi, seperti adanya proses rekrutmen dan retensi yang lebih baik serta efisiensi anggaran untuk kebutuhan kantor (Wheatley, 2016). Jika dilihat dari berbagai keunggulan tersebut wajar bila FWA dianggap menjadi solusi ampuh dalam menciptakan birokrasi yang profesional dalam menjalankan tugas pelayanannya.
Tetapi, nyatanya studi-studi tersebut masih merujuk pada keunggulan penerapan FWA di sektor swasta, bukan sektor publik. Belum banyak bukti empiris yang memperkuat justifikasi keberhasilan penerapan FWA di sektor publik.
Konsep FWA lebih sesuai diaplikasikan pada organisasi yang memiliki struktur datar dan diisi oleh pegawai yang profesional dibandingkan dengan organisasi birokrasi tradisional (Clear & Dickson, 2005). Banyak hambatan dari penerapan FWA di sektor publik, seperti rendahnya kapasitas dan kapabilitas teknologi, serta sulitnya melakukan pengawasan kerja pegawai (Choi, 2017). Pada nyatanya, beberapa hambatan tersebut memang dialami oleh birokrasi Indonesia.
Birokrasi Indonesia dikenal masih memiliki performa yang rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dalam Rapat Koordinasi Nasional Kepegawaian 2022 mengungkapkan bahwa terdapat 34,57% ASN yang dikategorikan sebagai deadwood atau memiliki kompetensi dan kinerja yang rendah.
Hal tersebut diperparah dengan situasi ASN yang belum mempunyai kapabilitas dalam penggunaan teknologi. Menurut survei BKN, terdapat 30% ASN yang tidak bekerja saat WFH di masa pandemi Covid-19 dengan alasan tidak memahami cara pengggunaan teknologi digital.
Fenomena tersebut menunjukkan tidak profesionalnya ASN dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Kondisi ini paradoks dengan FWA yang lebih mengacu pada adanya profesionalisme pegawai. Kinerja ASN yang rendah tidak lepas dari pengaruh pola pikir dan perilaku birokrat yang masih belum berorientasi pada hasil (outcome) dan kepentingan masyarakat serta rendahnya minat belajar hal baru.
Jika FWA diterapkan dengan kondisi pegawai yang belum profesional dan bertanggung jawab, performa ASN justru ditakutkan akan semakin memburuk, tidak maksimal, dan lalai dalam melayani masyarakat.
Sulitnya pengawasan kinerja ASN juga menjadi masalah tersendiri, terutama belum ada mekanisme penilaian kinerja yang terstandarisasi secara jelas sehingga pada umumnya penilaian lebih bersifat subjektif. Kurangnya umpan balik (feedback) dan sulitnya koordinasi akibat rendahnya pemahaman sebagian ASN terhadap mekanisme FWA yang berbasis digital membuat pelaksanaan tugas pelayanan menjadi terhambat.
Bila kondisi tersebut terus dibiarkan tanpa adanya perbaikan dari sisi kompetensi dan kultur ASN, FWA justru akan menjadi bumerang bagi tata kelola pemerintahan itu sendiri.
Semangat Baru
FWA pada dasarnya memang membawa semangat baru dalam upaya peningkatan produktivitas pegawai. Namun, FWA baru dapat diimplementasikan secara holistik dan maksimal di organisasi sektor publik apabila transformasi kultur dan kompetensi ASN juga berjalan sebagaimana mestinya. Transformasi kerja ASN tidak cukup jika hanya dilakukan dengan pembuatan mekanisme kerja yang kreatif, seperti FWA. Tetapi, perlu adanya re-edukasi yang disertai habitasi kultur.
Re-edukasi perlu mengubah pola pikir (mindset) ASN mengenai reorientasi penggunaan kedudukan dan kewenangan, serta pertanggungjawaban menjadi berfokus pada hasil (outcome) dan kepentingan publik. Hal tersebut harus diikuti dengan habitasi kultur berupa adanya upaya yang sistematis, seperti pembentukan program atau kebijakan yang berperan sebagai katalisator aktif dan mempunyai dampak langsung dalam melembagakan nilai dan tradisi baru yang memiliki kekuatan normatif.
Kultur baru yang terbentuk akan mendorong profesionalisme, tanggung jawab , dan motivasi belajar ASN dalam pelaksanaan FWA. Peningkatan kapasitas FWA melalui penyediaan sarana dan prasarana teknologi informasi juga disertai dengan peningkatan pengetahuan dan skills digital ASN berbasis organisasi dan komunitas kerja.
Tentunya transformasi tersebut harus didukung oleh adanya digital leadership dimana terdapat talenta-talenta yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital secara inovatif. Berbagai upaya tersebut diharapkan mampu membuat ASN lebih siap untuk melaksanakan FWA sehingga dampak positif dari mekanisme kerja tersebut dapat lebih termanifestasikan secara jelas.
Muhammad Rafli Gebrena mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia
(mmu/mmu)