Krisis Sudan dan Arah Demokrasi

Kolom

Krisis Sudan dan Arah Demokrasi

Ali Maksum - detikNews
Jumat, 12 Mei 2023 10:30 WIB
Para peserta aksi berdemonstrasi damai di depan Gedung Perwakilan PBB di Jl MH Thamrin, Jakarta, Selasa (9/5/2023). Para pendemo mendesak PBB merespon dan tidak tinggal diam melihat perang saudara di Sudan.
Aksi serukan stop perang saudara Sudan di Jakarta (Foto: Ari Saputra)
Jakarta -
Konflik kembali pecah di Sudan pada 15 April 2023 akibat rivalitas politik dua faksi militer di tubuh pemerintahan transisi sipil – militer yaitu Angkatan Bersenjata Sudan atau Sudan Armed Forces (SAF) dan organisasi paramiliter Rapid Support Forces (RSF). Bentrokan senjata dan mengarah ke perang saudara terjadi akibat kebuntuan kedua pihak dalam proses negosiasi terkait "pembagian kue" kekuasaan di pemerintahan.

Seiring dengan dukungan publik untuk memperkuat pemerintahan sipil di Sudan, RSF didorong untuk melebur satuan militernya di bawah SAF. Namun, usulan tersebut ditolak dengan berbagai alasan mulai proses transisi yang tidak sejalan hingga ketakutan kehilangan kekuasaan pasca integrasi dengan SAF. Sejauh ini menurut laporan PBB, 180 orang meninggal dunia dan 1,800 orang lebih luka-luka (Al Jazeera, 17/4).

Dalam catatan sejarah, dinamika konflik Sudan dipicu oleh berbagai masalah dalam negeri yang kompleks. Sejak merdeka 1 Januari 1956 dari Inggris, nyaris konflik pecah silih berganti akibat rivalitas antar etnis, konflik antar agama, hingga perebutan sumber daya alam (Fluehr-Lobban, 1990). Sebagaimana umumnya negara-negara Afrika, peran militer dalam politik Sudan juga sangat dominan yang seringkalai memicu konflik. Bahkan sampai saat ini tercatat telah terjadi lebih dari 15 kali kudeta dalam sejarah politik Sudan modern, hingga Sudan dijuluki sebagai "laboratorium kudeta" (Fabricius, 2020).

Para pengamat militer sepakat bahwa gaya politik militer tidak cocok dengan demokrasi dengan beberapa alasan. Pertama, rezim militer selalu menggunakan pendekatan kekerasan baik dalam merebut kekuasaan maupun menangani persoalan masyarakat. Kedua, anggaran terserap terutama untuk penguatan sektor militer dan di sisi lain kesejahteraan masyarakat terabaikan. Ketiga, akibat kultur kekerasan yang menjadi budaya dalam nafas kehidupan bangsa dan negara, pelanggaran hak asasi manusia menjadi sebuah kewajaran.

Dalam konteks konflik di Sudan kali ini, meskipun bentrokan terjadi antara dua kubu militer pimpinan dua orang jenderal yang berbeda yaitu Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (RSF) VS Abdel Fattah al – Burhan (SAF), namun yang menjadi korban tetap warga sipil. Bagaimana arah demokrasi ke depan? Ada beberapa catatan yang menarik.

Pertama, pada tataran elit, cenderung sepakat dengan sistem demokrasi dibuktikan dengan meningkatnya dukungan masyarakat akan pemerintahan transisi sipil – militer. Namun, RSF tidak siap dengan konsekuensi kelembagaan dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis di mana sipil akan lebih dominan dibanding militer. RSF mau tidak mau harus bergabung dengan pemerintahan sipil melebur di bawah komando SAF.

Kedua, merger antara dua sayap militer ini secara politik dinilai terlambat. Karena, RSF secara historis juga bentukan intelijen militer Sudan untuk melumpuhkan berbagai gerakan separatisme dan gangguan keamanan negara dengan menggunakan pasukan paramiliter. Artinya, militer Sudan tidak mau bersentuhan langsung dengan konflik yang sangat riskan menjadi sorotan internasional.

Malangnya, RSF sebagai sayap militer tidak resmi, tumbuh subur menjadi institusi yang berpengaruh dalam politik Sudan dan berperan penting dalam konflik termasuk di Darfur. Hal inilah yang kemudian ditunggangi oleh kepentingan para jenderal di balik RSF. Seharusnya, begitu konflik berakhir RSF dibubarkan untuk mendukung proses transisi ke pemerintahan demokrasi. Sayangnya, justru SAF sebagai tulang punggung keamanan negara, kemampuan militernya kalah dibanding RSF. Bahkan dengan kemampuannya, RSF bisa menyusup dan terlibat dalam konflik negara lain termasuk di Libya dan Yaman.

Ketiga, selain rivalitas dalam tataran elit militer, perseteruan SAF – RSF juga berbau kepentingan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri di bawah pimpinan Jenderal Dagalo, RSF menguasai dan mengontrol tambang emas di Sudan. RSF dalam setiap operasinya tidak segan – segan untuk menggunakan pendekatan kekerasan demi mengontrol lokasi tambang emas termasuk sirkulasi jual-belinya. Hasilnya, pada 2017 misalnya, tercatat ekspor emas Sudan menyentuh angka 40% dari total keseluruhan ekspor negara tersebut. Ironisnya, ekspor emas Sudan tersebut di bawah kendali Jenderal Dagalo dengan RSF sebagai garda terdepan untuk mengamankan sektor ini (BBC News, 20 Juli 2019).

Keempat, situasi bertambah suram karena RSF semakin ofensif dengan mengontrol berbagai objek vital terutama bandara-bandara utama di seluruh negara yang berdampak pada berhentinya penerbangan secara total. Tiga pimpinan negara yang mencoba melakukan upaya damai yaitu Kenya, Sudan Selatan, dan Djibouti mengalami kesulitan dengan tidak adanya penerbangan tersebut. Upaya perjalanan darat ketiga presiden tersebut juga beresiko mengingat turbulensi konflik semakin serius, berbahaya, dan mengarah ke perang saudara. Negara-negara besar seperti AS, Inggris, dan Uni Eropa sementara hanya menghimbau pihak yang bertikai untuk melakukan gencatan senjata dan mengupayakan dialog mencari solusi penyelesaian.

Kelima, masih kuatnya pengaruh militer di Sudan tanpa melihat aspirasi masyarakat yang menginginkan pemerintahan sipil demokratis, mustahil akan menemukan resolusi damai. Egoisme kedua belah pihak yang bertikai dinilai sebagai bentuk pragmatisme kepentingan politik dan ekonomi tanpa memikirkan keselamatan warga sipil. Secara politik tidak mau tunduk kepada pemerintahan sipil dan secara ekonomi takut pundi-pundi emasnya berkurang atau bahkan hilang jika mereka tidak berkuasa lagi.

Sebagai penutup, menarik nasihat pakar politik militer Indonesia, Profesor Salim Said, bahwa "kelelahan demokrasi merupakan pintu masuk militer ke dalam politik". Oleh karena itu, politisi sipil termasuk di Sudan perlu menumbuhkan sikap percaya diri dan integritas serta kemampuan tinggi dalam mengelola negara.

Selain itu, transisi menuju sistem demokrasi tidak akan berjalan mulus tanpa kesadaran tinggi termasuk dari kalangan militer bahwa pemerintahan yang demokratis mampu membawa kesejahteraan dan perdamaian bagi negara. Namun, jika dalam perjalanannya pemerintahan demokratis menunjukkan ketidakmampuan dan tidak berintegritas, maka akan membuka peluang militer masuk melalui kudeta yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai demokrasi. Wallohu'alam.

Ali Maksum dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Visiting Scholar IIR NCCU Taiwan (2018)

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads