Sejak pandemi COVID-19, pendidikan di desa lebih dinamis ketimbang di kota. Bahkan, indikasinya menyamai kota pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.
Bergantilah isu mutakhir untuk ditangani. Agar, dinamika pendidikan desa berkelanjutan meningkatkan kapasitas warga.
Pemerataan Pendidikan
Selama ini, pendidikan di desa dibandingkan di kota berkaitan pemerataan akses edukasi. Indikator terbaru menunjukkan mulai menguatnya pemerataan pendidikan sampai ke desa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di perdesaan memang sedikit lebih rendah dari perkotaan. Pada 2022, di perdesaan mencapai 94,21 persen, sementara di perkotaan 97,91 persen. Namun, kecepatan kenaikan angka melek huruf sepanjang 2020-2022 di perdesaan mencapai 0,57 persen, sementara di perkotaan hanya 0,10 persen.
Bahkan, perbandingan itu tidak berarti lagi bagi remaja berusia sekolah 15-24 tahun. Angka melek huruf di perdesaan 99,60 persen, dan di perkotaan 99,95 persen. Maknanya, seluruh remaja di perdesaan maupun perkotaan sama-sama kalis dari buta huruf latin.
Pembangunan SD Inpres besar-besaran sejak 1970-an, serta pemanfaatan dana desa mendukung pendidikan anak usia dini (PAUD) mulai berbuah. Sepanjang 2015-2022 desa menyelenggarakan 66.727 kegiatan PAUD, terutama pada 2017 sebanyak 32.672 kegiatan. Hasilnya, Angka Partisipasi Kasar (APK) anak yang mengikuti PAUD pada 2022 di perdesaan mencapai 35,31 persen, sedikit lebih tinggi daripada perkotaan pada 35,27 persen.
Adapun APK SD dan sederajat di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan sepanjang 2020-2022. Tahun lalu, APK SD di perdesaan setinggi 107,28 persen, adapun di perkotaan 105,49 persen. Angka di atas 100 persen menunjukkan lebih banyak murid SD ketimbang anak usia SD 7-12 tahun. Untuk masa kini, ini lebih bermakna banyak anak desa yang belum berumur 7 tahun telah masuk SD.
Pemerataan akses pendidikan berlanjut sampai SLTP dan sederajat. Di perdesaan APK SLTP dan sederajat pada 2022 setinggi 92,19 persen, sedikit lebih tinggi daripada di perkotaan pada 92,05 persen.
Kesenjangan pendidikan baru muncul pada jenjang SLTA dan sederajat. Pada 2022 APK SLTA dan sederajat di perdesaan 81,23 persen, sedang di perkotaan melaju hingga 88,70 persen.
Isu Terkini
Isu pemerataan pendidikan hingga ke desa kini beralih dari PAUD dan pendidikan dasar, menjadi pemerataan pendidikan SLTA dan perguruan tinggi. Meski sama-sama masih rendah, kesenjangan APK perguruan tinggi lebih lebar lagi pada 2022, yaitu 23,05 persen di perdesaan dan 37,13 persen di perkotaan.
Rendahnya APK perguruan tinggi krusial, lantaran senjang kesempatan kerja dan pendapatan lulusan pendidikan tinggi dengan pendidikan menengah ke bawah kian melebar.
Pada jam kerja penuh rata-rata 35 jam per minggu, upah bersih lulusan perguruan tinggi Rp 4.874.147/bulan, sementara lulusan SLTA hanya Rp 2.982.615/bulan, alias berlipat 1,6 kali. Adapun lulusan SLTP berupah rata-rata Rp 2.125.137, atau berlipat 1,4 kali dari lulusan SLTA.
Pada anak yang sudah bersekolah, muncul isu rendahnya penyelesaian pendidikan di perdesaan ketimbang perkotaan. Ada 96,85 persen anak SD di perdesaan yang berhasil merampungkan sekolah sampai mendapatkan ijazah SD, sedangkan di perkotaan 98,55 persen.
Saat beranjak ke jenjang SLTP, kesenjangan penyelesaian pendidikan melebar, yaitu 86,60 persen di perdesaan sedangkan di perkotaan 92,74 persen. Yang mengenaskan, hampir separuh anak SLTA di perdesaan tidak sampai lulus, sebagaimana ditunjukkan tingkat penyelesaiannya hanya 55,48 persen.
Isu penting lainnya mengajak anak di perdesaan bersekolah hingga jenjang pendidikan menengah. Pada 2022, anak tidak sekolah usia SD 1,06 persen. Angka ini melonjak sejak jenjang SLTP, yaitu 8,68 persen. Adapun 27,60 persen anak usia SLTA tidak bersekolah.
Menangani Pendidikan Desa
Pemerataan pendidikan diikuti partisipasi sekolah di desa mulai bisa difokuskan jenjang SLTA dan perguruan tinggi. Karena upah pekerja konsisten naik sejalan jenjang pendidikan formal, perolehan ijazah SLTA dan perguruan tinggi tetap menjadi tangga warga desa menaiki kesejahteraan.
Isu kegagalan menyelesaikan pendidikan di tengah guyuran bantuan operasional sekolah, menandai urgensi beasiswa bagi siswa perdesaan. Terutama, mulai jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
Menarik pula menyediakan kredit lunak untuk anak sekolah sampai perguruan tinggi. Kredit pendidikan disediakan pemerintah dan dikelola Badan Usaha Milik Desa. Memasifkan Kejar Paket A, B, dan C juga berguna mengatasi tantangan ini.
Problem terdalam ialah mengajak anak desa bersekolah hingga jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Jika faktor pencetusnya berkaitan kemiskinan, penyelesaiannya jitu berupa beasiswa. Dapat pula memasifkan bantuan tunai bersyarat, yaitu membantu ekonomi keluarga dengan syarat anaknya bersekolah sampai SLTA atau perguruan tinggi.
Namun, jika faktor sosial dan budaya menyebabkan anak tidak bersekolah, perlu penjelasan urgensi pendidikan formal kepada tokoh masyarakat. Mereka menjadi jembatan budaya menyadarkan kepala keluarga pengasuh anak tidak bersekolah.
Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi
(ncm/ega)