Potensi inovasi digital di Indonesia sejak lima tahun terakhir telah kerap diulas dengan penuh optimisme. Potensi ini juga diakui oleh perusahaan teknologi raksasa seperti Facebook dan Google yang terus mendorong optimalisasi dan akselerasi inovasi terutama di sektor ekonomi digital. Tidak hanya pihak swasta, pemerintah Indonesia pun cenderung melihat penetrasi internet yang terus meningkat tiap tahun, dibarengi dengan menjamurnya berbagai platform digital yang sudah jamak digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai potensi yang perlu untuk terus dikelola.
Pengelolaan ini diharapkan dapat mendorong perkembangan perekonomian maupun untuk menambah kapasitas sumber daya manusia, terutama untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam kompetisi global seperti pernah dipaparkan pemerintah terkait komitmen untuk mendukung "talenta digital" maupun terkait keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai "pemain yang diperhitungkan" bukan hanya target pasar.
Pengelolaan ini diharapkan dapat mendorong perkembangan perekonomian maupun untuk menambah kapasitas sumber daya manusia, terutama untuk bersaing dengan negara-negara lain dalam kompetisi global seperti pernah dipaparkan pemerintah terkait komitmen untuk mendukung "talenta digital" maupun terkait keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai "pemain yang diperhitungkan" bukan hanya target pasar.
Jika dicermati, sebagian besar wacana inovasi digital yang ada di Indonesia cenderung dibungkus dalam konteks bisnis, komersial, ekonomi, maupun investasi. Narasi dominan terkait kemajuan teknologi dalam berbagai konteks tersebut cenderung melupakan kondisi riil yang ada di masyarakat. Padahal, wacana terkait teknologi dan inovasi digital tentu perlu dibarengi dengan dokumentasi dan elaborasi yang juga melihat risiko yang mungkin muncul, kesiapan penerima inovasi, hingga kemungkinan dampak yang cenderung negatif.
Inovasi digital sebaiknya tidak hanya dibingkai dalam narasi determinisme teknologi yang menganggap masyarakat sebagai penerima inovasi adalah pasif. Penerimaan inovasi digital bukanlah keniscayaan yang mengabaikan adanya hambatan dan tantangan dalam konteks spesifik negara dan masyarakat. Eksplorasi potensi inovasi digital perlu lebih mengakar pada kondisi masyarakat, serta mengacu pada beragam data yang tersedia, tidak hanya data dari konteks industri dengan kacamata investasi dan ekonomi. Sehingga, inovasi digital dapat relevan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bukan hanya bagi masyarakat kelas menengah yang tinggal di kota-kota besar di Pulau Jawa saja
Kesiapan Masyarakat
Penyebaran inovasi digital akan selalu berkaitan dengan kesiapan masyarakat sebagai penerima inovasi, terutama dari segi ketersediaan infrastruktur dan kesiapan non-infrastruktur. Dalam konteks ini, Indonesia dapat dikatakan masih mengalami berbagai permasalahan kesenjangan digital. Secara konseptual, kesenjangan digital memperlihatkan adanya jurang antara masyarakat yang memiliki akses dengan yang tidak memiliki akses terhadap berbagai inovasi digital.
Kesenjangan digital dapat terjadi pada masyarakat yang memiliki perbedaan tingkat sosio-ekonomi (kaya dan miskin), perbedaan generasi (berusia tua dan muda), maupun perbedaan geografis (misalnya, masyarakat perkotaan dan pedesaan). Kesenjangan digital dapat terjadi antarnegara berkembang dengan negara maju, atau terkait dengan ketimpangan yang ada pada satu negara, seperti kesenjangan antarpulau di Indonesia.
Jangankan inovasi digital yang serba canggih, pembangunan infrastruktur pendukung pun masih belum merata. Ketersediaan akses listrik, jaringan telepon dan internet, serta akses kepada perangkat keras adalah syarat mutlak terkait pengoptimalan inovasi digital di masyarakat. Meskipun sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo pembangunan di pulau-pulau non-Jawa telah digalakkan, namun data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait indeks pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (IP-TIK) memperlihatkan bahwa masih ada daerah-daerah seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Kalimantan Barat yang masih tercatat memiliki IP-TIK rendah.
Data kesenjangan infrastruktur ini tentu berguna dalam melihat seluruh wacana "digitalisasi" di Indonesia dengan lebih realistis. Apalagi, dalam konteks bisnis dan industri, data penetrasi internet dan penggunaan media sosial sering kali hanya mengelaborasi realitas berdasarkan data dari kota-kota besar di Pulau Jawa.
Dalam konteks kesiapan non infrastruktur, penyebaran inovasi digital di Indonesia juga masih terhambat oleh rendahnya kesiapan masyarakat ditinjau dari tingkat pendidikan hingga tingkat literasi digital. Dengan kondisi negara kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia, kesenjangan terkait akses pendidikan masih menjadi persoalan besar. Misalnya saja, masih ada penduduk Indonesia yang buta aksara. Selain itu, kemampuan membaca, matematika dan sains pada siswa juga masih mengkhawatirkan. Tercermin dari hasil evaluasi PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang masih rendah.
Permasalahan pendidikan ini juga berpengaruh pada tingkat literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan yang lebih kompleks dari sekadar pengetahuan teknis. Kemampuan literasi digital misalnya mensyaratkan adanya elemen kemampuan berpikir kritis dan kemampuan evaluasi dalam penggunaan media digital. Apalagi, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju yang sudah memasukkan elemen literasi media dan literasi digital ini dalam kurikulum pendidikan dasar mereka.
Masih belum optimalnya tingkat literasi digital juga berkaitan dengan corak penggunaan teknologi digital di Indonesia yang lebih banyak terfokus pada penggunaan media digital untuk interaksi, komunikasi, dan utamanya adalah mencari hiburan alih-alih sebagai sumber informasi dan edukasi. Misalnya saja, sebagian masyarakat Indonesia mengetahui apa itu "Facebook" sebagai inovasi digital tapi tidak mengenal apa itu "internet"
Sebuah riset mengatakan bahwa banyak orang Indonesia pertama kali bersentuhan dengan internet lewat smartphone, dan pada berbagai smartphone ini, aplikasi media sosial dan aplikasi pesan instan kerap sudah otomatis terpasang dan langsung digunakan oleh pembeli smartphone tersebut. Sehingga, teknologi digital menjadi identik hanya dengan media sosial, alih-alih misalnya aplikasi lain yang dapat berguna sebagai sumber informasi, atau misalnya pemahaman bahwa akses internet dapat menjadi salah satu sarana penting untuk pembelajaran.
Di sisi lain, perlu dipahami juga bahwa ketersediaan materi atau konten pendidikan yang lebih bersifat edukatif dan informatif dalam ruang digital di Indonesia juga sebetulnya masih terbatas dibandingkan dengan konten hiburan. Oleh karena itu penting misalnya, untuk mengkaji wacana akses internet dan berbagai inovasi digital lainnya sebagai sebuah "infrastruktur publik" yang juga perlu dikelola dengan tujuan untuk menyejahterakan dan memberdayakan masyarakat.
Berpotensi Bias
Inovasi adalah ide hingga praktik yang dipersepsi baru oleh masyarakat. Tentunya konsep "kebaruan" ini dapat diperdebatkan, namun wacana inovasi berpotensi bias positif, misalnya, ketika inovasi digital digambarkan sebagai suatu hal yang selalu bersifat positif. Dalam hal ini kebaruan dalam sebuah inovasi harus diterima begitu saja oleh seluruh masyarakat, tanpa adanya proses adaptasi, modifikasi, maupun pembicaraan terkait kemungkinan adanya penolakan.
Hal ini mengakibatkan banyak pihak abai pada dampak yang tidak diinginkan dari inovasi digital, termasuk pada berbagai permasalahan yang sebetulnya sudah menjadi perhatian di banyak negara seperti masalah privasi, eksploitasi dan penyalahgunaan data pribadi, hingga disinformasi, misinformasi, maupun malinformasi yang dapat menyebabkan "kekacauan informasi".
Secara umum bias ini juga memperkuat obsesi yang sejak dulu telah ada mengenai penyebar inovasi yang selalu mengedepankan peran inovasi dalam "perbaikan masyarakat" (societal improvement), dengan utilisasi konsep teknologi yang cenderung dianggap sebagai panasea (technological fix). Bias pro-inovasi dapat terjadi karena riset, pemberitaan, dan pembentukan narasi terkait inovasi banyak terkait dengan pihak yang memiliki konflik kepentingan yang bersifat finansial maupun politis.
Selain itu, industri pendorong inovasi cenderung hanya melihat sisi potensi peningkatan keuntungan finansial bagi mereka, karena penerimaan inovasi secara luas di masyarakat juga berarti membesarnya pasar pengguna produk mereka. Ketika kita melihat berbagai riset dari pihak industri yang mempromosikan inovasi digital demi akselerasi ekonomi digital, apakah perbedaan antara masyarakat Indonesia yang berada di Pulau Jawa, dengan masyarakat di luar Pulau Jawa dan mereka yang berada di pedesaan telah dibahas dengan mendalam?
Kemudian, ketika kita mendengar pihak mendorong wacana "keberhasilan" ekonomi digital, mengapa lebih banyak pembahasan terkait berbagai "unicorn" atau perusahaan yang memiliki valuasi sangat besar dan dapat mengundang investor asing, dibandingkan eksplorasi mendalam terkait inovasi digital dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan bisnis-bisnis yang masih berada dalam skala SME (Small Medium Enterprises)?
Masyarakat pun lebih sering mendengar dampak positif dan keberhasilan inovasi, alih-alih berbagai hambatan dan tantangan yang muncul dalam penerimaan inovasi, dan wacana bahwa inovasi tidak melulu harus diterima oleh masyarakat. Kekritisan terkait inovasi digital akan mengisi ruang diskusi terkait mengapa dan bagaimana inovasi gagal, dan bagaimana penerimaan inovasi juga dapat berjalan dengan perlahan dan tidak harus bersifat eksponensial.
Hal ini penting karena penerimaan inovasi tidaklah semudah membalik telapak tangan tanpa adanya tantangan dan hambatan yang muncul, perspektif dan gagasan multidisipliner dan kritis tentang skeptisisme, resistensi, konsekuensi yang tidak diinginkan, terkait inovasi haruslah dimunculkan sebagai narasi yang dapat menyeimbangkan wacana inovasi digital di masyarakat.
Beberapa tahun terakhir ini wacana bernada positif terkait inovasi digital terdengar sangat kencang seiring dengan popularitas jargon-jargon bernada futuristis seperti revolusi industri 4.0, masyarakat 5.0, hingga saat ini dengan adanya tren mengenai Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan. Tidak jarang berbagai lembaga pemerintahan dan pihak industri menggunakan jargon dan konsep ini secara arbiter dan populis, dengan argumen utama yang dibangun adalah masyarakat Indonesia harus siap untuk beradaptasi dalam mengikuti perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang semakin cepat.
Argumen ini tentu menyedihkan di kala berbagai pengurusan administrasi dan birokrasi di Indonesia masih membutuhkan fotokopi dokumen dan masih ada yang mengeluh tentang data e-KTP yang tidak sinkron dengan data Dukcapil. Ke depannya, berbagai jargon futuristis nan canggih terkait inovasi digital masih akan muncul dan menjadi pembicaraan di berbagai ruang publik. Pada saat itulah perlu untuk selalu menyadari bahwa inovasi digital, apapun bentuknya, bukanlah panasea, obat mujarab nan misterius yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di Indonesia.
Simak juga 'Pusdaing Gelar Bimbingan Teknis Kader Digital Desa Cerdas Fase II':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini