Jauh sebelum terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 1 tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kredit yang saat ini sedang menjadi sumber polemik, kebijakan tentang karier dosen memang sudah tidak ramah dengan anak muda yang kebetulan ingin merintis karier menjadi akademisi.
Dosen muda dengan ribuan harapan untuk menelurkan gagasan-gagasan besarnya tentang pengembangan ilmu pengetahuan, terpaksa harus mengubur gagasan-gagasan itu lantaran banyaknya kebijakan yang ternyata mengkerdilkan potensi dosen muda. Keberadaan dosen muda dengan gagasan segarnya harus takluk pada iklim akademik yang sudah pakem, yakni sebatas menjadikannya "tenaga bantu" dalam menyelesaikan tugas-tugas institusi yang justru tidak ada kaitannya dengan pengembangan keilmuan dan wawasan ilmiah.
Banyak dosen muda disibukkan oleh urusan-urusan birokrasi, kepanitiaan institusi, dan tugas-tugas lain yang porsinya justru lebih besar dibanding tugas utamanya sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat. Akibatnya banyak dosen yang semasa studinya produktif, justru "mandul" ketika menjadi dosen akibat terhalang oleh tugas-tugas institusi yang memang menumpuk. Alih-alih mengembangkan pengetahuan melalui mimbar diskusi dan publikasi, untuk sekedar memenuhi kewajiban mengajar pun masih banyak yang tidak mampu terpenuhi.
Kebijakan yang Diskriminatif
Kebijakan negara yang diskriminatif terhadap para dosen, khususnya dosen muda, sebenarnya telah dimulai sejak masa-masa awal seorang dosen diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Kalau jenis ASN di luar dosen disediakan tunjangan kinerja (tukin) sejak masa awal bekerja tanpa dibebani syarat untuk mengikuti serangkai seleksi dan uji kompetensi, tetapi hal itu tidak pada ASN dosen.
Seorang dosen harus terlebih dahulu memproses jabatan fungsional "Asisten Ahli" dan baru bisa mengusulkan diri untuk memperoleh tunjangan "sertifikasi" manakala sudah melampaui waktu dua tahun sejak tanggal SK fungsional dikeluarkan. Padahal proses seleksi ASN dosen jelas lebih berat dibanding jenis ASN di luar dosen. Jika ASN di luar dosen hanya melalui rata-rata dua mekanisme seleksi berupa Tes Kemampuan Dasar (TKD) dan Tes Kemampuan Bidang (TKB), maka untuk menjadi dosen seseorang harus melalui rangkaian panjang seleksi kelulusan berupa TKD, TKB, wawancara dan praktik mengajar.
Beratnya mekanisme ini pun ternyata tidak mampu meyakinkan negara bahwa seorang dosen tersebut layak mendapatkan tunjangan profesi secara langsung. Tidak otomatisnya perolehan tunjangan bagi ASN dosen jelas merupakan bentuk dari kebijakan diskriminatif negara terhadap para dosen. Meskipun telah disediakan mekanisme tunjangan profesi, tetapi itu tidak berlaku otomatis karena seorang dosen masih harus menunggu lama dan harus juga melalui serangkaian uji kompetensi. Sebegitu ragukah negara dengan kemampuan dan potensi dosen (muda)?
Kebijakan diskriminatif ini semakin diperparah oleh kehadiran Permenpan RB No. 1 Tahun 2023 yang salah-satunya mengatur mekanisme kenaikan jabatan fungsional (jafung) dosen yang durasinya menjadi semakin lama. Jika pada aturan sebelumnya seorang dosen bisa mengurus kenaikan jafung setelah melampaui waktu dua tahun sejak diterbitkannya SK jafung lama diterbitkan, tetapi pada aturan yang baru ini durasi waktunya diperpanjang dan tentunya sangat tidak bersahabat bagi para dosen muda.
Jika pada aturan sebelumnya seorang dosen bisa saja menjadi guru besar dengan minimal pengabdian selama 10 tahun, tetapi untuk saat ini waktu tercepat berada di kisaran 30-35 tahun jika dihitung sejak awal dosen tersebut diangkat sebagai ASN. Waktu tersebut bisa berpotensi lebih lama jika seorang dosen melaksanakan tugas belajar. Artinya, jika dosen lulus studi doktoral di usia 35-40 tahun, maka potensi menjadi professor akan tertutup oleh persyaratan administratif yang berbasis durasi waktu.
Parahnya lagi, kebijakan kenaikan jafung ini tidak mengenal metode akselerasi yang lazim disebut sebagai "lompat jabatan". Kebijakan ini tentu tidak tepat jika diberlakukan di masa sekarang mengingat Indonesia masih dilanda krisis guru besar. Dari sejumlah 236.255 dosen berstatus ASN hanya ada 5.576 dosen yang mencapai jenjang guru besar (Kemendikbudristek, 2021). Ini artinya hanya ada 2,3 persen dosen kita yang bergelar professor. Jika aturan ini dipaksakan berlaku, maka potensi krisis akut guru besar di negeri ini hanya tinggal menunggu waktu.
Kebijakan kenaikan jafung yang didasarkan pada lamanya durasi waktu tentu bukanlah kebijakan yang sesuai dengan tugas, fungsi, dan beban dosen yang dituntut untuk selalu mengembangkan pengetahuan demi tetap berlangsungnya 'denyut nadi' peradaban. Karena lamanya durasi bukanlah ukuran ideal dalam menilai layak-tidaknya seorang akademisi bisa naik jabatan.
Reformulasi Kebijakan
Seharusnya kebijakan mengenai tolok-ukur layak-tidaknya seorang akademisi naik pangkat adalah diukur melalui seberapa banyak karya-karya yang sudah terpublikasi dan menjadi rujukan masyarakat dalam menyelesaikan ragam persoalannya. Tentu kondisi tersebut tidak bisa dicapai jika hanya didasarkan pada sistem pemenuhan dokumen administratif yang berbasis durasi waktu.
Produktivitas karya dosen hanya bisa dicapai dengan kebijakan yang mendukung iklim riset yang merata dan mudah diakses. Gagasan-gagasan besar hanya lahir dari sistem riset yang mumpuni. Sementara yang terjadi saat ini, dana riset sangat tidak mendukung bagi dosen dalam pengembangan pengetahuan. Untuk itu reformulasi kebijakan harus segera dilakukan melalui perubahan paradigma ke arah memasifkan karya publikasi.
Sebagai penutup, barangkali nasib tragis dosen di negeri ini memang merupakan gambaran dari peribahasa "pahlawan tanpa tanda jasa", tetapi sebagai bangsa yang besar sudah seharusnya negara memberikan penghargaan terhadap para pahlawannya. Walaupun tidak berwujud materi, paling tidak kebijakan yang diberlakukan tentang jenjang karier dosen tidak diproteksi sebegitu rupa. Masa depan dosen harus tetap dijaga, setimpal dengan jasa-jasanya yang telah menyelamatkan generasi bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muwaffiq Jufri dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura