Kata merdeka sangat familier di kalangan dunia pendidikan saat ini karena merupakan inti dari kurikulum merdeka. Merdeka belajar dan merdeka berbudaya menjadi suatu pencapaian yang diharapkan dari pelaksanaan kurikulum tersebut. Namun apa sebenarnya makna merdeka dalam kurikulum tersebut? Apakah diartikan dapat berbuat sekehendaknya sendiri? Dan, sejauh mana manfaat dari pelaksanaan merdeka belajar dan merdeka berbudaya baik bagi murid maupun lingkungannya sendiri?
Saya sangat beruntung dapat mengikuti pelatihan Pendidikan Calon Guru Penggerak Angkatan 6, selain belajar pada Platform Merdeka Mengajar. Dari pelatihan tersebut, saya dapat lebih memahami apa hakikat merdeka dalam kurikulum tersebut.
Bapak pendidikan bangsa, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan pada kita tentang konsep manusia merdeka. Manusia merdeka adalah mereka yang tidak terperintah, mereka dapat menegakkan dirinya, tertib mengatur kehidupannya, sekaligus tertib mengatur perhubungan mereka dengan kemerdekaan orang lain.
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa merdeka adalah melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh tanpa paksaan, perintah atau tekanan pihak luar. Diharapkan kemerdekaan tersebut adalah melakukan segala hal yang tidak bertentangan norma norma agama dan nilai nilai kebajikan universal. Nilai nilai kebajikan universal tersebut seperti keadilan, tanggung jawab, kejujuran, bersyukur, lurus hati, berprinsip, integritas, kasih sayang, rajin, komitmen, percaya diri, dan kesabaran.
Dalam dunia pendidikan, tentu saja tidak semua siswa serta merta dapat melaksanakan nilai-nilai tersebut. Perbedaan latar belakang keluarga dan lingkungan menjadi penyebab. Oleh karena itu, konsep "menuntun" dalam menciptakan manusia merdeka ditegaskan oleh Ki Hadjar Dewantara. Menuntun atau membimbing murid supaya tetap berada di jalur yang seharusnya, sesuai dengan kodrat keadaan (lingkungan murid ), dan kodrat zaman (era teknologi terkini).
Ditambahkan lagi oleh Ki Hadjar, jika manusia belum merdeka untuk berbuat sesuai nilai nilai yang diharapkan, maka butuh institusi luar untuk membantunya, dalam hal ini adalah guru atau sekolah.
Keyakinan Kelas
Salah satu cara dalam membimbing siswa untuk berperilaku sesuai yang diharapkan adalah dengan membuat keyakinan kelas. Keyakinan kelas adalah suatu kesepakatan bersama dalam lingkup kelas yang digali dari ide-ide semua siswa dan disepakati bersama. Keyakinan kelas bukanlah peraturan satu arah yang dipaksakan, namun disepakati bersama antara siswa dan guru. Sehingga siswa dapat melaksanakannya dengan sepenuh hati dan memahami sepenuhnya konsekuensinya jika melanggarnya.
Dalam konteks "menuntun" atau membimbing, aturan aturan sekolah yang umumnya sudah ada dapat dipahamkan kepada siswa mengapa ada aturan tersebut dan kenapa siswa harus melakukan dan menjauhinya. Pada intinya, siswa melakukan aturan tersebut dengan kesadaran diri penuh.
Bentuk keyakinan kelas dapat beragam sesuai kesepakatan bersama. Keyakinan tersebut misalnya saling menghargai, masuk keluar kelas tepat waktu, menunjukkan jari telunjuk saat bertanya, berkata sopan dalam kelas, belajar dengan sepenuh hati dan bersungguh-sungguh, dan lainnya. Belajar dan berperilaku sesuai dengan norma yang diharapkan, jika dilakukan dengan kesadaran diri dan sepenuh hati, merupakan esensi dari kemerdekaan belajar.
Semakin teratur dan sering murid berperilaku sesuai norma yang diharapkan, akan menimbulkan kebiasaan yang baik, dan kebiasaan baik tersebut akan menjadi budaya yang baik. Budaya baik yang dilakukan dengan sepenuh hati adalah merdeka budaya. William Glasser (1998) menyatakan dalam teori pilihan bahwa perilaku seorang manusia adalah buah dari pilihan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Pilihan yang diharapkan adalah pilihan yang baik. Jika tidak baik, maka perlu dibimbing supaya tidak keluar dari jalur yang diharapkan.
Budaya Positif
Merdeka belajar akan menciptakan merdeka berbudaya. Kebiasaan dan perilaku positif yang dilakukan secara teratur akan menciptakan budaya positif. Merdeka berbudaya diartikan sebagai kesadaran diri untuk secara teratur melakukan sesuatu tanpa adanya unsur paksaan dari pihak luar. Sebagai contoh, murid yang sebelumnya dibimbing untuk melakukan kebersihan kelas sebelum dan sesudah pelajaran, kemudian muncul perasaan merdeka untuk melakukannya, lama kelamaan akan menjadi budaya yang tidak dipaksakan.
Kemerdekaan berbudaya dapat diilustrasikan dengan kesukaan anak pada umumnya yaitu main game di HP Android. Pada awalnya anak anak tanpa paksaan bermain game atau merdeka bermain. Kebiasaan tersebut jika berlanjut akan menjadi budaya yang merdeka. Kebiasaan yang mereka lakukan tanpa ada paksaan dari pihak luar. Tentu saja anak harus dibimbing untuk memiliki kebiasaan yang baik.
Merdeka belajar untuk menciptakan merdeka berbudaya harus banyak dipraktikkan, terutama di sekolah sekolah sebagai pusat pembelajaran. Manfaatnya banyak sekali dirasakan. Budaya tersebut diharapkan tidak hanya dilakukan di sekolah saja, tapi merambah di keluarga dan lingkungan siswa.
Saya merasakan manfaat dari penerapan merdeka belajar di sekolah sendiri, SMKN 1 Warungasem, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Baik yang saya terapkan sendiri dalam pembelajaran, maupun oleh kolega dan pihak sekolah. Siswa dibimbing untuk melakukan senyum, salam, sapa saat masuk sekolah dan disambut dengan bapak/ibu guru yang bertugas, dilanjutkan dengan berdoa secara serempak. Setelah itu berdiri dengan sikap sempurna untuk mendengarkan lagu Indonesia Raya yang diputar secara terpusat. Manfaat dari budaya tersebut akan membentuk siswa yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan nasionalisme.
Dalam pembelajaran siswa dibimbing untuk merdeka belajar karena adanya pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan oleh semua guru. Pembelajaran tersebut menitikberatkan pada kebutuhan belajar, minat dan profil belajar siswa. Semua siswa mendapatkan hak belajar sesuai dengan tiga aspek belajar pada dirinya. Dengan begitu siswa belajar dengan bahagia dan sepenuh hati yang merupakan esensi dari merdeka belajar.
Sebagai sekolah kejuruan yang salah satunya bertujuan untuk menyiapkan siswanya untuk siap kerja, SMKN 1 Warungasem memiliki serangkaian tata krama dan tata tertib siswa. Peraturan tersebut menjadi pedoman siswa dalam berperilaku dalam lingkungan sekolah. Supaya siswa melaksanakannya dengan sepenuh hati, sekolah membuat aturan tersebut menjadi keyakinan sekolah. Cara-cara yang dilakukan; pertama, secara rutin wali kelas dan guru Bimbingan Konseling melakukan pemahaman betapa pentingnya aturan sekolah tersebut bagi masa depan mereka. Kedua, pemahaman aturan tersebut pada saat upacara bendera.
Kepemimpinan Murid
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam menciptakan merdeka belajar, sekolah membuat dan melaksanakan program-program yang menumbuhkan kepemimpinan murid (student agency). Kepemimpinan murid tersebut melibatkan tiga aspek, yakni aspirasi murid, pilihan murid, dan keterlibatan murid. Posisi guru hanya sebagai fasilitator yang memberikan panduan secara garis besar dan membimbing murid jika ada kesulitan.
Beberapa program telah dilaksanakan sekolah dalam membumikan merdeka belajar tersebut; pertama, peringatan hari besar agama berbasis proyek setiap kelas. Dalam kegiatan tersebut siswa bebas memberikan aspirasi bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan, memilih kepanitiaan, setting tempat, dan lain-lain. Pada saat kegiatan, semua siswa terlibat sehingga ada rasa memiliki, diakhiri dengan kegiatan refleksi. Semua kegiatan tersebut diawasi oleh wali kelas sebagai fasilitator yang memegang pedoman umum kegiatan dari sekolah.
Kedua, kegiatan Proyek Penguatan Pelajar Pancasila (P5). Program P5 yang telah dilakukan adalah pemanfaatan limbah plastik di lingkungan sekitar menjadi ecobrick. Pembelajaran lebih banyak ke praktik daripada teori. Siswa dibimbing untuk mencari informasi secara mandiri, berdiskusi dan memutuskan. Siswa menjadi merdeka dalam belajar karena mereka menjadi aktor utama yang beraspirasi, memilih dan terlibat langsung dalam kegiatan.
Yudha Priyono, S.Pd, M.Pd Guru SMKN 1 Warungasem, Batang, Jawa Tengah
Simak Video: 3 Pilar Sekolah Sehat yang Diusung Kemendikbud-Ristek