Beberapa hari lalu saya baru saja mendapatkan sertifikat atas rampungnya program pembelajaran tentang biblioterapi yang saya ikuti sejak awal 2023. Program ini diajarkan oleh Bijal Shah, seorang kurator buku, biblioterapis, dan juga penulis yang tinggal di London. Salah satu buku yang ditulisnya berjudul The Happiness Mindset masuk dalam rekomendasi BBC, Marie Claire, Guardian, dan Asian Voice.
Pelatihan biblioterapi yang dilaksanakan secara daring dan berbahasa Inggris ini memuat delapan topik dengan beberapa sub bahasan di tiap topiknya. Beberapa topik tersebut di antaranya adalah pengenalan biblioterapi, cara kerja biblioterapi, jenis biblioterapi dan medianya, menggunakan biblioterapi untuk terapi individu dan penyembuhan, training menjadi biblioterapi, serta biblioterapi anak.
Asal Mula
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara terminologi, biblioterapi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata biblio yang berarti buku dan therapeia yang memiliki arti menolong secara medis.
Terapi buku atau biblioterapi pertama kali dilakukan di era Yunani kuno. Orang-orang pada zaman tersebut membangun perpustakaan untuk tujuan hiburan dan edukasi. Sementara itu Raja Ramses II dari Mesir juga membangun sebuah ruangan yang dipenuhi dengan buku. Ruangan tersebut dijuluki sebagai House of Healing for The Soul atau rumah penyembuhan jiwa.
Pada abad ke-19, dokter meresepkan buku sebagai panduan dan cara untuk beristirahat sejenak dari kesengsaraan yang dirasakan. Para pustakawan juga memiliki peranan penting dalam praktik biblioterapi di institusi psikiater Eropa.
Sama halnya di awal abad ke-20, para tentara yang terlibat pada Perang Dunia I melakukan kegiatan membaca untuk mengatasi trauma pasca perang. Rumah sakit militer kala itu juga difasilitasi dengan perpustakaan agar praktik biblioterapi bisa dilaksanakan.
Definisi
Di Book Therapy, institusi yang dibangun oleh Bijal, biblioterapi diartikan sebagai sebuah bentuk terapi seni yang fokus terhadap pemanfaatan kekuatan cerita untuk menyembuhkan. Kekuatan dalam biblioterapi terletak di hubungan antara pembaca dan tulisan (baik ini dalam bentuk narasi, puisi, atau esai) dan sebagai refleksi pemikiran, perasaan, observasi dan pelajaran yang penulis tuang dalam karyanya atau bisa melalui sesi konseling dengan terapis profesional atau biblioterapis. Pada intinya, teknik ini melibatkan tiga unsur yakni klien, biblioterapis, dan buku sebagai media penyembuhan.
Cara Kerja
Saat seorang klien melakukan konseling dengan seorang biblioterapis, klien akan diberikan beberapa rekomendasi buku untuk dibaca baik buku fiksi atau non fiksi. Buku tersebut merefleksikan tema dan cerita yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi klien. Tujuannya supaya klien dapat mengidentifikasi dan merasa terhubung dengan teks atau tokoh. Teks tersebut seharusnya bisa membantu seorang individu untuk menyatu dengan emosinya, sehingga perasaan yang tersimpan di dalam batin bisa dilepaskan (katarsis).
Sebelum seorang biblioterapis mencarikan buku yang sesuai untuk klien, ada beberapa pertanyaan yang diajukan untuk membantu biblioterapi menemukan buku yang sesuai dengan preferensi klien:
1. Masalah apa yang sedang dihadapi? Adakah isu spesifik yang sedang difokuskan?
2. Apa yang dirasakan sekarang?
3. Apa yang diharapkan setelah sesi biblioterapi selesai?
4. Siapa penulis favorit? Buku favorit?
5. Mana yang lebih disukai: non fiksi atau fiksi?
6. Apakah ada hal lain yang perlu biblioterapis ketahui?
Diterapkan pada Anak
Biblioterapi yang diterapkan pada anak cenderung agak rumit. Untuk kasus yang berat, dibutuhkan seorang biblioterapis profesional atau ahli sastra untuk merekomendasikan beberapa buku untuk dibaca oleh anak. Namun, metode biblioterapi untuk anak bisa sangat membantu dalam mengekspresikan masalah yang sedang dihadapi lewat cerita pada buku. Untuk anak di bawah 7 tahun, biasanya biblioterapi dilakukan dengan mengkombinasikan dengan terapi bermain.
Cerita-cerita terapeutik di buku anak sangat populer di Amerika. Biasanya cerita yang ditulis terdapat permasalahan umum yang dirasakan oleh anak. Contohnya ketakutan untuk mencoba hal baru atau kekhawatiran saat di lingkungan yang asing. Buku cerita yang terapeutik ini dimaksudkan untuk membangun ketahanan psikologis anak secara tidak langsung.
Orangtua, guru, bahkan pustakawan sekolah pada dasarnya bisa melakukan praktik biblioterapi untuk kasus dengan level ringan sampai sedang yang dihadapi seorang anak. Permasalahan yang bisa diobservasi di permukaan bisa diintervensi dengan memberikan bacaan yang sesuai. Mereka bisa merasa "relate" dengan cerita atau tokoh yang dapat membantu untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini mungkin mereka hindari atau sembunyikan. Melalui diskusi dan jurnaling, anak akan mendapat manfaat biblioterapi bahwa membaca bisa memberikan ketenangan dan penyembuhan.
Contoh Kasus
Dalam pembahasan terakhir training biblioterapi ini, saya disuguhkan tiga contoh kasus penerapan biblioterapi yang dilakukan Bijal terhadap kliennya, di mana identitas mereka sudah diubah demi melindungi privasi setiap klien.
Salah satu contoh kasusnya terjadi pada anak berusia 3 tahun bernama Charlotte. Anak perempuan ini memiliki kekhawatiran setiap pergi ke sekolah. Dia terbangun beberapa kali di setiap malam. Ibunya, Rachel, merasa kasihan dengan yang dialami oleh putrinya dan memutuskan untuk mencoba biblioterapi. Alasannya karena Charlote suka membaca. Dan ibunya berharap ada sebuah buku yang bisa mengatasi rasa kekhawatirannya.
Akhirnya, Charlotte diberikan sebuah buku berjudul Wemberly Worries karangan Kevin Hanke. Tokoh Wemberly mengalami hal yang sama dengan Charlotte sampai akhirnya dia menemukan teman baru di sekolah bernama Jewel. Wemberly pun sadar bahwa tidak ada gunanya khawatir setiap pergi ke sekolah karena dia bisa bermain dengan teman barunya itu.
Charlotte pun di akhir sesi akhirnya menangis. Dia mengatakan bahwa dia tidak suka makanan di sekolah, dia rindu pada masakan ibunya di rumah. Dan perasaan yang dialami Charlotte sangat wajar di masa peralihan balita ke usia persiapan sekolah. Ada perasaan khawatir, sedih, takut, dan gangguan kecemasan berpisah.
Karena usia Charlotte yang masih sangat kecil, biblioterapi dilakukan bersamaan dengan terapi bermain. Ada beberapa miniatur orang yang masing-masing berperan sebagai guru, teman baru, dan anak bernama Ariela yang digambarkan sebagai dirinya. Charlotte pun menjawab beberapa pertanyaan tentang miniatur tersebut sebagai perantara antara dirinya dan perasaan yang sedang dialami. Charlotte juga dibekali dengan teknik bernapas yang bisa membantunya tenang setiap kali dia merasa cemas di sekolah.
Akhirnya, dua minggu setelah sesi berakhir, Rachel bercerita bahwa Charlotte terlihat membaik. Dia sudah memiliki tiga teman baru di sekolah dan sudah tidak sering menangis lagi.
Jatuh Cinta
Setelah menuntaskan program biblioterapi ini, saya seperti jatuh cinta pada teknik ini. Sebagai ibu dan juga seseorang yang pernah belajar sastra di bangku kuliah dulu, besar harapan saya bahwa teknik ini bisa diterapkan untuk anak-anak kita dalam mengurangi kasus perundungan.
Belum lama ini, portal media di negeri kita dipenuhi dengan berita perundungan yang membuat para orangtua khawatir akan masa depan anaknya nanti. Seperti kasus bunuh diri anak SD di Banyuwangi karena di-bully, anak 8 tahun asal Malang yang koma akibat perundungan yang dilakukan oleh kakak kelasnya, dan juga siswa di Tasikmalaya yang dipaksa temannya menyetubuhi kucing. Kasus-kasus seperti ini tidak bisa disepelekan dan sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama.
Apabila ilmu biblioterapi lebih familier dan luas dipraktikkan di Indonesia, anak-anak usia dini akan memiliki empati yang lebih kuat dan ketangguhan dalam menghadapi permasalahan. Skill berkomunikasi dengan orang dewasa juga lebih terbentuk sehingga mereka lebih mudah dalam membicarakan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Membaca buku sendiri, dapat memberikan anak keragaman kosakata, bahasa, dan syntax yang dapat membantu mereka untuk mengerti lingkungan sekitar. Buku-buku cerita juga merepresentasikan keragaman ras, budaya, agama dan kesetaraan yang membantu anak memahami bahwa setiap orang berbeda dan secara tidak langsung menumbuhkan empati mereka untuk menghormati perbedaan tersebut.
Dimulai dari orangtua, memberikan eksposur sedini mungkin pada anak dengan membaca buku bersama bisa menjadi langkah awal pencegahan anak menjadi pelaku atau korban perundungan di masa yang akan datang. Semakin banyak referensi pada cerita-cerita anak sebagai media pembelajaran yang diketahui orangtua, teknik biblioterapi pun bisa diterapkan sedikit demi sedikit di rumah.
Begitu pun juga dengan guru atau konselor di sekolah. Memberikan buku sebagai media penyembuhan pada kasus bullying anak bisa memberikan perspektif yang berbeda. Melalui diskusi yang berkaitan dengan tokoh pada cerita, mereka bisa melakukan katarsis yang menolong mereka merasa lebih baik dan mencegah mereka untuk membuat keputusan yang salah. Namun, perlu diingat bahwa untuk kasus perundungan yang lebih serius, seorang psikolog atau terapis profesional lebih diutamakan.