Dari beberapa kali kami mengikuti (secara online) rapat bersama antara Komisi III DPR RI dan Menko Polhukam, Mahfud MD di DPR, ada kesan kuat bahwa permasalahan Rp 349 T makin lama makin ruwet, bukan makin clear. Bahkan beberapa kali nyaris terjadi "adu bacot"antara sesama wakil rakyat; situasinya persis seperti yang terjadi di parlemen Korea Selatan dan Jepang beberapa waktu yang lalu hingga terjadi banting-banting kursi.
Wakil-wakil rakyat berkelahi dan adu mulut dengan nada keras! Kenapa tidak?
Dari sudut pandang "kubu" terdapat 2 (dua) kubu besar yang terlibat dalam percekcokan masalah Rp 349 T, yaitu:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Prof. Mahfud MD, Menko Polhukam,
2. Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana
3. Sri Mulyani, Menteri Keuangan
4. Komisi III DPR-RI
Sepintas yang bertarung di Gedung Komisi III DPR-RI antara (Kubu 1 + 2) dan Kubu 4, yang tidak kalah sengit antara 1 dan Kubu 3. Pertarungan "kecil" sesekali juga terjadi antar wakil rakyat (kubu 4). Maklum di DPR terdapat 9 (sembilan) faksi.
Masalah 349 T sebetulnya berawal dari kasus Rafael Alun, ayah Mario Dandy yang menganiaya David hingga korban koma satu bulan lebih. Perkelahian diduga kuat gegara soal cewek. Kemudian terbongkar siapa sesungguhnya Rafael? Ia tidak lain petinggi Direktorat Jenderal Pajak yang punya harta ratusan milyar. Maka, begitu banyak pihak, termasuk Kementerian Keuangan, yang berusaha mengorek-ngorek hartanya, termasuk keluarganya.
Dari kasus Rafael Alun, dengan cepat terbongkar sejumlah petinggi Ditjen Pajak dan Bea-Cukai yang ternyata kaya-raya, sehingga banyak pengamat, netizen dan publik yang menduga banyak petinggi Pajak dan Bea-cukai yang dipertanyakan kejujuran perilakunya. Sri Mulyani dengan sendirinya tersorot juga, karena Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai berada di bawah Kemenkeu. Apakah Menteri Keuangan selama ini tidak tahu perilaku anak-buahnya yang cenderung super-korup ?
Tidak lama setelah ramai-ramai tentang kasus Mario Dandy yang super-sadis dan super-kaya bapaknya sebagai pejabat Eselon III Direktorat Jenderal Pajak, Menko Polhukam, Prof. Mahfud, entah apa sasarannya, melemparkan isu ibarat "bom atom" ke publik: Manajemen di Kemenkeu tidak beres. Ada dugaan terjadi transaksi yang mencurigakan senilai Rp 400 triliun berdasarkan data dari PPATK. Belakangan Mahfud mengoreksi angka raksasa itu: bukan 400 T, melainkan Rp 349 T.
Pada awalnya, hiruk-pikuk soal dana tidak beres senilai 349 T ini hanya terbatas di kalangan media dan netizen. Kalangan DPR masih tutup mulut. Sejumlah kalangan pun "mendorong" wakil rakyat untuk buka mulut, kenapa diam saja ?
berawal digulirkan Pak Mahfud MD yang kemudian turun pula para wakil rakyat karena "diprovokasi" oleh media dan netizen, Isu ini dengan cepat menjadi "isu raksasa" berkembang ke mana-mana. Tatkala Mahfud MD dan Menkeu dipanggil oleh DPR untuk memberikan klarifikasi kepada rakyat melalui DPR, isu ini menjadi isu nasional lebih besar dari BLBI dan Bank Century. Intinya, korupsi di negara kita memang sudah lepas kendali. Stempel "korupsi mengerikan" bagi Indonesia sungguh tidak bisa di elakkan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia melompat 10 point dari 2010 hingga 2020! Kenapa meningkat tajam, tanya Presiden Jokowi kepada Menko Polhukam dalam satu penerbangan di pesawat, kata Menko Polhukam. Makin buruk IPK suatu negara, tingkat kepercayaan negara tersebut. untuk investasi asing akan makin turun.
Tentu banyak faktor yang mempengaruhi IPK, bukan hanya kinerja KPK , Kejaksaan, Kepolisian dan ASN sendiri. Tapi yang diakui banyak pihak, sector pengawasan di semua instansi juga ikut "berdosa"; dalam arti, pengawasan di hampir semua instansi pemerintah lemah. Kalau instansi pengawasan ternyata ikut-ikutan melakukan korupsi, apa jadinya ? Jika DPR yang salah satu fungsinya mengawasi pemerintah, ikut-ikutan main korupsi, apa tidak hancur negara kita ? Maka, sudah lama ada teriakan keras agar wakil-rakyat dipisahkan dari fungsi eksekutif. Kenapa Ketua partai politik atau Sekretaris Jenderal parpol kena OTT juga dan dijebloskan dalam sel tahanan ?
Tidak heran, Skandal 349 T menjadi ruwet dan kompleks setelah2 (dua) bulan lebih. Makin lama dibahas di DPR, terkesan makin ruwet. Cekcok antara Arteri Dahlan, anggota wakil rakyat dari Fraksi PDIP dan Menko POlhukam berlangsung sangat panas, karena Arteri mengancam akan mempidana Mahfud Usulan pembentukan "Panja" (Panitia Kerja) seperti skandal Bank Century saja membuka ruang adu-mulut yang panas: antara yang pro dan kontra.
Mahfud MD tampaknya bernafsu membongkar kasus 349 T sampai ke akar-akarnya. Toh, tidak mudah bagi Menko Polhukan. Kenapa sulit ? Multi factor membuntuti Mahfud. Sang Menko Polhukam pun dituding sedang "main politik" melalui lemparan "bom atom" ini: Apakah Mahfud ingin balas dendam atas kegagalannya jadi Wakil Presiden 4 tahun yang lalu?! Bayangkan, Mahfud yang - kita percaya -- hendak melakukan bersih-bersih Republik Indonesia dari sarang korupsi tiba-tiba dituding ingin balas dendam politis ?!
Menjelang Idul Fitri yang lalu, "pertikaian" panas antara Komisi 3 dan Menko Polhukam reda sesaat. Bukan berhenti, bukan! Diam-diam Kantor Menko Polhukam dan PPATK mengumumkan pembentukan Satgas Penegakan Hukum kasus dugaan TPPU senilai 349 T. Satgas dibentuk pemerintah karena DPR terkesan tidak mau berinisiatif membentukPansus. Pemerintah berfikir, jika DPR tidak mau berinisiatif membentuk Pansus, Pemerintah mengambil inisiatif menyiapkan Satgas Penegakan Hukum. Tentu setelah Idul Fitri, Satgas Penegakan Hukum kantor Menko Polhukam akan LANGSUNG BEKERJA. Dan jika wakil-wakil rakyat dipanggil oleh Satgas untuk dimintai keterangan, apakah wakil rakyat boleh menolak ?
Saran kita skandal 349 T segera ditangani dan dibersihkan secepatnya oleh state-holders dengan menjawab 5 pertanyaan akbar di bawah ini:
1. Siapa saja yang terbukti "bermain" dalam dugaan transaksi kotor senilai 349 Triliun?
2. Siapa pun yang punya indikasi terlihat, serahkan saja kasusnya kepada Aparat Hukum Negara untuk secepatnya diperiksa.
3. Jika Sebagian "pemainnya" memang ASN atau petinggi Kementerian Keuangan, segera dilakukan bersih-bersih dan restrukturisasi dalam Kemenkeu.
Jangan lagi diperpanjang diskusi atau debat "ala dagelan" DPR-Pemerintah !!
Publik muak mengikutinya! Dan publik emoh negara kita tercinta mendapat stemple "NEGARA GAGAL" oleh dunia luar karena tidak mampu menyelesaikan masalah hukum sesuai prinsip Keadilan dan Kebenaran.
Prof. DR. Tjipta Lesmana, M.A, Guru Besar Emeritus Komunikasi dan ex. Anggota Komisi Konstitusi MPR
Simak Video 'Sahroni Nilai Satgas Rp 349 Triliun Tak Perlu: Komite Sudah Ada':