Pengumuman nama Capres yang diusung PDIP itu banyak ditunggu para pihak. Ada kesan lamban dan hati-hati. Berdasarkan pengamatan saya, meski kesan lamban itu tidak bisa ditampik, namun itu justru menunjukkan Mega itu cermat. Dalam konteks kandidasi politik elektoral, Mega itu bukan hanya cermat, namun juga brilian, setidaknya, berdasarkan amatan saya, khususnya yang terjadi di Jawa Tengah.
Pada awal-awal Era Reformasi, dalam penentuan calon yang diusung dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah, kentara sekali keberpihakan Mega lebih kepada publik daripada terhadap kadernya sendiri. Pada Pilgub 2003, Ketika masih dipilih oleh DPRD, Mega menjatuhkan dukungan politiknya terhadap pasangan Mardiyanto β Ali Mufiz yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa(PKB).
Saat Mega belum melihat ada kadernya yang memenuhi kriteria "ideal", ia tidak ragu untuk mengusung calon di luar kader. Padahal, jika ia mau, PDIP hasil Pemilu 1999 mempunyai 42 kursi dari 100 kursi di DPRD Jateng, kemenangannya sudah ada di depan mata, saat PDIP mau berkoalisi (menggandeng) dengan salah satu partai untuk bisa memperoleh suara 50 % plus 1.
Menjelang Pilgub 2003, di intern PDIP Jateng terjadi dinamika. Mardijo, sebagai ketua DPD PDIP Jateng berkehendak maju, namun Mega tidak merestui. Tafsir saya Ketika itu, Mega memang tidak mau berspekulasi dengan mengusung Mardijo, yang pada akhirnya akan membawa dampak terhadap reputasi partai.
Pemilu pertama era reformasi (1999), PDIP menjadi pemenang Pemilu. Bahkan di Jateng memperoleh 42,10 persen, dengan 42 kursi. Sebuah kemenangan telak. Karena itu, wajar jika Mardijo berambisi maju sebagai gubernur. Namun, mengapa Mega tidak menunjuk Mardijo sebagai calon gubernur yang diusung PDIP ? Itulah, briliannya. Mega ingin melakukan pengkaderan terlebih dahulu, daripada memaksakan kadernya yang belum siap, kemudian justru kontraproduktif.
Pada akhirnya, ketika Mardijo nekat dengan mengusung dirinya berpasangan dengan Hisyam Ali (koalisi PDIP-PPP), Mega memecat Mardijo sebagai Ketua DPD PDIP Jateng. Dalam Pilgub, Mardijo-Hisyam Ali hanya memperoleh 13 suara. Sementara itu Mega mendukung pasangan Mardiyanto-Ali Mufiz yang diusung PKB dengan perolehan 62 suara.
Kejadian yang sama terjadi pada Pilgub 2008 (sudah dengan regulasi baru, dipilih langsung oleh rakyat). Mega tidak mengusung kadernya sendiri sebagai calon yang diusung dalam Pilgub, namun kadernya sendiri hanya diposisikan sebagai wakil, yakni Rustriningsih. Karena itu, pada Pilgub 2008 PDIP mengusung Bibit Waluyo - Rustriningsih. Padahal, kalau saja Mega mengusung kadernya sendiri, diperkirakan akan leading. Namun, Mega tetap saja bertindak strategis dengan menempatkan kadernya sebagai wakil.
Pada Pilgub 2013, Mega telah melihat kader yang mumpuni untuk diusung dalam Pilgub, Ganjar Pranowo. Sehingga, dengan penuh keyakinan, Mega mengusungnya dalam dua periode dan terpilih, yakni Pilgub 2013 dan 2018. Saat Mega mengusung Joko Widodo, sejak dalam Pilkada di Solo (2005), di DKI (2012) hingga akhirnya dalam Pilpres 2014, semua itu tidak lepas dari brilyanitas Mega. Saat itu, juga diputuskan secara lamban, namun tepat dan menang.
Karena itu, ketika ditanya banyak teman, PDIP akan mengusung siapa dalam Pilpres 2024, jauh-jauh hari saya sudah memprediksi, Mega akan menujuk Ganjar Parnowo. Alasan saya sederhana, di samping cermat dan brilian, Mega juga berkalkulasi untuk menang. Dalam relung terdalam Mega, sebenarnya ingin mengusung putrinya (Puan Maharani). Namun, Mega tidak pernah memaksakan kehendaknya, termasuk kehendak untuk mengusung Puan. Hal yang sama, Mega tidak meng-endorse kadernya sendiri dalam Pilgub Jateng 2003 dan 2008.
Konstelasi Pilpres
Melihat konstelasi Pilpres, saya perkirakan akan muncul tiga pasangan calon, atau hanya dua pasangan. Jika tiga pasangan, capresnya Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Tiga nama inilah yang akan berkontestasi dalam Pemilu serentak (Pileg dan Pilpres) 14 Fabruari 2024. Atau, hanya dua pasangan, jika Prabowo bersedia "hanya" menjadi wakilnya Ganjar.
Berdasarkan pernyataan para fungsionaris partai Gerindra, nyaris tidak mungkin Prabowo bersedia hanya menjadi Cawapres. Namun, politik masih selalu dinamis, kalaupun toh Prabowo oke menjadi wakilnya Ganjar, artinya Pilpres nanti hanya diikuti dua pasangan.
Maka, berapapun pasangan yang turut berkontestasi, seperti kata Hendro Satrio, Pilpres nanti hanya diikuti dua pasangan calon: "Anies versus non Anies". Anies mewakili kelompok pro perubahan, non Anies mewakili pro status quo. Koalisi pengusung Anies sebagai Capres (Nasdem, Demokrat, dan PKS) telah membentuk Koalisi Perubahan dan Persatuan. Yang lain, masih sedang dan akan berproses.
Dengan format koalisi pro perubahan dan pro status quo dalam Pilpres, sungguh akan menjadi batu uji berat bagi Mega untuk memenangkan Ganjar. Indonesia itu bukan hanya Jateng yang mutlak merahnya. Kemenangan Joko Widodo dalam Pilpres 2014, faktor utamanya, saat itu Jokowi diasosiasikan sebagai "fenomena perubahan".
Prediksi saya, kemenangan Ganjar tidak melekat dengan diri Ganjar, namun sangat tergantung kehebatan visi, misi, dan program yang akan dibuat Anies. Jika Anies hanya berhenti pada tataran abstrak perubahan, seperti memenuhi janji kemerdekaan, mewujudkan kesetaraan dan menegakkan keadilan sosial, Ganjar akan melenggang, apalagi Prabowo menjadi wakilnya. Isu-isu Anies itu tidak punya greget perubahan.
Namun, jika Anies mampu menurunkan visi, misi, dan programnya dalam bentuk kebijakan yang lebih bersifat praksis untuk memenuhi hak-hak konstitusional dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, Ganjar akan morat-marit menghadapi Anies. Kebijakan rezim saat ini dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan yang terekam dalam pembukaan (tujuan bernegara) dan pasal-pasal konstitusi.
Maka, jika saja Anies mampu menawarkan kebijakan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan dengan mengedepankan pada kebijakan ekonomi kerakyatan (koperasi), pendidikan tinggi yang murah (atau bahkan gratis), dan meng-cover seluruh warga dengan jaminan sosial kesehatan (BPJS Kesehatan gratis untuk semua), kekuatan Anies tidak akan bisa dibendung. Kebijakan yang lebih bersifat demokrasi sosial tersebut, pernah diimpikan Moh Hatta, seperti negara-negara di Skandinavia. Fakta, negara-negara Skandinavia dikenal dengan kesejahteraan warganya. Negara-negara yang warganya amat jujur, social trust-nya juga tinggi.
Apakah Anies mempunyai keberanian mental untuk mengembalikan cara bernegara seperti yang dicita-citakan para pendiri negara yang terekam secara otentik dalam konstitusi? Kita lihat episode-episode tahapan Pilpres hingga 14 Februari 2024.
Thontowi Jauhari kader Muhammadiyah
(mmu/mmu)