Jakarta - Momen mudik identik dengan lonjakan mobilitas penduduk yang mengakibatkan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas yang berakibat kematian, penumpukan kendaraan, dan penumpang. Realitas ini kerap terjadi seiring dengan peningkatan jumlah pemudik dari tahun ke tahun, seperti data yang disampaikan Kementerian Perhubungan. Pada 2022 ada sekira 85,5 juta orang pemudik, dan diperkirakan 2023 ini melonjak menjadi 125 juta orang.
Sebagian besar mobilitas mudik berlangsung di Pulau Jawa baik ditinjau dari daerah asal maupun tujuan pemudik. Pada 2022, sekira 58,4 persen atau sebanyak 49,9 juta pemudik berasal dari Pulau Jawa. Kemudian daerah tujuan sebagian besar pemudik juga adalah wilayah-wilayah di Pulau Jawa, dengan jumlah sebanyak 64,8 juta orang atau 75,8 persen dari prediksi jumlah pemudik.
Sebagian besar pemudik menggunakan moda kendaraan pribadi untuk perjalanan ke kampung halamannya. Jumlahnya sebesar 47 persen, atau sekitar 40 juta lebih orang. Kemudian disusul transportasi umum darat sebanyak 31 persen. Berbagai upaya dilakukan Pemerintah, baik peningkatan kapasitas dan pembangunan infrastruktur maupun kebijakan terkait pengendalian arus mudik dan arus balik.
Pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi, sejak 2014 sampai dengan Februari 2022, ada 36 ruas jalan tol baru yang beroperasi dengan panjang total 1.569,17 km, pembangunan/perbaikan jalan non tol 4.600 km, ada 15 bandara baru, 38 ekspansi dan perbaikan bandara lama serta pembangun 124 pelabuhan baru.
Dalam pengendalian arus mudik dan arus balik, pemerintah dengan leading sector Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, dan Polri menetapkan kebijakan bersama dalam rangka rekayasa lalu lintas. Jajaran TNI memberikan dukungan sarana dan bantuan pengamanan. Kementerian, BUMN (Perseroan/PT), dan swasta menyelenggarakan berbagai program seperti mudik gratis, pengurangan biaya/diskon tiket dan biaya tol. Kesemuanya dalam rangka bersinergi demi kelancaran kegiatan mudik.
Namun dengan berbagai upaya tersebut belum dapat menjamin kelancaran dan keselamatan serta kenyamanan pemudik. Karena belum optimalnya pengendalian pada sisi "supply" pemudik secara terstruktur dan sistematis. Walaupun memang sudah ada upaya pemerintah melalui himbauan untuk melakukan perjalanan mudik lebih awal, namun hal ini hanya efektif bagi pelaku perjalanan non pegawai pemerintah dan perusahaan. Bagi pegawai pemerintah (Aparatur Sipil Negara) keputusan melakukan perjalanan mudik dan arus balik terikat dengan kebijakan cuti bersama dan kebijakan cuti internal organisasi.
Fleksibel Pengaturan Cuti Bersama
Terminologi cuti bersama dikenal pertama kali pada 2009 melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2009, Nomor: SKB/13/M.PAN/8/2009, Nomor Kep. 227/MEN/VIII/2009 tentang Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2010. Cuti bersama merupakan langkah pemerintah untuk kembali menggairahkan sektor pariwisata pasca-peristiwa bom bali.
Secara substansi, tren kebijakan cuti bersama diberikan pada waktu Libur Nasional memperingati hari besar keagamaan. Kebijakan cuti bersama bagi ASN merujuk pada Pasal 310 (f) dan pasal 333 Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juncto PP No. 17 Tahun 2020 sedangkan untuk PPPK merujuk pada Pasal 77 dan pasal 91 PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja.
Merujuk PP tersebut, cuti bersama ditetapkan melalui Keputusan Presiden dengan tanpa ada ketentuan berapa lama waktu cuti bersama (diserahkan kepada judgement Presiden). Oleh karenanya, Presiden dapat menentukan berapa lama waktu cuti bersama diberikan kepada ASN.
Fleksibel pengaturan cuti bersama Hari Raya Idul Fitri bagi ASN menjadi alternatif kebijakan pemerintah dalam mengatasi ledakan mobilitas penduduk para masa arus mudik dan arus balik yang sekaligus dapat memberikan momen dan meningkatkan derajat kebahagiaan.
Pengaturan waktu cuti bersama dilakukan dengan cara menggabungkan dengan cuti tahunan sehingga akan memberikan durasi waktu yang cukup dan memberikan opsi bagi ASN dalam memutuskan waktu perjalanan untuk mudik atau balik di Hari Raya Idul Fitri. Kebijakan ini juga dapat berkontribusi terhadap pengurangan penumpukan dan kepadatan arus lalu lintas karena pemudik ASN mungkin tidak akan melakukan perjalanan pada waktu yang bersamaan.
Kebijakan Cuti Bersama bagi ASN diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dalam diktum kebijakannya, mengatur rentang waktu cuti bersama misalkan 10 hari kerja sebelum dan sesudah hari raya Idul Fitri, waktu cuti bersama tanpa menetapkan hari dan tanggal cuti bersama namun hanya menyebutkan lama waktu misalkan 5 hari kerja, serta cuti bersama dapat digabungkan dengan cuti tahunan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan ini, setiap institusi pemerintah pusat dan daerah menetapkan kebijakan internal yang mengatur teknis pemberian cuti tahunan yang digabungkan dengan cuti bersama yang kebijakannya berpedoman pada peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 juncto Nomor 7 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil. Kebijakan internal instansi pemerintah tersebut juga berlaku untuk PPPK.
Adapun langkah-langkah penerapan kebijakan ini, yaitu setiap instansi pemerintah agar: 1) mengidentifikasi unit kerja yang masuk kategori esensial dan non esensial; 2) mengkategori jenis jabatan yang dapat mengajukan cuti tahunan hari raya Idul Fitri (gabungan antara cuti tahunan dengan cuti bersama dan liburan hari raya Idul Fitri); 3) penetapan lama cuti tahunan yang dapat disetujui; dan batasan jumlah pegawai yang diberikan cuti tahunan paling banyak 50% (lima puluh persen) dari jumlah pegawai yang ada di masing-masing unit kerja/satker.
Bahwa setiap ASN yang memenuhi kriteria yang ditetapkan berdasarkan kebijakan internal instansi dihimbau untuk mengajukan permohonan cuti tahunan Hari Raya Idul Fitri. Di samping itu, pimpinan instansi diimbau untuk tidak mengadakan "open house" atau sejenisnya pada hari pertama berakhir cuti bersama.
Pilihan kebijakan lainnya adalah penerapan Flexible Working Arrangement (FWA). Pegawai ASN diberikan pilihan untuk mengajukan FWA dengan bekerja dari mana saja (Work from Anywhere/WFA) dan/atau dari rumah (Work from Home/WFH) selama masa libur atau cuti bersama. Dengan demikian, ASN dapat tetap berkinerja dengan menjalankan tugas jabatannya tanpa terbelenggu dengan waktu liburan dan cuti bersama. Praktik kerja dengan model WFH ini efektif untuk mengendalikan mobilitas sebagaimana terbukti pada masa penerapan kebijakan terkait Covid-19.
Potensi efektivitas fleksibilitas kebijakan bagi ASN dalam rangka mengendalikan mobilitas masyarakat pada arus mudik dan balik juga dapat dipengaruhi dari pertimbangan anggota keluarga, yaitu anak usia sekolah. Institusi pendidikan hendaknya menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama bulan Ramadan dan Syawal Tahun Hijriah pada masa cuti bersama Hari Raya Idul Fitri. Melalui kebijakan PJJ, peserta didik dan tenaga kependidikan memiliki pilihan waktu untuk melakukan perjalanan untuk mudik dan arus balik maupun ke tempat tujuan tertentu (destinasi wisata).
Mudik dalam rangka Hari Raya Idul Fitri menjadi agenda nasional merupakan tradisi masyarakat yang tidak hanya dilakukan pemeluk agama Islam namun lintas agama di Indonesia sehingga terjadi momen lonjakan mobilitas penduduk yang besar. Mudik memberikan benefit baik secara sosial dan ekonomi. Kebijakan cuti bersama merupakan pilihan kebijakan yang masih perlu dan sangat baik dilakukan karena mengakomodasi dan memenuhi harapan masyarakat. Menetapkan fleksibilitas kebijakan cuti bersama menjadi pilihan untuk mengendalikan arus mudik dan arus balik sehingga masyarakat dapat memiliki pilihan dalam memutuskan waktu perjalanan.
(mmu/mmu)
Kolom
Mudik Lebaran dan Fleksibilitas Cuti Bersama
Rabu, 19 Apr 2023 11:00 WIB
BAGIKAN
BAGIKAN