Blantika musik Tanah Air diingarbingarkan oleh sekelumit dinamika yang ditampilkan Ahmad Dhani dan Once Mekel. Belakangan, di banyak media pewartaan mengabarkan keduanya saling adu argumentasi atas nama musik, eh, maksudnya atas nama kebenaran.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis saat dinamika keduanya mampu mempengaruhi jagat musik lebih luas. Sebab selain nama besarnya, substansi permasalahannya juga mengandung edukasi implisit soal sistem aturan musik di Ibu Pertiwi.
Untuk diketahui, jejak perselisihan keduanya mulai santer saat mereka bersiap untuk konser 30 tahun Dewa 19 pada Februari lalu, dan mungkin masih berkembang hingga kini. Perkembangan masalahnya juga tidak kalah menarik, permulaan perseteruan keduanya yang "diasumsikan" muncul hanya gara-gara perbedaan pendapat tentang daftar lagu Dewa 19 yang ingin dipertunjukkan (saat konser 30 tahun Dewa 19), lanjut pada somasi Ahmad Dhani yang melarang Once untuk membawakan lagu Dewa 19 hingga saling mencerca yang melibatkan masa lalu mereka.
Tapi itu agaknya wajar saja; kalau kata Once, "Ya begitulah main musik," saat melakukan obrolan di kanal Dunia Manji. Dari sisi rezim hak cipta, dinamika yang melibatkan kedua musisi kenamaan tersebut dinilai sebagai persoalan etik. Sebab, melalui Undang-undang No. 28 Tahun 2014, Pasal 23 menyebutkan pelaku pertunjukan tidak perlu meminta izin (terlebih dahulu) kepada pencipta selagi pelaku pertunjukan tersebut membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Tapi akan lebih baik jika meminta izin terlebih dahulu kalau melihat dari sudut pandang hak moral bagi pencipta.
Walau kemudian, beberapa orang memaklumi bahkan mendukung apa yang dilakukan oleh Ahmad Dhani sebagai suatu hal yang wajar. Karena dari rumpun kekayaan intelektual, inventor (pencipta) menempati posisi tertinggi dalam kasta "si paling berhak" untuk bersikap bagaimanapun terhadap ciptaannya dan mendulang manfaat dari ciptaannya dalam bentuk apapun. Senada dengan itu, gagasan John Locke tentang Labour Theory juga menyatakan bahwa seseorang (yang menciptakan sesuatu) akan mendapatkan insentif sosial dari masyarakat untuk mengangkat harkat dan martabatnya.
Dinamika Ahmad Dhani dan Once juga sekaligus mengingatkan kita tentang pasang surut perkembangan musik Tanah Air. Bahkan kalau kita mundur ke belakang, gambaran yang terjadi antara Ahmad Dhani dan Once bukanlah merupakan perkara yang baru.
Beberapa dari kita tentu pernah mendengar kabar Muhammad Istiqamah Djamad atau yang akrab disapa Is hengkang dari Payung Teduh pada 2017 silam. Is yang saat dimintai keterangan menjelaskan bahwa tidak ada unsur masalah (negatif) atas plihan keputusannya untuk hengkang dari Payung Teduh. Kala itu, Is hanya menyatakan sudah berbeda cara pandang dengan personel lainnya dalam menjalani band yang membesarkan namanya.
Usut punya usut, buntut permasalahannya bermula saat ada seorang musisi lain yang membawakan lagu Payung Teduh berjudul Akad, namun mengganti sedikit penggalan liriknya. Hal tersebut jelas merupakan tindakan modifikasi ciptaan yang oleh UU 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebut sebagai suatu hal yang dilarang.
Video Akad besutan Payung Teduh yang dibawakan oleh orang lain itu ternyata bermuatan salah kaprah memahami hak moral bagi pencipta, tapi sukses mendulang 40 juta pendengar di kanal Youtube (setidaknya angka ini merunut pada catata dari rilisan di beberapa media mainstream).
Menguatkan Sistem Aturan
Kembali, melalui perseteruan yang terjadi antara Ahmad Dhani dengan Once kita disuguhkan bagaimana dunia hiburan bekerja, walau yang utama bagi saya adalah tentang bagaimana masalah kedua bapak-bapak musisi senior itu memberikan edukasi tersirat untuk orang awam seperti saya. Bagaimana kemudian dinamika mereka berdua turut memberikan pemahaman kepada banyak orang akan sistem peraturan perundang-undangan blantika musik Tanah Air.
Melalui mereka berdua lah kita sebagai masyarakat awam menjadi tergugah untuk mempelajari hal yang terkait dengan musik dari sisi peraturan, khususnya royalti --karena kalau menyoroti apa yang terjadi antara Ahmad Dhani dengan Once mulai berkembang pada persoalan royalti. Maka kalau kita mundur sedikit ke belakang lagi, andil perjuangan insan musik Tanah Air dalam menguatkan sistem aturan musik kita adalah sebuah keniscayaan.
Mengutip Pongki Barata (musisi yang sudah malang melintang di dunia musik selama puluhan tahun), "Peraturan Pemerintah) No. 56 Tahun 2021 yang mengatur tentang royalti itu diperjuanginnya dari tahun '92 lho..." katanya dalam sebuah wawancara di kanal Youtube VokalPlus by Indra Aziz.
Apa yang diungkapkan oleh Pongki Borata itu menegaskan satu fakta kisah dari seorang komponis dangdut era 90-an, Syam Permana, yang kini terpaksa harus memenuhi kehidupannya sebagai pemulung. Padahal, banyak musisi dari skena dangdut yang kehidupannya menjadi lebih layak berkat membawakan lagu-lagu ciptaan Syam.
Lalu, kita dapat berasumsi bahwa tegaknya hukum di negara ini sangat mencerminkan adagium Fiat Justicia Ruat Caelum, yang artinya "Tegakkan keadilan sekalipun langit akan runtuh". Dalam konteks persoalan ini, implementasi dari peraturan perundang-undangan yang memayungi musik harus tegak walaupun mempertaruhkan nasib pribadi musisinya.
Nasib yang bagaimana? Nasib musisi untuk terima saat digunjing oleh banyak orang, padahal orang-orang yang menggunjingnya belum tentu mengerti akan akar permasalahannya. Lagi, mungkin hal demikian merupakan konsekuensi logis di industri hiburan.
Maka apa yang dialami oleh Is (vokalis Payung Teduh) dan perseteruan hangat antara Ahmad Dhani dengan Once Mekel merupakan wajah martir blantika musik Tanah Air. Nasib mereka sebagai pelaku di industri hiburan dikeruk oleh sentimen publik yang kemudian berimplikasi pada pemahaman serentak akan peraturan perundang-undangan tentang musik. Bak seorang martir yang sedang memperjuangkan keyakinannya, untuk sesuatu yang lebih besar manfaatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efektivitas Penegakan Hukum
Kencangnya pemberitaan terkait dinamika yang dialami insan musik melahirkan persepsi menarik. Kalau mengutip gagasan Soerdjono Soekanto tentang efektivitas penegakan hukum, setidaknya apa yang terjadi hari ini merupakan bagian dari pemenuhan unsur-unsur yang dapat meningkatkan terwujudnya efektivitas penegakan hukum, yakni kesadaran hukum di masyarakat. Khususnya yang terkait dengan rezim hak cipta beserta aturan-aturan turunannya.
Konklusi sederhananya, dilihat dari latar belakang Once Mekel yang pernah berkuliah hukum dan Ahmad Dhani yang mengumpulkan informasi A1 dari pemangku kebijakan sebagai bentuk validasi akan tindakannya mensomasi Once, semakin menguatkan bahwa mereka sedang memainkan peran martir untuk mengedepankan pandangan tentang hukum sebagai landasan berpijak dan cara untuk mencapai tujuan.
Selain itu, langsung maupun tidak langsung, mereka membantu tegaknya hukum secara lebih efektif. Sebagai alinea yang akan mengakhiri artikel ini, hemat saya wajah martir insan musik Indonesia merupakan label yang tidak bisa ditawar lagi. Mengingat ingar bingarnya industri hiburan kita, beleid untuk selalu melahirkan hukum yang bernuansa keberpihakan kepada keadilan adalah hal yang patut untuk selalu diperjuangkan. Agar generasi setelahnya dapat mengambil banyak pelajaran dari para pendahulu di kemudian hari.
Ahmad Mathori pemerhati Hak Kekayaan Intelektual
Simak juga 'Ahmad Dhani Sudah Sakit Hati dengan Once Mekel Sejak 2010':