Penyandang Disabilitas Mental dalam Hukum Pidana
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Penyandang Disabilitas Mental dalam Hukum Pidana

Selasa, 18 Apr 2023 14:30 WIB
Andika Dwi Amrianto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Yudo Andreawan
Yudo Andreawan akhirnya ditangkap polisi (Foto: Wildan N/detikcom)
Jakarta -
Dunia maya dihebohkan dengan seorang pria yang bernama Yudo Andreawan. Ia kerap berbuat onar di berbagai tempat, antara lain di Stasiun Manggarai, mengamuk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan diduga menghina seorang profesor. Yudo juga pernah menabrakkan mobil ke trotoar di BSD, mengobrak-abrik klinik dokter gigi, berbuat rusuh di konter handphone hingga mengamuk di Stasiun Sudirman.

Pada Jumat (14/4) Yudo ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Setelah ditangkap, Yudo mengaku kepada penyidik bahwa dirinya mengalami mental disorder. Sehingga perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukannya selama ini dorongan dari penyakit mental tersebut

Kemampuan Bertanggung Jawab

Menurut para ahli hukum, pengertian kemampuan bertanggung jawab adalah kemampuan terhadap sadar atau tidaknya seseorang saat melakukan perbuatan yang melawan hukum, ada atau tidaknya tujuan yang pasti, ada kehendak bebas orang itu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pertanggungjawaban dapat dikatakan sah dan prosesnya dapat dilanjutkan jika memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban itu sendiri. Hal tersebut berhubungan dengan kemampuan pelaku tindak pidana. Kemampuan yang dimaksud meliputi kemampuan psikologi pelaku tindak pidana dalam memproses tindakan dan kehendak di dalam dirinya saat melakukan tindak pidana.

Proses pemidanaan yang menyangkut tentang pelaku tindak pidana yang mengalami gangguan jiwa. Dalam pemeriksaan hakim harus dengan teliti memastikan kemampuan bertanggungjawab pelaku tersebut. Apakah ada kemungkinan bahwa dalam masa pertumbuhan pelaku, pelaku mengalami cacat mental, sehingga hal tersebut mempengaruhi pelaku untuk membedakan antara perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.

Hukum pidana menjelaskan mengenai alasan penghapus pidana yang dalam hal ini dibagi menjadi dua yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pertama, alasan pembenar, yaitu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan meskipun perbuatan itu telah memenuhi rumusan delik dalam Undang- undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan.

Kedua, alasan pemaaf, yaitu menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain dia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan

Aturan Hukum

Dalam KUHP mengatur mengenai penyandang disabilitas mental yang melakukan tindak pidana Pasal 44 ayat (1) menyebutkan: "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana."

Kemudian ayat (2) menyebutkan: "Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.".

Sedangkan dalam KUHP Versi terbaru atau UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 38 berbunyi: "Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan." Dan, Pasal 39: "Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/ atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan."

Aturan di atas menggambarkan di mana pelaku tindak pidana dengan jelas telah melakukan hal yang dilarang oleh hukum, namun unsur-unsur pertanggung jawabannya tidak terpenuhi, maka hakim yang telah mengatakan bahwa pelaku tidak memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dalam hal ini pelaku dibebaskan dari hukumannya.

Setelah serangkaian usaha telah dilakukan untuk membuktikan ketidakmampuan pelaku untuk bertanggung jawab dan akhirnya dibebaskan dari hukuman, hakim dalam hal ini memiliki wewenang untuk melakukan tindakan lanjutan yang dapat memberikan efek positif bagi pelaku tindak pidana, dan di saat bersamaan memberikan rasa tenang bagi korban, keluarga korban, juga masyarakat luas. Tindakan lanjutan juga diperlukan untuk melihat perkembangan pelaku saat dalam masa pengobatan dan karantinanya.
Andika Dwi Amrianto, S.H Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Simak juga 'Ini Momen Yudo Andreawan Bentak Polisi dengan Kata Kasar':
(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads