Gembar gembor soal transisi energi sudah menjadi mainstream baru di tingkat global. Sebanyak 166 negara telah melaporkan National Determinated Contributions (NDCs) secara resmi yang memuat target Net Zero Emission (NZE) masing-masing pada UNFCC. Hal ini sebagai komitmen atas hasil dari The Paris Agreement 2015 yang telah disetujui 196 dan berlaku sejak 2016. Indonesia juga sudah meratifikasinya lewat UU No. 16 tahun 2016.
Konsep NDCs ini lebih bersifat volunteery sebagai kerangka acuan kerja sama global yang nantinya akan diperbaharui berdasarkan update data setiap 5 tahunan. Adapun komitmennya dapat direvisi sesuai dengan update perkembangan nasional masing-masing.
Indonesia telah mengajukan NDCs pertama pada 2019 dan melakukan update pada 2021 di COP 26 di Glasgow, di mana di dalamnya merevisi beberapa target NZE menjadi 2060 atau lebih cepat, atau maju 10 tahun. Salah satu komitmen besar pemerintah dalam 2nd NDCs tersebut adalah dengan upaya percepatan target transisi energi yang disesuaikan dengan Rencana Umum Pembangkitan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030.
Bagi kalangan pemerintah dan PLN sendiri RUPTL ini dianggap memuat target paling ambisius dengan target bauran energi 23%. Dengan target ini PLN merencanakan 51,8% pembangkit baru (tambahan) setara 20 GW berasal dari unsur EBT. Saat ini kapasitas pembangkit PLN telah mencapai 71GW didominasi oleh pembangkit berbasis uap sebesar 35,2 GW, disusul mesin uap/gas 20,5 GW, berbasis air 6GW, diesel 4,7GW, geotermal 2,1 GW dan EBT lainnya 2,2GW. Total EBT termasuk biomassa, air, geotermal, angin dan surya saat ini baru mencapai 14,7% atau 10.4 GW. Target tambahan 20GW tidak lain merupakan ambisi sangat besar bagi PLN.
Kompetisi di Ranah Investasi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
NDCs dan RUPTL jelas untuk mengaitkan skenario pendanaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 Paris Agreement di mana negara-negara maju berkewajiban memobilisasi pendanaan dalam rangka memitigasi perubahan iklim serta menjaga kelestarian lingkungan di negara-negara berkembang termasuk dengan mekanisme konversi.
Paris Agreement mengasumsikan kontribusi gas rumah kaca (GRK) dari emisi yang dihasilkan oleh negara maju secara perkapita jauh lebih tinggi dibanding negara-negara berkembang. Di sisi lain, upaya menjaga ekosistem global tidak bisa dijalani sendiri-sendiri, perlu kompak agar negara berkembang mulai berpikir untuk menjaga ekosistemnya baik hutan, laut ataupun terkait penggunaan energi, pengelolaan sampah dan lain sebagainya.
Semua itu akan melahirkan trade off terhadap growth oppprtunity untuk eksploitasi sumber daya alam, makanya kemudian perlu disubsidi silang oleh penyumbang karbon yang lebih besar. Logika Paris Agreement memperkokoh skema carbon trade yang sebelumnya dikenal dalam REDD dan REDD+ yang sudah diregulasi aturan mainnya sejak dalam COP 16 di Cancn, Meksiko, 2010 tapi diperluas tidak hanya menyangkut hutan tapi juga melibatkan berbagai sektor lainnya.
Pada 2022 lalu pasca G20 mulai dikenalkan istilah Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati oleh negara-negara maju dan development agency untuk membiayai percepatan transisi di negara berkembang senilai 100 miliar dolar AS per tahun, Indonesia sendiri mendapat komitmen senilai 20 miliar dolar AS untuk mendukung akselerasi transisi tersebut terutama dengan mendorong pensiun dini PLTU.
Butuh Ekosistem Baru
Dalam penerapan transisi menuju EBT membutuhkan ekosistem baru di sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Saat ini, ekosistem sektor ketenagalistrikan lebih berbasis monopoli di bawah skema bundelling, hanya PLN yang dapat menjual listrik ke konsumen. Dengan mempertimbangkan kajian teknis dan logika pasarnya, EBT lebih efisien diterapkan dengan adanya pasar kompetitif dimana produsen akan memproduksi listrik dengan skala yang kompetitif memanfaatkan potensi EBT yang ada secara lokal dan langsung menjualnya ke konsumen.
Di sisi lain, produsen juga dapat melibatkan konsumen membangun jaringan pembangkit mandiri berbasis PLTS atap atau dapat dipadukan dengan Wind Turbine, dan nantinya berjalan proses ekspor impor daya, dimana kelebihan produksi konsumen dapat disalurkan ke provider untuk didistribusikan ke konsumen lainnya.
Jaringan listrik berbasis EBT ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem baru dalam sektor ketenagalistrikan yang efisien dan efektif di mana insentif berbasis market mendorong setiap orang merancang kemandirian energi dan perusahaan provider akan dengan senang hati menjadi fasilitator dan penunjang sistem dari mulai konsultasi untuk rencana pembangunan pembangkit mandiri, penyediaan dan perawatan, hingga asuransi dan sistem back up.
Nantinya antar provider perlu disepakati aturan main dan kerjasama dalam hal saling menunjang (jual beli) termasuk adanya back up dari backbond system yang memastikan topangan terhadap kondisi intermitensi dari pembangkit EBT yang bergantung dengan mekanisme alam. Backbond system bersumber dari sistem masal yang berbasis pembangkit konvensional skala masif; terutama pembangkit berbasis mesin gas, ditambah dua basis EBT yang lebih stabil yaitu geotermal ataupun PLTA dengan skala besar sebagai ganti dari rencana pensiun dini PLTU Batubara.
Pembangkit yang ditempatkan di backbond system setidaknya dapat menghasilkan kapasitas daya yang dapat ditransmisikan di jaringan 275-500 KV yang telah tersedia, khususnya di Jawa Bali dan Sumatera.
Masih Lambat
Sayangnya, transisi energi dalam RUPTL masih sebatas proses menambah porsi pembangkit berbasis EBT dari PLN dan suplier IPP-nya yang secara pelan pelan dibarengi dengan upaya mengkonversi pembangkit konvensional ke EBT. Pertama, rencana cofiring yang mengubah konsumsi pembangkit uap berbasis batubara dg biomassa di kisaran 5% atau dengan perubahan teknologi diharapkan dapat mencapai 10-20%.
Kedua, pembangunan pembangkit baru berbasis EBT, di mana PLTS komersial sejauh ini hanya ada 2 di Kupang sebesar 5 MW dan Likupang sebesar 15 MW ditambah adanya pengembangan dua proyek PLTS berbasis floating cirata dan PLTS land based di Grati. Sedangkan PLTB ada di Sidrap dan Janeponto (Sulsel) yang masing-masing sebesar 75 MW dan 2 x 135 MW.
Sisanya, mengandalkan geotermal dan hidro yang disesuaikan dengan kemampuan grid dan tentunya nilai komersial terhadap tarif dasar listrik dan mempertimbangkan pula beban intermitensi dalam kehandalan grid.
Butuh Konsensus
Ke depan PLN dan pemerintah tentu membutuhkan rencana pelibatan masyarakat dan swasta harus dirumuskan secara matang yang saat ini hanya memberikan porsi maksimal 15% daya untuk pengimplementasian PLTS atap tanpa adanya komitmen ekspor-impor daya sehingga relatif terbilang restriktif.
Padahal tanpa pelibatan tersebut, upaya transisi akan cenderung lambat dan bahkan bila dipercepat dengan memaksakan penambahan utang/obligasi pun akan menjadi bumerang karena risiko biaya operasional yang besar sementara politik TDL akan membatasi tingkat harga jual dengan kenaikan moderat.
Dorongan untuk memobilisasi peran swasta melalui kontrak-kontrak investasi dengan IPP juga belum cukup optimal mengingat ada dua hambatan fundamental. Pertama, belum berlakunya skema Feed in Tarif yang memberikan insentif harga lebih tinggi, terlebih di dua sistem utama; Jawa-Bali yang saat ini mengalami over supply, dan disusul Sumatera pasca pembangkit mulut tambang beroperasi penuh.
Kedua, adanya skema Build, Own, Operate and Transfer yang memaksa penyerahan fasilitas pembangkit pada PLN, padahal keuntungan EBT lebih banyak pada investasi jangka panjangnya dengan capital expendicture yang jauh lebih besar dibanding pembangkit konvensional yang membutuhkan suplai energi primer.
Kolaborasi multipihak diperlukan untuk merumuskan ulang rencana transisi energi yang serius berdasarkan potensi, ketersediaan teknologi, kemampuan pembiayaan, dan kemampuan ekonomi konsumennya. Pembentukan ekosistem baru mutlak diperlukan dengan tata kelola yang mendorong optimalisasi proses transisi tanpa mengorbankan resiliens PLN sebagai backbond system ketenagalistrikan nasional. Mengingat transisi energi penting untuk masa depan lingkungan tapi tak bisa serta merta mengabaikan faktor kehandalan sistem yang nantinya akan berdampak pada ekosistem ekonomi nasional.
Hafidz Arfandi peneliti bisnis berkelanjutan Sustainability Learning Center
Simak juga 'HIPMI Dorong Pemerintah Gerak Cepat Terkait Transisi Energi':