Senasib dengan tokoh emansipasi Kartini yang meninggal disebabkan komplikasi kehamilan dan persalinan, di Asia Tenggara diperkirakan masih ada ratusan juta perempuan terancam kematian maternal.
Pengertian kematian maternal didefinisikan sebagai kematian seorang perempuan dalam kondisi hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, oleh sebab apa pun.
Sampai dengan tahun 2005, WHO mencatat sekitar 450 kematian maternal untuk setiap 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu (maternal) dan bayi baru lahir (neonatal) di Asia Tenggara ini berkontribusi kepada sepertiga kematian ibu dan bayi baru lahir sedunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat Kartini meninggal karena penyebab kematian maternal (tahun 1904), Indonesia belum merdeka. Apakah tahun 2030 nanti, dalam melaporkan pencapaian 15 tahun Sustainable Development Goals (SDGs) sekaligus memperingati 85 tahun kemerdekaan RI, kita bisa melaporkan penurunan risiko kematian maternal yang dihadapi Kartini-Kartini muda di negara ini?
Fasilitas kesehatan
Indonesia sudah diperkaya dengan pengadaan sekitar 10 juta fasilitas kesehatan primer milik negara (Puskesmas). Sekitar 2-3 kali lipat jumlah tersebut dengan pengadaan fasilitas kesehatan milik swasta, terutama di Indonesia Barat dan Tengah. Namun, pertambahan jumlah fasilitas kesehatan termasuk tempat persalinan yang layak standar nasional belum tentu terpenuhi di setiap provinsi dan kabupaten/kota.
Begitu juga masih tercatat kekurangan jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang terampil (memenuhi standar keterampilan nasional). Ini merupakan tantangan utama untuk meningkatkan persentase ibu bersalin yang 'survive' dari kematian maternal, termasuk bayi baru lahir yang ikut survive pula.
Banyak kematian maternal justru terjadi saat ibu bersalin sudah tiba di rumah sakit atau klinik tempat persalinan. Kenyataan juga menunjukkan, banyak daerah kantong kemiskinan dan daerah terpencil (daerah dengan situasi geografi sulit seperti daerah kepulauan, pegunungan, hutan serta rawa), dan daerah dengan sulit akses transportasi yang memperburuk akses persalinan di fasilitas kesehatan modern dengan penolong persalinan terlatih.
Investasi pada perempuan
Jaminan keberhasilan penurunan risiko kematian maternal terbaik adalah jika perempuan diberdayakan langsung. Diperlukan sejumlah besar perempuan dengan semangat Kartini untuk memperjuangkan kesetaraan gender di bidang pendidikan agar bisa memajukan perempuan di segala bidang.
Investasi utama adalah peningkatan akses akan informasi dan layanan kontrasespi yang efektif. Pengendalian jumlah kehamilan dan persalinan sebatas yang direncanakan merupakan upaya efektif pencegahan kematian maternal. Namun, di milenia baru ini, masih ada jutaan Kartini muda yang memasuki pernikahan dalam usia anak (dibawah 19 tahun) dan mereka tidak dibekali pengetahuan tentang bagaimana memilih alat kontrasepsi agar dapat menunda kehamilan pertama sampai usia diatas 19 tahun.
Hukum yang berlaku saat ini melarang akses informasi tentang kontrasepsi bagi remaja belum menikah, walaupun mereka sudah aktif seksual.
Sustainable Development Goals (SDGs)
Pada September 2015, Indonesia turut mengusung tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan" atau Sustainable Development Goals (SDGs). Bersama 193 negara lain Indonesia menyatakan komitmennya di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk turut menuju agenda universal yang harus dilaksanakan oleh semua negara peserta.
Sasaran SDGs memuat rencana aksi global selama 15 tahun guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan melindungi lingkungan. Kesepakatan SDGs merupakan kesepakatan pembangunan yang mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Saat ini tinggal tujuh tahun menjelang tahun 2030, saat Indonsia juga akan merayakan ulang tahun kemerdekaan ke-85.
Kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan
Para tenaga kesehatan (nakes) terkait perawatan kehamilan dan persalinan seharusnya sudah sangat menguasai cara menangani tiga penyebab klasik kematian maternal seperti perdarahan, infeksi dan pre-/eklampsia. Namun, masih banyak perempuan yang tidak mendapat informasi bahwa kematian maternal dapat dihindari.
Mengapa demikian? Pertama, data yang missing. Belum tampak inisiatif pemerintah (pusat dan daerah) untuk menerapkan kebijakan memonitor kejadian kematian seorang perempuan dalam kondisi hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apa pun.
Data ini perlu dimonitor secara sederhana karena kematian maternal sebenarnya tidak perlu lagi terjadi (kebijakan zero maternal death).
Kedua, setiap perempuan seharusnya dapat mengakses informasi dan layanan tentang kontrasepsi modern untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan (kebijakan zero unmet need).
Dan yang ketiga, setiap perempuan juga harus mendapat perlindungan hukum untuk tidak mengalami kekerasan berbasis gender dalam rumah tangga, termasuk terpaksa kawin atau pernikahan anak (zero gender-based violence and harmful practices) di bawah usia 19 tahun (termasuk dispensasi KUA yang mengizinkan pernikahan anak di banyak daerah).
Sampai sekarang, belum ada desa atau kelurahan atau kabupaten/kota yang memperlihatkan komitmen untuk mendata ketiga ukuran Tiga Nol (Three Zeros) berbasis komunitas ini. Padahal caranya cukup sederhana, tiap desa/kelurahan/kabupaten-kota melaporkan sejauh mana keberhasilan mencapai target nol kematian maternal, nol unmet need untuk menggunakan kontrasepsi jika tidak ingin hamil, dan nol kekerasan berbasis gender di dalam rumah tangga sepanjang tahun pengamatan.
Pemahaman hak reproduksi perempuan. Masyarakat yang tidak atau belum paham tentang hak reproduksi permpuan tidak terbatas pada Kartini muda, tetapi juga para penyedia pelayanan kesehatan dan pembuat kebijakan kesehatan dan kependudukan. Perlu di evaluasi tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang kesetaraan gender, hak hidup dan hak reproduksi perempuan, dan mungkin pendapat mereka tentang kesepakatan SDGs tahun 2030.
Peringatan hari Kartini hendaknya menjadi peluang untuk belajar memahami bahwa Kartini sendirian saat menghadapi risiko kematian maternal dan sendirian juga saat meninggal dunia. Ini membuktikan, hak hidup dan terhindar dari risiko kematian maternal adalah risiko individu yang dihadapi hanya oleh perempuan.
Ada kekosongan informasi tentang siapa yang berhak menentukan keputusan tentang hal ini. Akibatnya, dengan mudah dimasukkan pernyataan bahwa ini adalah hak pasangan. Pasangan berarti kepala keluarga atau suami yang menjadi penentu terakhir di berbagai daerah dengan adat istiadat patriarki.
Jika saja mereka paham risiko kematian maternal hanya ditanggung oleh individu perempuan, bukan oleh pasangannya, tentunya tidak akan ada undang-undang yang secara sengaja menggunakan hak pasangan sebagai pengganti hak asasi perempuan. Contohnya, Undang-Undang Kependudukan nomor 52/2009 yang melarang pemberian layanan informasi dan layanan kontrasepsi kepada perempuan yang membutuhkan dengan memberlakukan diskriminasi usia dan status menikah. Undang-undang ini tidak memperhitungkan perkawinan anak masih banyak terjadi di Indonesia. Padahal, jelas perempuan yang menggunakan kontrasepsi berpeluang lebih tinggi untuk mencegah dan menjarangkan kehamilan dari pada jika tidak menggunakan.
Bagi korban pernikahan anak, dan remaja perempuan yang rentan akan perlakuan kekerasan seksual, tidak ada kesempatan untuk mengakses informasi tentang manfaat kontrasepsi dalam menurunkan risiko kematian maternal sama sekali.
Dari analisa data perempuan kawin dengan unmet need Keluarga Berencana di Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017 (SDKI 2017), terlihat persentase suami tidak setuju KB di 14 provinsi Indonesia mencapai kisaran 12% sampai 35%. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka nasional di sekitar 11%.2,3
Secara literal, sepertiga dari pasangan atau suami tidak setuju istrinya ber-KB. Berarti perempuan tidak terpenuhi hak asasi untuk hidup terhindar dari risiko kematian maternal jika terpaksa hamil lagi dan lagi.
Jika Undang-Undang Kependudukan dan juga Undang-Undang Kesehatan terus menerus menekankan hak pasangan didahulukan, dan tidak mengakui hak individu perempuan, jelas program Keluarga Berencana Indonesia tidak akan bisa melaporkan hasil pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) pada tahun 2030 nanti. Indonesia seakan tidak mengerti Kesepakatan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 adalah kesepakatan akan perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
Seyogyanya, justru disusun peraturan-peraturan yang mendukung penyebarluasan informasi untuk pemberdayaan perempuan sehingga mampu memilih kontrasepsi modern, menggunakan kontrasepsi darurat jika hubungan seksual terjadi tanpa perlindungan (kondom atau alat kontrasepsi lainnya), dan tahu kemana harus mencari pengobatan jika mengalami komplikasi dan efek samping alat kontrasepsi yang sedang digunakan.
Perubahan semacam ini akan dapat menurunkan risiko kematian maternal.
Keberpihakan pada perempuan
Sebaiknya Undang-Undang Kependudukan, Undang-Undang Kesehatan dan juga Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sedang disusun secara konkrit mendukung hak individu terutama hak reproduksi perempuan. Hak pasangan yang mendahului hak individu tidak dapat menurunkan risiko kematian maternal dan juga tidak mendukung hak azasi manusia perempuan. Hak pasangan tidak secara otomatis memindahkan risiko kematian maternal kepada pasangannya. Hal ini tidak sejalan dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 yang Indonesia seharusnya melaporkan perubahan yang menjunjung hak asasi perempuan dan kesetaraan, sesuai dengan harapan Kartini.
Sekarang ini, justru menempatkan perempuan pada posisi tersudutkan. Terkait hak reproduksi perempuan, risiko kematian maternal tidak berubah, dulu dan sekarang. *
RUJUKAN
1.WHO. The Department of Making Pregnancy Safer Regional Highlights 2009. World Heal. Organ. (2010). Geneva: World Health Organization
2.UNFPA. One Vision Three Zeros: Annual Data 2018. (United Nations Population Fund, 2019). New York: United Nations Population Fund
3.BPS, BKKBN, Kemenkes dan ICF. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). (2017). Jakarta: Badan Pusat Statistik
dr. Suryono Slamet Imam Santoso, SpOG