Ada kata-kata bijak yang patut untuk direnungkan dari seorang filsuf asal Inggris, Bertrand Russel (1872-1970), "There are two motives for reading a book: one, that you enjoy it; the other, that you can boast about it." Jika diartikan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, "Terdapat dua motif untuk membaca buku: pertama, kau menikmatinya dan yang lain, kau menyombongkannya." Quote ini mengandung makna yang dalam untuk direfleksikan oleh para sarjana-intelektual.
Membaca merupakan bagian dari aktivitas literasi yang menjadi kunci untuk membuka gerbang ilmu dan pengetahuan. Aktivitas literasi tentu bukan hanya soal membaca, menulis, menghitung, dan aktivitas kognitif lainnya yang seringkali dilakukan dalam lingkungan akademik. Aktivitas literasi juga paralel dengan transformasi diri. Semakin dalam intensitas pergumulan literasi dalam diri, seharusnya semakin kuat juga membentengi diri dari potensi lahirnya prilaku destruktif, seperti gengsi-arogansi intelektual, truth claim, serta mengkerdilkan orang atau kelompok yang berbeda, terlebih ketika berada dalam percakapan akademik di ruang publik dan menjadi konsumsi khalayak.
Aktivitas literasi perlu dipahami sebagai proses belajar sepanjang masa (life long learning) dalam rangka menjadi subjek, yakni karakter manusia yang bijak, kritis, kreatif, serta peduli, bersimpati, dan berempati pada diri, sesama manusia, dan lingkungan hidupnya. Artinya, aktivitas literasi sangat erat kaitannya dengan etika dan moralitas. Hendak diarahkan kemana motif dan orientasi dari aktivitas literasi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ide moralitas dan spirit literasi salah satunya bisa bersumber dari nilai-nilai agama dan pesan mendalam pada simbol spiritualitas keagamaan. Salah satu simbol ide moralitas dan spirit literasi dalam spiritualitas keagamaan adalah puasa. Puasa sebagaimana yang sedang dilakukan oleh umat muslim ini memiliki pesan simbolik paralel terhadap moralitas dan spirit literasi. Ide moralitas literasi terkandung dalam nilai-nilai ibadah puasa, dan aktivitas puasa itu sendiri merupakan laboratorium untuk mengendalikan prilaku destruktif serta spirit literasi terdapat pada momentum penting dalam puasa Ramadan yang seringkali diperingati, yakni peristiwa nuzulul Qur'an (diwahyukannya Al-Quran).
Memperkaya Pengetahuan
Ibadah puasa pada bulan Ramadan terdapat banyak khazanah dan mosaik yang bisa digali untuk memperkaya pengetahuan keberagamaan kita, salah satunya adalah pada bulan puasa Ramadan terdapat peristiwa bersejarah yang monumental sepanjang masa yakni peristiwa turunnya wahyu atau dikenal dengan nuzulul Qur'an. Peristiwa monumental bersejarah ini sering diperingati pada 17 Ramadan atau hari ke-17 puasa. Dalam banyak literatur, disebutkan pula bahwa peristiwa nuzulul Qur'an secara historis terjadi pada malam Lailatul Qadar.
Pada peristiwa nuzulul Qur'an ini, Allah mewahyukan al-Qur'an sebagai pedoman dan worldview bagi kehidupan umat manusia. Peristiwa ini berawal dari meditasi Muhammad di Gua Hira hingga suatu ketika terdengar suara yang menggelegar. Suara tersebut tak lain adalah suara Malaikat Jibril yang memerintahkan Muhammad untuk membaca, iqra. Tidak kurang dari tiga kali, kata tersebut diulang hingga akhirnya Jibril melanjutkan kalam Allah yang dititipkan untuk Muhammad sebagai pesan wahyu pertama yakni Surat al-'Alaq ayat 1-5.
Kata "iqra" menjadi kata kunci permulaan al-Qur'an diwahyukan. Pada ayat yang pertama permulaan al-Quran diwahyukan, "iqra bismi rabbika al-ladzi khalaq (bacalah dengan menyebut Tuhanmu yang telah mencipktakanmu)" terkandung makna dan pesan yang luhur dan mendalam. Setidaknya terdapat dua simbol pesan yang terkandung, yakni simbol spirit keilmuan atau intelektualitas dan peneguhan spiritualitas. Kata "iqra (bacalah)" menjadi simbol pesan spirit keilmuan dan diteruskan dengan peneguhan spiritual yang bersifat transendental, yakni mengingatkan kepada Sang Pencipta.
Peristiwa nuzulul Qur'an adalah momentum untuk kembali membangkitkan, menggerakkan, dan menguatkan spirit literasi. Kata kunci sederhana dari literasi adalah membaca dan menulis. Membaca dalam arti yang luas dan holistik, tidak terbatas dan terpaku pada membaca teks, bisa membaca fenomena dan realitas sosial kemasyarakatan, lingkungan, dan kemanusiaan. Dengan begitu maka aktivitas membaca akan lebih konstruktif.
Khofifah (2021) menyampaikan agar momentum nuzulul Qur'an dijadikan sebagai momentum untuk menguatkan kemampuan literasi. Menurutnya, paling tidak terdapat tahapan dalam literasi yang perlu ditingkatkan, yakni listening society, reading society, dan writing society. Pada tahap yang pertama yakni aktivitas menyimak, lalu dilanjutkan dengan tahapan yang kedua, yakni menelaah, dan tahapan yang terakhir adalah dengan menuangkan dalam bentuk naskah untuk menjadi karya.
Dalam lintasan sejarah peradaban dunia, literasi memegang peranan yang sangat penting. Sebut saja dalam masa kejayaan Islam pada era Dinasti Abbasiyah, terutama pada Khalifah Harus al-Rasyid. Melalui Baitul Hikmah yang didirikan di Baghdad pada abad ke-9 M yang bermula dari perpustakaan, kemudian bertransformasi menjadi lembaga penerjemahan, penelitian, yang tidak hanya bagi umat Islam tapi juga bagi umat-umat beragama lain. Kemapanan literasi inilah yang berkontribusi pada kemajuan dan kejayaan umat dalam peradaban.
Ibadah puasa perlu dimaknai sebagai ibadah yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ritual-spiritual yang pasif, memusatkan seluruh aktivitas ibadah secara ekstrem pada dimensi vertikal (teosentris). Ibadah puasa inilah yang diingatkan oleh Nabi Muhammad hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah). Ibadah puasa seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan produktivitas hidup yang bernilai dan bermakna. Selain untuk meningkatkan derajat spiritualitas, ibadah puasa sudah seharusnya dijadikan momentum meningkatkan taraf intelektualitas. Taraf intelektualitas bisa ditingkatkan dengan aktivitas literasi, sebagaimana simbol yang terdapat dalam sepenggal ayat pada QS. Al-'Alaq ayat pertama.
Laboratorium Diri
Pernyataan Bertrand Russel pada permulaan tulisan ini adalah keniscayaan akan moralitas literasi. Kadangkala setiap diri manusia terkandung sikap jemawa setelah menempa diri pada aktivitas literasi dan menjadi selebritas intelektual. Tak jarang mempertontonkan gengsi dan arogansi diri merasa paling menguasai berbagai hal karena banyak membaca dan menulis seraya mengkerdilkan pihak lain, menganggap salah pada setiap yang berbeda, atau bahkan menjadi stempel pembenaran atas perilaku destruktif. Pada konteks inilah, Bertrand Russel menyebut bahwa aktivitas literasinya hanya untuk menyombongkan diri.
Ibadah puasa adalah laboratorium diri untuk melatih menahan dan mengendalikan semua nafsu dan hasrat biologis. Pemaknaan puasa (al-shaumu) itu sendiri secara tekstual-literal adalah al-imsak yang berarti menahan atau mengendalikan. Secara normatif fikih dimaknai sebagai menahan diri dari kebutuhan biologis (makan, minum, dan hasrat seksual) dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Hakikat maknanya adalah menahan dan mengendalikan diri dari hawa nafsu yang seringkali manusia terjerumus pada orientasi keduniaan yang melampaui batas dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika. Dalam konteks moralitas literasi dapat dimaknai bahwa puasa selain dapat membangkitkan spirit literasi, pada waktu yang sama juga harus menjadi energi pengendali setiap diri (self control) dari perilaku flexing intelektual, truth claim, hingga arogansi intelektual.
Habib Iman Nurdin Sholeh dosen UIN Salatiga
(mmu/mmu)