Kita patut menyangsikan instruksi Presiden Jokowi yang meminta pejabat negara untuk tidak gemar pamer harta. Pasalnya, seperti yang dikeluhkan banyak orang, larangan pamer harta sesungguhnya belum menukik akar permasalahan.
Contoh mutakhir yakni kasus bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo (RAT), yang belakangan menyita perhatian publik. Anak Rafael, Mario Dandy (20), menganiaya D (17). Mario diketahui sering pamer Rubicon dan motor gede di media sosial miliknya. Jumlah kekayaan RAT yang melebihi batas wajar seorang ASNβmencapai Rp 56 miliarβpun terendus. Fakta itu menjadi pintu masuk pengungkapan skandal lain, dari soal transaksi janggal senilai Rp 500 miliar melalui 40 rekening hingga soal safe deposit box senilai Rp 37 miliar.
Artinya, gemar pamer harta hanyalah permasalahan yang tampak, sementara penegakan hukum atas dugaan korupsi dan pencucian uang adalah akar masalah. Alih-alih menyoroti akarnya, Presiden Jokowi lebih memilih menyoroti masalah yang tampak di permukaan. Hal tersebut diikuti oleh sejumlah kementerian dan lembaga, bahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dengan mengeluarkan surat edaran agar jajarannya hidup sederhana dan tak gemar pamer harta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, pilihan untuk menginstruksikan gaya hidup sederhana, selain tidak menyentuh akar permasalahan, juga mengandung permasalahan.
Gaya Lama
Pada 1974, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang kesederhanaan hidup. Mudahnya, Keppres No. 10/1974 itu meminta pegawai negeri untuk "melaksanakan pola hidup sederhana".
Salah satu instruksinya, pesta pribadiβmisalnya perkawinan, ulang tahun, atau khitananβharus diselenggarakan dengan sederhana dan tidak berlebihan. Yang termasuk berlebihan yakni pesta pribadi dilakukan dua kali untuk satu peristiwa, atau penyelenggaraan pesta tersebut dihadiri oleh lebih dari 250 pasang undangan. Kelak, indikator berlebihan itu dihapus dalam Keppres No. 47/1992.
Puluhan tahun berikutnya, November 2014, imbauan hidup sederhana kembali digalakkan, bahkan menjadi gerakan nasional: gerakan hidup sederhana. Hal ini bermula saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 13/2014. SE tersebut menjadi tindak lanjut dari perintah Presiden untuk mendorong kesederhanaan hidup bagi seluruh penyelenggara negara.
Surat itu sepanggang seperloyangan dengan Keppres era Orde Baru. Kesederhanaan ditunjukkan melalui pembatasan jumlah undangan resepsi acara pribadi seperti pernikahan, dan tidak memperlihatkan kemewahan dan/atau sikap hidup berlebihan serta memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati kepada masyarakat. Memang, instruksi untuk hidup sederhana kerap didasarkan pada prinsip kepatutan dan kepantasan. Alasannya, sudah pasti rasa empati kepada masyarakat.
Mengatur Hidup Sederhana?
Jika diperhatikan, instruksi mengenai gaya hidup sederhana sebetulnya mengandung masalah. Pertama, mendefinisikan "sederhana" ternyata tak sederhana. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Seri Pendidikan Orang Tua: Membiasakan Hidup Sederhana (Edisi Revisi, 2018) misalnya, mendefinisikan hidup sederhana sebagai perilaku yang disesuaikan dengan kebutuhan utama.
Masalahnya, kebutuhan utama tiap orang pasti berbeda. Bagi mereka yang penghasilan bulanannya Rp 2 juta/keluarga, kebutuhan utamanya sandang, pangan, dan papan. Ini berbeda dengan mereka yang berpenghasilan puluhan juta per bulan, sebagaimana gaji RAT, bisa jadi memiliki Jeep Rubicon dan moge Harley-Davidson termasuk kebutuhan utama. Artinya, kesederhanaan tak sederhana untuk dirumuskan, melainkan sangat bergantung pada konteks, lingkungan sosial, dan sebagainya. Belum lagi untuk mendefinisikan kepatutan dan kepantasan, yang sama tak sederhananya.
Masalah itu pada gilirannya mengundang masalah kedua, yakni memunculkan aturan hukum yang tidak pasti. Keppres No. 10/1974 maupun SE No. 13/2014 sama-sama meminta penyelenggara negara untuk hidup sederhana dan tidak berlebihan. Namun, keduanya tidak memberikan indikator dan batasan kesederhanaan. Hal ini menyebabkan makna dari peraturan tersebut menjadi kabur dan tidak bisa menuntun ke arah pemahaman mengenai isinya secara pasti (Rahardjo, 2010).
Padahal, menurut Satjipto Rahardjo (1978), salah satu ciri utama dari hukum yang baik adalah selalu menghendaki agar apa yang dituju itu dirumuskan dengan jelas, dalam arti: (1) dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekaburan makna; dan (2) dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat memberikan arah pelaksanaannya dengan jelas.
Masalah yang kedua itu menjadi penyebab munculnya masalah ketiga, yakni kedudukan hukum (legal standing) pengaturan gaya hidup sederhana. Berbeda dengan Orde Baru yang mengaturnya melalui Keppres, saat ini pengaturan hidup sederhana hanya melalui SE atau instruksi. SE bukanlah produk hukum sebagaimana tercantum dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia (UU No. 12/2011). Karenanya, dipilihnya SE dapat dipahami karena dua hal, yakni karena tidak mudah merumuskan "kesederhanaan" dalam produk hukum, dan sekaligus untuk mengaburkan mekanisme penegakan hukumnya.
Pemerintah sudah seharusnya memikirkan aturan hukum yang jelas soal gaya hidup penyelenggara negara. Sebab, jika dibiarkan, persoalan gaya hidup hanya berhenti pada persoalan moral. Lebih penting lagi, akar permasalahan yang memunculkan gaya hidup mewah harus segera dicarikan penyelesaiannya.
Muhammad Fajar Sodik mahasiswa Hukum dan Masyarakat, kader PMII Fakultas Hukum Universitas Diponegoro