Kasus penganiayaan terhadap David Ozora oleh Mario Dandy, anak dari Rafael Alun Trisambodo (RAT), pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, berbuntut panjang. Masyarakat Indonesia kemudian dikagetkan dengan konferensi pers Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) yang mengungkap adanya pencucian uang senilai Rp 300 triliun, yang kemudian diralat menjadi Rp 349 triliun.
Pencucian uang ini seharusnya bisa diberantas oleh para penegak hukum, yang antara lain untuk kasus keuangan melibatkan penyidik pada Ditjen Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (Ditjen Bea Cukai). Dalam tulisan ini saya akan mengurai betapa problematiknya pengelolaan pajak Indonesia.
Rahasia Pajak
Berdasarkan Ketentuan Umum Perpajakan, petugas pajak (fiscus) harus merahasiakan data Wajib Pajak. Ketentuan tersebut sebagai sebuah penghormatan kepada Wajib Pajak yang telah sukarela melaporkan kekayaannya dan membayar pajak yang ditentukan. Namun demikian, kerahasiaan data Wajib Pajak justru menjadi celah bagi para oknum petugas pajak untuk bermain dengan Wajib Pajak.
Tidak akan ada yang tahu berapa riil kekayaan dari Wajib Pajak dan berapa riil pajak yang seharusnya dibayar. Dengan dalih kerahasiaan, aksi sulap menyulap nilai pajak menjadi sangat rapi. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bertugas melakukan audit secara independen sesuai perintah konstitusi, ternyata dilarang Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan untuk memeriksa data Wajib Pajak seseorang. BPK hanya diperbolehkan memeriksa informasi umum perpajakan misalnya berapa target dan pendapatan pajak setahun. Dengan demikian, data Wajib Pajak seseorang akan sulit diverifikasi oleh pihak independen.
Monopoli Pengelolaan Pajak
Kerahasiaan pajak ternyata diperparah dengan monopoli pengelolaan pajak. Peraturan teknis mengenai perpajakan dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak. Dari kasus RAT, kita juga tahu bahwa ada pegawai Ditjen Pajak yang bekerja sama dengan konsultan pajak untuk memanipulasi data pajak, meskipun praktik demikian jelas-jelas dilarang kode etik. Hal ini masih ditambah dengan kedudukan pegawai Ditjen Pajak sebagai pemeriksa pajak.
Dalam hal terdapat kasus hukum, pegawai Ditjen Pajak pula yang menjadi penyidik pajak. Lebih parahnya, untuk menjadi hakim pengadilan pajak, harus diusulkan oleh Menteri Keuangan, meskipun nantinya diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Demikian pula, pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Sebelum diganti pada 2023 setelah heboh kasus RAT, Komisi Pengawas Perpajakan yang seharusnya aktif mengawasi pengelolaan pajak, pun sebagian besar berasal dari orang Kementerian Keuangan. Sesuatu yang sangat potensial mengganggu independensi.
Dengan skema demikian, maka Ditjen Pajak, atau setidak-tidaknya, Kementerian Keuangan menguasai urusan dari hulu ke hilir pengelolaan pajak. Potensi untuk melakukan kejahatan di bidang perpajakan menjadi sempurna. Bila ada oknum pegawai Ditjen Pajak bekerja sama dengan konsultan pajak untuk memanipulasi pajak, ia bisa meminta perlindungan oknum lain dari Ditjen Pajak yang memeriksa, menyidik, dan menjadi hakim pajak. Warning KPK terkait adanya "geng pajak," patut menjadi perhatian kita dalam hal ini.
Reformasi Birokrasi Plus
Kasus pada Ditjen Pajak telah terjadi berulang kali. Dahulu kita dikagetkan dengan kasus mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai pajak Golongan III A yang kekayaannya fantastis. Semangat reformasi birokrasi dengan menaikkan remunerasi, kemudian disusul dengan Grand Desain Reformasi Birokrasi untuk 2010-2025 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan reformasi mental dari Presiden Joko Widodo, ternyata belum cukup untuk memperbaiki birokrasi.
Dengan melihat skema pengelolaan pajak, tampak nyata bahwa tidak adanya kontrol dan minimnya transparansi menjadi celah terjadinya carut marut perpajakan. Pada era teknologi informasi ini, masyarakat perlu diajak mengawasi urusan pajak. Bahkan kerahasiaan pajak sudah sepatutnya dihilangkan. Sebagaimana para orang kaya sering memamerkan kekayaannya di media sosial, sudah sepatutnya pula mereka memamerkan data pajak mereka.
Pajak adalah sumber pendapatan negara yang utama yang seharusnya masuk domain publik. Tentu tidak adil bila orang kaya bisa bermewah-mewahan dari hasil menilap pajak jatah negara. Terlebih untuk ASN, dengan adanya kewajiban melaporkan kekayaan penyelenggara negara, sepatutnya tidak ada kerahasiaan pajak bagi mereka. Toh gaji mereka juga didapat dari negara, sehingga publik berkepentingan mendapatkan informasi kekayaan, termasuk kewajiban perpajakan mereka.
Untuk swasta, sebagai kompromi kerahasiaan pajak, pihak independen, misalnya BPK, seharusnya diperbolehkan memeriksa data Wajib Pajak, dengan dikenakan kewajiban menjaga rahasia. DPR tidak cukup hanya mengkritisi hal kecil seperti kewenangan Menko Polhukam untuk mengumumkan adanya TPPU, yang sebenarnya sudah dijawab dengan tegas oleh Prof. Mahfud MD.
Khusus untuk pajak, DPR harus bergerak, karena kesalahan pengelolaan pajak sudah inheren sejak muncul dari Undang-Undang yang mereka sahkan, setidaknya dari Ketentuan Umum Perpajakan, Harmonisasi Perpajakan, dan Pengadilan Pajak. Saatnya berubah dengan membuka rahasia pajak, mekanisme kontrol, pembagian kewenangan, dan transparansi pengelolaan pajak, agar tidak muncul kembali kasus Gayus Tambunan dan RAT yang baru. Kalau bersih mengapa risih?
Roziqin dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, doktor Hukum dari Zhejiang University Tiongkok
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak juga '3 Poin Penjelasan DJP soal Keluhan Soimah':