Berita-berita miris mengenai tindak perundungan, kekerasan oleh anak, hingga kejahatan jalanan seolah tiada berkesudahan. Ini adalah fakta sosial yang harus kita pahami bahwa kekerasan begitu dekat dengan kehidupan kita. Keadaan seperti itu tentu berangkat dari kehidupan anak-anak yang jauh dari ideal. Bagaimana hubungan mereka dengan orangtua, keluarga, teman sebaya, guru maupun masyarakat sekitar.
Banyak faktor yang menyebabkan munculnya perilaku kekerasan oleh anak di antaranya adalah cara guru mendidik, pola asuh keluarga, dan juga gempuran informasi dari berbagai media digital saat ini. Pola asuh, kualitas hubungan orangtua-anak, kekerasan dalam rumah tangga, dan perceraian dapat mempengaruhi kenakalan anak remaja. Keluarga yang kurang mendukung atau memiliki hubungan yang buruk dengan anak dapat meningkatkan risiko kenakalan anak remaja.
Barangkali kehidupan ideal sebuah keluarga bagi remaja bermasalah adalah seperti sebuah dongeng yang hanya dapat mereka temukan di buku bacaan maupun sinetron. Keluarga miskin maupun berpunya nyatanya tiada beda. Kasus-kasus remaja sadis dan tega menganiaya temannya bukan hanya hadir karena kemiskinan. Namun tidak sedikit mereka juga berasal dari kalangan berpunya. Miskin kenyamanan dan kehangatan keluarga adalah penyebabnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kecemasan dan ketidaknyamanan selama bertahun-tahun hidup dalam kondisi ini tentu akan membentuk individu yang rapuh. Ketidakmampuan orangtua dalam mendidik anaknya di rumah kemudian dilempar ke sekolah. Harapan besar sebagian orangtua selanjutnya digantungkan di sana. Di mana minimal sepertiga waktu kehidupan anak dilewatinya di sekolah. Kultur sering terabaikan atau minim aturan atau bahkan kurangnya konsumsi ajaran kebaikan dan keteraturan dari rumah tentu terbawa juga di sekolah.
Di sekolah mereka akan cenderung berkumpul dan berkawan dengan beberapa teman yang se-chemistry, "senasib sepenanggungan", yang kemudian berujung pada terbentuknya kelompok anak yang demikian. Alih-alih mereka akan mendapatkan bimbingan khusus, perhatian istimewa atau tambahan pelajaran yang spesial, tidak jarang justru mereka dilabeli sebagai "anak nakal", "biang onar", "perusuh", dan sebutan-sebutan negatif lainnya. Baik oleh teman-temannya yang "baik-baik saja" maupun gurunya. Di sinilah anak masuk jebakan keterasingan kedua setelah rumah. Minim pengakuan, miskin penghargaan, dan jauh dari pujian.
Paradigma Baru
Kehadiran paradigma pembelajaran baru pada Kurikulum Merdeka menawarkan satu solusi untuk mengatasi hal ini. Di mana pada kurikulum ini guru harus menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran model ini dapat menjadi strategi yang efektif untuk mengatasi perilaku nakal atau gangguan perilaku pada anak.
Pembelajaran ini merujuk pada pendekatan pembelajaran yang mempertimbangkan perbedaan individual antara siswa dalam hal kecepatan, gaya belajar, minat, dan kebutuhan khusus lainnya. Beberapa strategi pembelajaran berdiferensiasi yang dapat diterapkan untuk membantu mengatasi anak nakal atau gangguan perilaku pada anak di antaranya dengan menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung, karena menciptakan lingkungan yang demikian akan dapat membantu mengurangi ketegangan dan stres pada anak dan meningkatkan konsentrasi dan fokus.
Kedua adalah dengan memberikan penguatan positif, yaitu dengan memberikan pujian, hadiah, dan penghargaan dapat membantu meningkatkan motivasi anak dan mengurangi perilaku negatif mereka. Pesan kuat yang ketiga pada pembelajaran model ini adalah dengan menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan individu yaitu guru perlu melakukan identifikasi kebutuhan dan preferensi individu anak dalam hal kecepatan, gaya belajar, minat, dan tingkat kesulitan dapat membantu menyesuaikan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Yang selanjutnya dapat diterapkan adalah menggunakan strategi konseling, dalam hal ini terapi perilaku kognitif atau konseling yang melibatkan keluarga. Hal ini diharapkan dapat membantu mengatasi masalah perilaku remaja dengan menyelesaikan masalah emosional atau psikologis yang mendasarinya.
Pendekatan Berbeda
Penting untuk diingat dan dipahami bahwa setiap anak adalah unik sehingga masing-masing perlu pendekatan yang berbeda dalam mengatasi perilaku nakal atau gangguan perilaku. Inilah tantangan baru bagi para guru. Karena perubahan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh ruang kolaborasi dan waktu untuk saling berbagi dan belajar.
Walaupun tanggung jawab pendidikan anak tidak semata bertumpu pada ranah sekolah saja, namun setidaknya pilar pendidikan sekolah menjadi satu penguat pada upaya-upaya baik lahirnya generasi yang berkualitas. Karena jika anak terlalu miskin pengakuan, pujian, maupun penghargaan, mereka tentu akan mencari jalannya sendiri dengan melakukan aksi-aksi di luar nalar dan bahkan nir kemanusiaan.
Dari sinilah keluarga, sekolah, masyarakat harus paham dan membuka mata, hati, serta pikiran dengan memberikan mereka sedikit waktu untuk didengarkan, ruang untuk unjuk diri, dan juga kesempatan untuk diakui. Tentunya dengan standar yang berbeda; standar pelayanan anak-anak "berkebutuhan khusus" ini menjadi sebuah hal penting dan darurat untuk dirumuskan. Karena mereka adalah anak-anak cemas yang juga menjadi bagian dari generasi emas yang digadang-gadang akan menjadi penerus kejayaan negeri ini.
Arifah Suryaningsih, S.Pd, MBA guru SMK N 2 Sewon, pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia
Simak juga '3 Pilar Sekolah Sehat yang Diusung Kemendikbud-Ristek':