Mengawali tahun 2023, sebuah kotak pandora seolah terbuka. Rangkaian peristiwa perlahan menjajal kesabaran masyarakat Indonesia, mempertemukan kita pada sosok Mario, yang dengan nir empati menganiaya David. Dari satu peristiwa, tersibaklah kasus lainnya, memajang semua kebobrokan yang juga pernah dilakukan sang ayah hingga merembet pada kinerja pejabat-pejabat negeri lainnya.
Episode Mario-David belum selesai. Beberapa waktu lalu sebuah berita tentang pelajar dari Tasikmalaya yang melakukan crowdfunding untuk mengganti sepatu temannya juga mencuri perhatian. Konten tersebut bagai oase di padang pasir. Banyaknya berita pem-bully-an, kekerasan, pembunuhan, penyalahgunaan narkotika yang menghiasi media sosial membuat masyarakat hampir kebas.
Para orangtua gugup, tenaga pendidik menjadi gagap dan merasa gagal mendidik generasi. Sehingga, peristiwa patungan sepatu tadi menjadi nyawa baru, meyakinkan kita bahwa masih ada harapan pada generasi saat ini.
Sulit Dihadirkan
Menyisipkan rasa empati memang sangat mudah diucapkan. Sebagai pendidik, bukan hal yang sulit mendikte siswa untuk bersikap empati. Tapi, dalam pelaksanaannya, ada banyak faktor yang luput diperhatikan. Jika kajian menjadi empati sudah penuh dalam kamus kita, saya mencoba mengamati, kenapa rasa empati itu sangat sulit dihadirkan?
Perjalanan menjadi guru dan pendidik menumbuhkan saya dalam banyak hal. Saya dipertemukan dengan siswa dengan latar belakang ekonomi, budaya, dan kepribadian yang berbeda. Perbedaan ini, dalam ruang-ruang kelas kian menjadi abstrak. Sebab, social pressure yang tinggi terkadang membuat siswa berusaha menyembunyikan identitas mereka.
Ada yang memiliki latar belakang finansial yang kurang baik, namun harus membeli alat sekolah yang mahal hanya agar diterima di sebuah circle pertemanan. Ada juga yang sudah lahir dengan sendok emas, namun memilih tampil sederhana, karena tak ingin menjadi sasaran empuk traktiran teman-temannya. Banyak skenario yang bisa tiba-tiba bermunculan ketika interaksi sosial di dalam kelas sudah berjalan.
Ketika masalah atau hal-hal buruk terjadi, terkadang kita berharap siswa bisa berempati dengan mereka. Apakah dengan membombardir mereka dengan informasi pilu setiap hari bisa mendatangkan rasa empati? Awalnya, saya merasa siswa harus ikut bersedih ketika sebuah fenomena tak enak dialami temannya. Tapi belakangan, saya menyadari kemampuan empati orang-orang sangat berbeda.
Apalagi, mereka yang tak terlatih dengan sikap empati sejak kecil di rumahnya atau mereka yang setiap harinya hanya mendengar kata kasar dari sekeliling. Empati mendatangkan perasaan serupa ke dalam hati kita agar bisa merasakan apa yang dialami orang lain. Tapi, menjadi suatu tantangan jika siswa lain baru saja mendapatkan sebuah prestasi di hari tersebut, namun tiba-tiba harus mengganti perasaannya menjadi sedih pada momen itu juga.
Berkamuflase menjadi persona lain sangat mungkin terjadi jika pendidik memaksa, atau bahkan mengerdilkan mereka yang belum terbiasa menghadirkan empati. Apalagi, tak semua orang siap untuk mendapatkan perasaan kurang menyenangkan. Peristiwa ini sudah terlebih dulu dikaji oleh C. Daryl Cameron, yang dalam hasil risetnya menyebut bahwa beberapa orang memang memilih abai untuk berempati, apalagi jika menyangkut uang, waktu dan korban orang asing bagi kita.
Bagi beberapa orang, empati adalah hidangan yang masih mewah.
Active Listening
Meski sulit, saya mencoba menerapkan konsep active listening sebelum memaksa mereka berempati. Secara sederhana, active listening melatih kita mendengar orang lain tanpa ada distraksi. Terkadang, ketika seorang teman menceritakan pengalaman menyedihkan, kita terlalu terburu-buru mencari solusi saat Ia masih berbicara, dan merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan solusi tersebut dengan cepat.
Saya pernah mewawancarai beberapa korban perundungan, dan menemukan sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Kebanyakan dari mereka tak berani membuka suara karena takut disepelekan oleh teman-teman lainnya. Misalnya, mereka yang dirundung secara verbal, akan sungkan curhat kepada mereka yang sudah dirundung secara fisik. Alhasil, hal tersebut perlahan menjadi pembiasaan. Salah satu jalan keluar yang mereka tempuh adalah keluar dari sekolah dengan alasan-alasan klise; tak kuat dengan sistem pembelajaran.
Salah satu miskonsepsi yang masih mengakar di kalangan pendidik bahwa melatih empati hanya tugas guru BK. Tak banyak hal yang bisa saya lakukan. Sebagai guru Bahasa Inggris, saya berusaha menyelipkan misi-misi ini dengan memberikan beberapa project, seperti Instagram Story project.
Karena santri tak bisa mengakses teknologi di lingkup pesantren, saya menugaskan mereka untuk menggambar akun Instagram, menulis status yang berisi salah satu masalah yang mereka alami di pondok dengan anonim. Tak hanya itu, saya menyelipkan proses active listening yang berubah menjadi active reading dan mengajarkan mereka cara memberi komentar yang baik dan bijak di media sosial.
Harapannya, hal ini bisa mereka gunakan kelak saat sudah berinteraksi dengan dunia digital di rumah masing-masing. Siswa lain pun nantinya akan menulis komentar dengan anonim, dan pada saat itulah saya akan membuka diskusi, menanyakan perasaan mereka jika hal yang diceritakan justru menjadi bahan olok-olokan, atau bahkan diabaikan sama sekali.
Semoga langkah ini bisa perlahan menumbuhkan rasa empati, entah dengan crowdfunding, sedekah, atau sekadar menghormati teman dengan segala keterbatasannya.
Mufidatunnisa pendidik dan penggerak literasi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan
(mmu/mmu)