Memahami VUCA, Menghindari "Luka"

Kolom

Memahami VUCA, Menghindari "Luka"

Ahmad Doli Kurnia Tandjung - detikNews
Kamis, 06 Apr 2023 13:30 WIB
Ahmad Doli Kurnia Tandjung (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Dunia berubah demikian cepat, bahkan membuat para futurolog merevisi teorinya terkait masa depan bangsa-bangsa. Namun kecepatan perubahan melalui digitalisasi dan robotisasi menyimpan ketidakpastian, dan itu belum bisa dijinakkan hingga hari ini. Ketidakpastian di era Industrial 4.0 dimaksud tak lain fenomena Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity atau VUCA yang mengacu pada dunia yang semakin bergejolak, kompleks, dan semakin tidak pasti.

Istilah VUCA pertama kali digunakan di dunia militer pada 1990-an untuk menggambarkan situasi pertempuran paramedis, di mana informasi lapangan sangat terbatas. Bertempur dengan informasi yang terbatas seperti berjalan dalam kebutaan dan dapat menyebabkan kebingungan dan menimbulkan chaos atau bisa disebut fog war.

Para pemimpin dunia sejauh ini belum dapat memprediksi apa yang akan terjadi tahun depan, sepuluh tahun ke depan, atau pasca era Industri 4.0. Di tengah situasi yang unpredictable tersebut, VUCA terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang mengubah cara hidup manusia. Pertama, Covid-19 pandemic. Pada awal 2020, tidak ada elite global manapun yang mengatakan dunia akan mengalami "restart" selama beberapa tahun tahun akibat pandemi. Ketiadaan data yang cukup saat itu membuat krisis kesehatan berdampak besar. Kita lihat bersama, jutaan nyawa menjadi korban, selain ambruknya ekonomi dunia dan new normal dalam kehidupan manusia.

Kedua, konflik Russia vs Ukraina yang hingga kini belum mereda. Awal 2022 para pemimpin negara-negara Eropa tak ada yang membayangkan benua biru akan mengalami perang terbuka berkepanjangan, seperti yang terjadi pada awal 1900-an hingga 1940-an. Namun situasi VUCA kembali berlaku, bahkan kini konflik telah menyeret kekuatan Barat (NATO) dan kekuatan Timur (China, Iran, Korea Utara) untuk masuk ke dalam kubangan perang nuklir yang mengerikan.

Ketiga, konflik Laut China Selatan (LCS) yang semakin tegang, khususnya setelah Australia, Inggris, dan AS membentuk aliansi AUKUS guna mengimbangi penetrasi China di kawasan ini. Gejala yang identik, pasalnya tiga tahun ke belakang, tidak ada analis militer dan geopolitik yang memprediksi AUKUS akan muncul di Asia Tenggara. VUCA sekali lagi berlaku, dan kabar buruknya, kawasan tersebut berdekatan dengan negara kita, sementara Indonesia belum tahu mau melakukan respon seperti apa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keempat, di bidang ekonomi VUCA juga terjadi beberapa kali, mulai dari ambruknya ekonomi Srilanka dua tahun lalu, yang diikuti krisis politik, dan yang terbaru kebangkrutan yang dialami Sillicon Valley Bank (SVB). Kejatuhan SVBβ€”bank terbesar kedua di AS tersebut sangat mengejutkan dunia.

Tak berhenti di situ, sejumlah ekonom memprediksi efek domino SVB akan mempengaruhi perbankan di luar AS. Akibatnya kepercayaan masyarakat dalam berinvestasi tergerus. Lebih jauh, industri digital yang lima tahun lalu dianggap sebagai "bisnis masa depan", faktanya tidak seindah yang kita bayangkan.

Dengan tumbangnya SVB, pendanaan start-up global juga mengalami gangguan. Bank-bank di Asia yang sebelumnya melihat start-up sebagai produk seksi, kini mulai berfikir realistis. Imbasnya, puluhan start-up menengah dan besar melakukan lay-off, bahkan ada juga bahkan yang bertenti operasi. Di Indonesia, JD.ID, salah satu e-commerce global memutuskan berhenti operasi, setelah gagal beradaptasi dengan pasar lokal.

ADVERTISEMENT

Jalan Keluar

Sementara e-comerce lainnyaβ€”meskipun tidak berhenti operasiβ€”namun melakukan PHK massal dalam jumlah besar. Mereka rata-rata juga belum untung secara bisnis, karena terjebak dalam lingkaran setang strategi "bakar uang". Jika demikian, lalu apakah tidak ada jalan keluar untuk menghadapi VUCA, selain pasrah dan berdoa?

Tentu di setiap masalah ada jalan keluarnya, di setiap krisis tersimpan opportunity. Akan ada titik cerah untuk kita bangkit dan mengatasi tantangan. Pada kasus VUCA, kunci agar bisa keluar dari jebakan ini adalah manajemen yang agile, lincah, dan mampu beradaptasi.

Teori Charles Darwin berabad-abad lalu menyatakan bahwa orang hebat bukanlah manusia cerdas atau kuat, tetapi mereka yang mampu beradaptasi terhadap perubahan. Dalam konteks negara-bangsa, tesis Darwin diperkuat oleh Friedrich Ratzel, yang menyatakan bahwa entitas yang mampu beradaptasi dengan perubahan adalah mereka negara-bangsa yang unggul.

VUCA bukanlah "kiamat" bagi manusia, negara, bangsa, perusahaan, maupun unit organisasi lainnya. Ia adalah sebuah tahap baru peradaban yang muncul pada timeline kehidupan manusia. Dalam konteks kekinian, perubahan peradaban pasca pandemi Covid-19 bisa dilihat dari menguatnya penetrasi digital, robotic, dan internet yang menjadi game changer dalam relasi sosial.

Adaptasi juga terlihat di sejumlah sektor, misalnya sektor pendidikan yang kini (pasca pandemi) mempertahankan pembelajaran hybrit, memadukan pertemuan offline dan online. Di sektor perbankan, perubahan terjadi dengan hilangnya meja-meja teller yang kaku, digantikan ruang tunggu yang lebih comfortable, dan penerapan digital di hampir semua transaksi.

Lalu di sektor customer, perubahan radikal terjadi dengan gaya hidup baru dalam berbelanja yang didominasi online, sehingga memaksa puluhan hypermarket dan mall menutup usahanya sambil memikirkan strategi baru untuk beradaptasi dengan VUCA. Pada bidang politik, khususnya kepemiluan, e-voting tak bisa dihindari untuk segera diterapkan, mengingat sunnatullah peradaban sedang bergerak ke sana.

Bila kita menolak digitalisasi dalam praktek politik, maka dunia politik akan dianggap usang, dan menjadi fosil. Salah satu kekhawatiran lambannya penggunaan e-voting, baik di partai politik maupun parlemen, terkait kemungkinan manipulasi hasil pemilu dan keamanan data. Itu merupakan respons yang wajar, namun kita harus belajar dari pengalaman (sektor-sektor lainnya) yang ternyata sukses melakukan perubahan.

Anomali SVB

Dengan kata lain, risiko selalu ada di mana saja, namun orang yang tidak mau menerima perubahan (beradaptasi)β€”mengutip Darwin dan Ratzelβ€”maka mereka akan kalah dan ditinggal oleh perubahan itu sendiri. Secara teknis saya berharap digitalisasi pemilu dapat dilakukan pada Pilkada 2024β€”karena Pileg dan Pilpresβ€”sudah terikat dengan UU yang berlaku, atau selambat-lambatnya pada Pemilu 2029.

Terakhir, jika kita membaca tulisan ini, sepintas tampak ada anomali di paragraf awal dan akhir tulisan. Yaitu pada case kebangkrutan SVB di tengah vibes ekosistem digital mereka. Apakah ini kegagalan dari digitalisasi yang justru akan kita tuju? Tidak! SVB yang berkembang di lingkungan yang serba sangat cepat, otomatis, robotic dan virtual, terlampau jauh percaya pada dogma digital absolut.

Pengakuan sejumlah sumber di dalam bank tersebut, penerapan Work From Home (WFH) secara besar-besaran di hampir semua level jabatan membuat koordinasi penanganan krisis berantakan. Hal itu karena para top leader bekerja dari berbagai benua sehingga terkendala zona waktu. Padahal saat krisis, kecepatan dan soliditas pimpinan merupakan hal yang utama. Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari krisis pasca VUCA dan SVB ini?

Pertama, ternyata VUCA bisa terus terjadi dan akan terus terjadi, meski kita mengklaim sudah melakukan transformasi digital di setiap entitas. Agilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci, mengingat ciri khas VUCAβ€”tak lain adalah ketidakpastian itu sendiri. So, dengan perubahan digital yang demikian cepat, siklus VUCA juga bisa terjadi lebih cepat dari yang dialami entitas konvensional.

Kedua, pentingnya berpikir out of the box, seperti mengadopsi hybrid system dan tidak menerapkan WFH berlebihan. Pasalnya koordinasi langsung tak jarang menjadi kunci dalam menghadapi berbagai tantangan, khususnya pada fase-fase krusial (berkaca pengalaman SVB). Lebih dari semuanya, kita tahu bahwa VUCA berikutnya akan terjadi lebih cepat, karena ekosistem kita yang juga cepat. Untuk itu, memahami VUCA secara mendalam akan membantu setiap entitas agar tidak terluka lebih dalam di tengah dunia yang semakin tidak pasti.

Ahmad Doli Kurnia Tandjung Koordinator Presidium Majelis Nasional Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI) 2023-2027, Ketua Komisi II DPR

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads