Kolom

Antiklimaks 349 Triliun

Anggito Abimanyu - detikNews
Rabu, 05 Apr 2023 15:00 WIB
Anggito Abimanyu (Ilustrasi: Luthfy Syahban/detikcom)
Jakarta -

Pertemuan terpisah antara Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan (27/3) dan antara Komisi III DPR dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme atau TPPU (29/3) menjadi tontonan menarik, dramatis, panas, namun antiklimaks.

Uniknya adalah dua-duanya adalah Menteri dalam satu Kabinet, sama-sama anggota Komite TPPU, memiliki tupoksi di bidangnya masing-masing. Dalam menyampaikan paparannya di DPR, kedua Menteri menggunakan sumber data sama, tetapi menyampaikan perhitungan dan kesimpulan berbeda.

Sumber datanya sama, yakni dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Durasi waktunya juga sama 2009-2023. Cara mendatanya juga sama, yakni menghitung aliran mutasi rekening yang profil dan besarannya mencurigakan. Objeknya juga sama yakni ASN di Kementerian Keuangan, khususnya terkait dengan transaksi ASN di Perpajakan dan Bea Cukai.

Menteri Keuangan menyebutkan bahwa dari dana Rp 349 T tersebut, yang menyangkut Aparat Sipli Negara (ASN) Kemenkeu dan pihak terkait adalah Rp 3,3 T, tetapi menurut Menteri Polhukam/ Koordinator TPPU, angka tersebut adalah Rp 35 T.

Kenapa kesimpulannya berbeda? Karena yang disampaikan antara keduanya berbeda cakupannya. Menkeu menggunakan dasar 200 surat PPATK yang sampai ketangannya, dikurangi dengan transaksi di korporasi dan Rp. 187 T kasus di Bea Cukai. Menko tampaknya menggunakan dasar 300 surat PPATK menyangkut ASN Kemenkeu dan pihak terkait, termasuk 100 surat PPATK yang dialamatkan aparat penegak hukum (APH), dan transaksi mencurigakan di Bea Cukai.

Sesimpel itu? Iya! Analisis, proses, dan pemberitaannya yang heboh dan mencuri perhatian.

Terhadap kesimpulan tersebut, Kemenkeu tidak pernah secara publik mengkritisi Komite TPPU atau PPATK, tetapi Menko Polhukam sebagai ketua Komite menyatakan bahwa keterangan Menkeu jauh dari fakta.

Menko Polhukam secara terang-terangan menyebut data dari Kemenkeu tidak valid dan bahkan secara lugas mengatakan bahwa masukan dari staf ditutupi.

"Ini berita acara, bukan hanya surat, ditandatangani semua ini. Bahwa kasus penyelundupan emas itu yang pelanggaran bea cukai itu 2017 ditutup, sehingga kami kirim lagi surat itu. Lalu bilang enggak ada di depan Wamenkeu. Loh ini ada baru dicari ketemu itu yang dipakai dasar menjelaskan oleh Bu Menkeu," lanjutnya (detikcom, 31/3).

Menurut Menko Polhukam temuan ini tidak ditindaklanjuti sama sekali. Berbeda dengan yang disampaikan Sri Mulyani dua hari lalu bahwa temuan PPATK sudah ditindaklanjuti. Terhadap hal tersebut Menko Mahfud menyatakan bahwa Menkeu Sri Mulyani diberikan informasi yang keliru oleh bawahannya (detikcom, 30/3). Menohok sekali.

Kisah 100 surat PPATK ke APH

Tanpa membela diri, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa pada Senin, 13 Maret 2023, Kepala PPATK mengirim surat dengan 43 halaman lampiran yang berisi daftar 300 surat, termasuk angka Rp 349 triliun. "Kami sampaikan kepada ibu bapak sekalian angka Rp 349 T dari 300 surat yang ada di dalam lampiran surat itu," ucap Sri Mulyani (detikcom, 30/3).

Masalahnya ternyata 100 surat adalah surat PPATK ke APH, bukan ke Kemenkeu. Dan, itu juga dibenarkan oleh pihak PPATK.

Jadi wajar jika Menkeu tidak dapat menjelaskan isi dan nilai transaksi yang menyangkut ASN Kemenkeu yang dialamatkan ke APH. Menurut keterangan yang ada, dari 100 surat PPATK ke APH nilai transaksinya adalah Rp 74 triliun selama periode 2009 - 2023.

Setelah ditelusuri kembali kira-kira begini kisahnya. Pertama, ada 300 surat dari PPATK menyangkut ASN Kemenkeu, 100 di antaranya surat kepada APH. Kedua, di antara 300 surat itu juga banyak yang sudah kadaluarsa, termasuk yang lama-lama seperti kasus Gayus Tambunan (2009), Dana Whdiyatmika (2012), Bahasyim Assifie (2005), Handang Soekarno (2016), dan Angin Prayitno (2021), ataupun kasus pajak dealer Jaguar-Bentley pada 2019 yang sudah selesai.

Ketiga, dari 200 surat kepada Kemenkeu, termasuk permintaan dari Kemenkeu sendiri untuk mengetahui transaksi keuangan para ASN-nya dalam rangka promosi jabatan dan lain sebagainya.

Selain itu, senilai lebih dari Rp 252 triliun tertulis dalam 65 surat yang merupakan data dari transaksi debit kredit perusahaan wajib pajak dan bea cukai. Ini dikatakan sebagai transaksi yang tidak ada hubungannya dengan ASN Kemenkeu. Jadi sisanya dapat disimpulkan yang benar-benar berhubungan dengan ASN Kemenkeu. Itu pun mutasi transaksi dari 2009 hingga 2023 atau dalam 14 tahun. Mutasi transaksi yang berasal penghasilan resmi, transaksi dengan keluarga, jual beli aset dan berbagai macam transfer masuk dan keluar lainnya.

Ekspor Emas Batangan

Kasus temuan kepabeanan ekspor-impor senilai Rp 189 T juga muncul dan mengemuka dalam pembahasan di DPR. Berbeda dengan raker di Komisi III, dalam pertemuan Menkeu dengan Komisi XI dijelaskan adanya transaksi ekspor-impor yang mencurigakan pada 2016.

Dalam perhitungan PPATK Rp 349 T sendiri di dalamnya termasuk Rp 189 T dari transaksi mencurigakan dari ekspor-impor emas batangan. Rp 189 T tersebut belum tentu kasus TPPU tetapi bisa jadi merupakan kasus penghindaran pajak dan kepabeanan yang menyangkut puluhan perusahaan terkait. Bisa saja kasus ini menyangkut pejabat bea dan cukai atau pajak. Menurut info ada 15 entitas yang terdeteksi memiliki transaksi mencurigakan dari kegiatan ekspor dan impor emas.

Laporan ini juga berdasarkan dari hasil pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan (PPATK). Transaksi mencurigakan tersebut merupakan akumulasi selama periode 2017 - 2019. Ada dugaan transaksi tersebut merupakan upaya melakukan penghindaran kepabeanan dan pajak (PPN impor atau PPh Impor) dari eskspor dan re-impor emas batangan.

Dugaan transaksi mencurigakan tersebut tentu muncul dari laporan PPATK atas beberapa korporasi yang terlibat. Mudah-mudahan segera ada kejelasan atas laporan PPATK dengan proses hukum sesuai tugas Kemenkeu, baik yang menyangkut pegawai Kemenkeu maupun pihak lain.

Antiklimaksnya, Wakil Menteri Keuangan Suhaisil Nazara telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada perbedaan data yang dimiliki Kementerian Keuangan dengan laporan PPATK atau Kemenkopolhukam terkait transaksi janggal.

Terkait itu, Menteri Koordinator Polhukam menyambut baik pernyataan tersebut. "Akhirnya clear, kan?" kata Menko (31/3). Seperti pernyataan Wamenkeu tidak ada perbedaan data antara Kemenkeu dan Menko Polhukam/PPATK tentang TPPU. Angka agregat Rp 449 trliun dengan jumlah 300 surat PPATK. Bedanya hanya cakupannya saja.

Tampaknya kita semua telah membuang-buang waktu sia-sia untuk akhirnya menyimpulkan datanya sama dan hasilnya juga sama. Yang berbeda adalah yang siapa dan cara menyampaikan saja, begitu ya?

Ke depan, komunikasi di Komite TPPU harus tuntas dahulu, sebelum muncul di publik. Komite ini perlu bekerja dengan lebih rapi dan saling percaya. Yang ditunggu sekarang adalah tindak lanjut yang nyata dan konkret dalam mengatasinya maupun tindakan pencegahan, baik ke dalam Kemenkeu dan PPATK maupun APH. Tanpa banyak bicara dan heboh di media atau di DPR, segera selesaikan saja kasus dan upayakan tindakan pencegahan. Biasanya urusan begini dapat segera diselesaikan melalui pertemuan silaturahmi buka puasa bersama. Selamat menjalankan puasa Ramadan.

Anggito Abimanyu dosen UGM

Simak Video 'Beda Penjelasan Mahfud dan Srimul soal Data Transaksi Janggal Rp 349 T':

[Gambas:Video 20detik]






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork