Tiupan semilir angin basah di ladang jagung menemani Nde Saruji yang sedang terlibat percakapan serius dengan Sirajuddin. Dalam redup cahaya pajenang, lampu minyak dengan sumbu sobekan kain, mereka menyeruput kopi panas selepas sahur dalam pondok beratap terpal. Menghangatkan badan sembari menanti waktu shalat subuh.
Umat sekampung goncang. Puasa mereka terusik oleh kehendak Pin Kabir yang bersikukuh membatalkan kemenangan Bintang Uma. Kenapa demikian gumam Sirajuddin? Bintang Uma adalah sepasang kerbau milik Nde Saruji yang memenangkan lomba Barapan Kebo di desa Olat Paroso bulan silam. Publik seantero pulau mengenal ajang Olat Paroso sebagai ekspresi kegembiraan menyambut Ramadhan.
Kemenangan itu ternilai tidak sah atas dalih bahwa panitia lomba telah bersengaja berbuat curang. Konon kata Pin Kabir panitia berat sebelah. Karena itu akan diadakan lomba ulang kelak di bulan Syawal dengan panitia yang baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nde Saruji dan Sirajuddin sama-sama tipikal orang kampung yang sederhana. Meski di benaknya timbul tanya dan sejatinya penasaran, keduanya lebih memilih diam dan pasrah.
Mereka bukan tipikal Bonong yang penuh canda namun berlogika dengan nalar kuat dan kritis. Lamat-lamat kumandang adzan subuh terdengar. Nde Saruji menepuk pundak Sirajuddin mengajak shalat jamaah sembari berkata, nanti sore kita silaturrahmi ke Tuan Guru Zulkarnain.
Isyarat Bengkok Cahaya
Lepas waktu ashar Nde Saruji dan Sirajuddin telah terlihat bersama dengan Tuan Guru Zulkarnain. Berbincang di teras rumah panggung. Dengan raut wajah yang tenang dan pengasih Tuan Guru Zulkarnain berkata, bersabarlah sebentar Saruji.
Kemenangan kerbaumu atas kerbau milik Mat Bola itu terjadi di hadapan ratusan pasang mata. Itu kebenaran yang nyata. Mengapa engkau risau? Aku tidak akan berkata lagi, biarlah Bonong yang bicara untuk kalian. Lelaki paruh baya itu meraih ponselnya dan memulai pembicaraan video dengan Bonong yang tinggal di rantau.
Seperti tak hilang kebiasaan, Bonong selalu meledek Sirajuddin adik iparnya itu dengan candaan. Apa kabar Nyonyok? Apakah Zubaidah selalu berbuat dan merawatmu dengan baik? Sirajuddin hanya tersenyum sembari berujar alhamdulillah.
Ia telah terbiasa dengan sebutan akrab Nyonyok yang bermakna si mulut mancung itu. Tak risih apa lagi sakit hati.
Bonong pun bercerita hal seorang sahabatnya yang bernama Nde Mek. Pria bernama asli Ahmad itu adalah seorang pengajar sebuah universitas ternama di kota tempat Bonong berdomisili. Risetnya tentang laser dan serat optik. Sangat cerdas dan rendah hati. Suatu ketika Bonong pernah berkunjung ke laboratorium Nde Mek.
Kala itu ia dibuat kagum ketika ditunjukkan betapa cahaya dapat digunakan untuk mengindera berat kendaraan yang melintas di jalan. Teknologi maju dan sangat presisi itu bernama weight in motion (WIM). Itu merupakan pilihan solusi canggih untuk menggantikan fungsi jembatan timbang. Tidak perlu ada operator yang harus bersiaga untuk menggunakannya. Sinyal dapat dikirim dalam beragam pilihan cara nirkabel. Jadi peluang korupsi jembatan timbang dapat dihapus.
Nde Mek memperagakannya dengan gulungan serat optik yang dirambati sinar laser. Bonong terpesona karena cahaya kemilau laser merambat mengikuti bentuk gulungan. Hanya tampak di ujung serat optik. Namun ketika gulungan serat optik itu ditekan, tampak berkas cahaya muncul dari bagian yang tertekuk. Sang professor berkata itulah yang disebut dengan evanescent wave.
Hanya muncul kala serat optiknya ditekuk. Bukan itu saja, pendar evanescent wave itu bahkan membawa informasi pada bagian mana serat optik itu tertekan atau bengkok. Tidak mungkin bohong tidak mungkin pula salah. Sangat presisi. Begitulah kemajuan ilmu pengetahuan telah sedemikian hebat membaca kebenaran.
Bonong tertegun. Selama ini ia hanya mengerti bahwa jejak cahaya itu seperti garis lurus. Memang tak salah sebab begitulah adanya. Hanya saja aras pengetahuannya belum sampai kepada pemahaman sifat cahaya yang lain seperti yang ditunjukkan oleh Nde Mek. Bawa cahaya dapat dipandu dan bahkan sanggup bercerita tentang bagian lintasan penjalaran yang ditekuk secara sengaja. Itulah kebenaran ayat semesta yang menginspirasi Nde Mek menciptakan teknologi WIM.
Sepanjang jalan pulang dari laboratorium Nde Mek Bonong merenung. Ia merasa tercerahkan. Betapa semesta ini perkasa. Bahwa kebenaran itu lurus. Seperti gelombang cahaya. Ketika dipaksa berbelok dalam kanal yang ditekuk paksa maka ia memberi isyarat yang bernama evanescent wave itu. Sesuatu yang tak mungkin tak dikenal dan pasti tak dapat ditutupi para pendusta.
Sirajuddin, Nde Saruji dan Tuan Guru Zulkarnain yang mendengar cerita Bonong ikut terpana. Lalu seperti satu komando mereka berkata, bukankah Pin Kabir juga bagian dari panitia lomba Barapan Kebo yang lalu? Mengapa sedemikian bersikukuh? Simpul-simpul nalar hadirkan tanya.
Jika memang terjadi pelanggaran hukum, mengapa Pin Kabir tidak menganulirnya sedari awal sebelum Barapan Kebo dilaksanakan? Pembicaraan mereka terjeda oleh tarhim dari mushala kampung. Waktu magrib segera tiba. Bonong pun pamit dan pembicaraan video berakhir.
Selepas berbuka bersama ada jeda sebentar sebelum mereka berangkat shalat tarawih. Dengan lirih Tuan Guru Zulkarnain memberi nasehat. Saya harap kini engkau mengerti Saruji.
Jika kau mencintai Barapan Kebo, maka kenalilah cintamu itu dengan benar. Siapa pun yang cinta semata karena cinta niscaya tak akan menorehkan aib untuk sesuatu yang dicintainya.
Jika kau merasa terluka, itu manusiawi tapi pilihlah jalan untuk sembuh. Engkau tidak sendiri karena nama besar Olat Paroso demikian.
Kisah yang dituturkan Bonong seperti bersejajar dalam tanya dan asa yang sama dengan keriuhan di universitas tempat saya bekerja. Semua media memberitakan hal pembekuan Majelis Wali Amanat dan pembatalan hasil pemilihan rektor UNS yang mengacu kepada Permendikbud Ristek Nomor 24 Tahun 2023.
Selayaknya mayoritas kaum akar rumput, saya tidak terlampau mengambil pusing dengan riuh kontestasi pemilihan rektor. Berfokus di lab dan mengajar adalah keutamaan. Siapa pun yang terpilih, jelas persoalan yang ada dan tantangan masa depan UNS sangat menuntut kerja kolektif selaras para pemimpin mumpuni. Itu sebabnya sejak semula bahkan saya mengangankan suasana guyub nan tenteram. Agar ada mufakat diantara kandidat seperti yang saya tulis di DetikNews 25 Oktober 2022 dan 14 November 2022.
Saya menyakini bahwa hampir dua ribu orang dosen hanya mengimpikan perasaan nyaman untuk berkarya dan menjaga rasa hormat. Mengawal marwah universitas dalam rasa cinta di jalan dharma. Mempersembahkan inovasi untuk kemaslahatan negara dan kemajuan ilmu pengetahuan. Itu saja. Riuh berita di media dua hari ini tidak menyajikan apa pun melainkan perasaan sangat malu pada setiap diri kami keluarga besar UNS.
Tentu saya meyakini kearifan dan sangat bersandar pada semangat kebenaran pilihan berkeputusan pemerintah dalam hal ini Mas Mentri. Keyakinan yang disertai asa sangat mendalam. Terlebih dalam posisi Mas Mentri yang juga bagian dari MWA terbekukan itu.
Kami tak ingin bahwa kontestasi demokrasi kampus yang merupakan tradisi bersifat periodik dan hanya melibatkan orang dalam jumlah terbatas itu justru menjadi pemicu awan kelam. Kisah yang lalu terjejak sebagai luka bernanah aib sejarah universitas kami. Nauzubillah.
Saya percaya bahwa asa mendalam itu sangat mudah untuk difahami siapa pun. Tumbuhlah kebenaran benderang yang lurus selurus-lurusnya. Menjulang dalam keindahan berkah Ramadhan. Biarkan kami untuk kembali pada keleluasaan mencintai dalam rasa nyaman.
Sesuatu yang dapat digenggam sebagai ukuran rasa hormat dan syukur kami yang telah memilih kehidupan kampus sebagai panggilan berhidmat. Maka tumbuhkanlah, pendarkanlah menjadi persembahan yang menyelamatkan. Wallahualam.
Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti. The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.