Pemilu 2024 sudah dekat. Jika mengikuti agenda tahapan pemilu yang telah ditetapkan KPU, pemilu legislatif akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Kalau dihitung dari sekarang maka waktu yang dimiliki para calon legislatif (caleg) hanya sekitar sebelas bulan. Kurang dari satu tahun adalah waktu yang sangat singkat bagi caleg untuk mempersiapkan diri bertarung memperebutkan kursi 2024.
Pemilu 2024 ini jika dirasa-rasakan memang beda dengan pemilu sebelumnya. Dalam beberapa waktu terakhir saya berinteraksi dengan beberapa caleg yang telah serius mencalonkan, telah mendapatkan lampu hijau dari partai dan kemungkinan besar akan mendapatkan nomor urut meskipun belum ditentukan di nomor urut berapa. Namun dari para caleg ini saya merasakan ada upaya mengerem dan menunggu, serta memilih tidak melakukan kegiatan pemenangan secara masif karena adanya faktor ketidakpastian pada pemilu 2024.
Seorang teman saya caleg dari partai berbasis masa islam mengatakan meskipun telah yakin mendapatkan kesempatan bertarung dari partainya, namun masih belum yakin dengan kepastian apakah pemilu akan terus atau ditunda. Seorang teman saya yang lain, caleg dari partai pendukung pemerintah juga menyampaikan pernyataan yang sama, bahwa dengan belum diputuskannya sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup menjadikannya gamang, jika ternyata nanti sistemnya tertutup bisa jadi peluangnya juga akan tipis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahkan senior saya yang saat ini incumbent anggota DPR, yang mestinya lebih yakin akan terpilih lagi, pun masih galau. Memang jika pemilu ditunda maka akan memberikan keuntungan tambahan masa jabatan. Namun jika pemilu sesuai jadwal dan diputuskan menggunakan sistem proporsional tertutup, ia meyakini belum tentu mendapatkan kursinya kembali, karena saat mendapatkan kursi pada pemilu 2019 yang lalu ia bukan dari caleg nomor satu di partainya. Senior itu mengatakan buat apa membuat program pemenangan untuk sesuatu yang belum pasti, lebih baik bersabar menunggu kepastian.
Dua Hal
Tak hanya khalayak umum yang bingung dengan simpang siurnya ketidakpastian pemilu, bahkan bagi para caleg pun banyak yang galau. Ketidakpastian itu bisa dirasakan pada beberapa situasi di lapangan, misalnya jika melihat diberbagai ruas dan berbagai sudut jalan saat ini, maka tak banyak ditemukan ramainya tulisan atau ajakan dalam rangka sosialisasi caleg.
Meskipun Bawaslu memberikan statemen membolehkan caleg memasang spanduk atau baliho dan sosialisasi dengan berbagai syarat yang intinya tidak ada ajakan untuk memilih, tetap saja para caleg memilih menahan diri. Dan, jika saya amati dari teman-teman yang mendukung caleg, saya melihat masih rendahnya lalu lalang gerakan tim sukses para caleg melakukan sosialisasi, pengenalan caleg dan gerakan membangun tim pemenangan ke daerah pemilihan.
Seperti halnya yang ramai diberitakan berbagai media, menurut saya ada dua hal yang sangat krusial menjadi penyebab munculnya ruang ketidakpastian pada Pemilu 2024 yang membuat para caleg melakukan rem mendadak. Pertama; masih berkembangnya isu usulan pepanjangan masa jabatan Presiden periode ketiga yang berujung pada penundaan pemilu. Meskipun banyak pihak yang tidak setuju, usulan perpanjangan jabatan presiden dianggap tidak melanggar hukum, sehingga isu tersebut terus menggelinding entah sampai kapan berhentinya.
Pada awal 2022 beberapa pimpinan parpol menyampaikan dukungan terkait wacana penundaan Pemilu 2024, yaitu PKB, Golkar dan PAN. Pada 2023 ini, dukungan tersebut kembali di gelorakan oleh Nyoman Pasek, relawan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP). Dukungan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode juga disampaikan Ketum Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) Surta Wijaya, yang menilai Jokowi harus didukung kembali karena kepala desa merasa terbantu pada masa pemerintahan Jokowi. Yang terbaru dan masih hangat adanya putusan dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU untuk menunda pemilu.
Kedua, pro-kontra sistem pemilu proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka dianggap memunculkan jarak antara pemilih dan wakil rakyat dan melemahkan partai politik. Partai politik dianggap lebih mementingkan caleg yang akan memberikan suara daripada memperjuangkan ideologi partai. Intinya dengan sistem proporsional terbuka tak ada lagi pertarungan gagasan dan ideologi partai, justru yang ada adalah pertarungan tokoh terkenal, artis, pengusaha kaya yang tujuan akhirnya hanya memperebutkan kursi dan suara saja. Masih banyak lagi argumen terkait mengapa harus kembali ke sistem proporsional tertutup. Hingga saat ini pun perdebatan tersebut belum ada keputusan.
Masih terus berkembangnya isu usulan perpanjangan masa jabatan Presiden periode ketiga yang berimplikasi pada penundaan pemilu dan masih belum diputusnya perdebatan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup yang akan digunakan dalam pemilu tentu menyita perhatian dan mengganggu konsentrasi caleg. Ketidakpastian ini membawa konsekwensi caleg menjaga ritme kecepatan.
Puzzle Kepentingan
Fenomena rem mendadak tak masalah bagi caleg incumbent anggota DPR yang pernah mendapatkan nomor urut satu dan apalagi saat ini menjadi andalan partai di daerah pemilihan dapil. Caleg seperti ini akan siap dengan sistem terbuka atau tertutup, karena kemungkinan meleset atau gagal meraih kursi probabilitasnya sangat kecil. Yang menjadi masalah adalah para caleg baru, caleg yang sebelumnya bukan nomor satu meskipun incumbent anggota DPR dan saat ini bukan menjadi unggulan partai. Tentu caleg seperti ini sangat gelisah menunggu kepastian.
Situasi ketidakpastian pemilu ini menjadi problematika tersendiri. Bergerak maju salah, diam juga salah. Namun situasi memaksa demikian. Menggantung, menunggu keputusan dan kepastian dari peraturan dan perubahan eskalasi politik. Situasi ini tentu tidak mengenakkan bagi caleg. Lantas siapa yang patut disalahkan?
Dalam politik selalu saja ada ruang ketidakpastian. Politik kekuasaan menurut saya ibarat menyusun puzzle dari berbagai potongan kepentingan. Puzzle itu idealnya akan tersusun rapi saat semua potongan kepentingan terakomodasi membentuk puzzle yang utuh sesuai yang diharapkan. Namun realitas politik tak semudah menyusun puzzle, tak mudah menyatukan potongan puzzle kepentingan dalam satu kesatuan yang utuh.
Dalam politik ada yang namanya oposisi, yaitu partai-partai yang tak sepaham dan menolak ikut serta dalam penyusunan puzzle kepentingan bersama. Itu adalah hal biasa dalam politik. Partai yang berada di jalan oposisi harus siap di luar kekuasaan dan menjadi pengkritik atas kebijakan dari partai pemenang. Justru di sinilah keseimbangan politik diharapkan terjadi.
Akhirnya menurut hemat saya, dalam ruang ketidakpastian saat ini, ada baiknya semua pihak yang berkepentingan terhadap pemilu menurunkan ego atau membuka sikap legowo. Mulai membuka potongan puzzle kepentingan masing-masing, mendiskusikan dan menegosisikannya untuk membangun kepentingan bersama demi masa depan.
Saya juga yakin jika potongan puzzle mulai terbuka, maka rantai yang membelenggu ruang ketidakpastian akan melonggar dan para caleg segera bisa memanaskan mesin, menarik rem tangan, menjalankan program pemenangan, dan akhirnya pemilu bisa berlangsung dalam suasana sehat, berkepastian, dan tentunya riang gembira.
Ambar Susatyo Murti staf ahli DPR
Simak Video 'Tok! DPR Sahkan Perppu Pemilu Jadi Undang-undang':