Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk sirkulasi kekuasaan telah berjalan secara rutin di Indonesia, namun pada satu dasawarsa terakhir prosesnya banyak dicederai dengan pembelahan dan konflik sosial, ditambah dengan maraknya berita bohong dan ujaran kebencian kian berdampak negatif terhadap kemajuan kehidupan kebangsaan.
Arena politik di era post-truth memungkinkan kebenaran dan kebohongan berjalin kelindan dan batasnya menjadi kabur. Beragamnya sumber informasi seiring pesatnya perkembangan teknologi dan internet, kian menambah hiruk dan pelik atmosfer demokrasi. Pilihan politik alih-alih berbasis rasional, justru kini kecenderungan yang terjadi adalah pemilih menggunakan haknya lebih berdasar pada emosional yang berakar pada ketakutan, kecemasan dan kebingungan.
Pemilu serentak 2024 yang akan dijelang pun tidak luput dari problem tersebut di atas. Rendahnya tingkat literasi, keterbatasan sumber daya manusia, dan derajat kepastian hukum menjadi tantangan berat bagi pemangku kepentingan Pemilu. Setidaknya lima masalah kepemiluan yang selalu hadir di setiap perhelatan pesta rakyat ini, yaitu independensi penyelenggara, pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih, netralitas ASN, politik uang, serta hoax dan hate speech.
Pemilih muda diprediksi akan mendekati 60 persen dari total penduduk yang terdaftar sebagai pemilih tetap. Hal ini berarti terjadi bonus demografi dimana proporsi pemilih muda akan mendominasi pada Pemilu 2024. Pemilih muda ini didefinisikan sebagai warga berusia 17-39 tahun yang terdiri dari generasi Y dan generasi Z.
Generasi Y atau disebut generasi milenial lahir pada 1977- 1998, pada 2024 mendatang akan berumur 27 hingga 48 tahun. Mereka mempunyai pola tingkah laku berbeda dengan generasi sebelumnya karena bertumbuh dengan keleluasaan komunikasi dan informasi. Sementara generasi Z adalah generasi kelahiran 1999- 2012. Sebagian dari mereka sudah memiliki hak pilih dalam pemilu nanti. Generasi Z lebih canggih lagi karena akrab dengan multimedia dan teknologi Google, media sosial, video game, dan smartphone.
Literasi Politik Digital
Literasi awalnya berkisar pada baca dan tulis. Seiring perkembangan masa dan kondisi, literasi mengalami generalisasi. Literasi mencakup eksistensi manusia untuk terus menambah pengetahuan dan keterampilan hidup, berkomunikasi secara efektif, berpikir secara kritis, berkolaborasi secara kontekstual, serta berpartisipasi dalam keragaman sosial.
Literasi politik tidak hanya sekadar pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi lebih efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya sukarela.
Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Dari jumlah tersebut, 98,3% pengguna internet di Indonesia menggunakan telepon genggam dengan rata-rata menggunakan internet selama 7 jam 42 menit setiap harinya.
Laporan We Are Social mencatat jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri. Prosentase ini relevan dengan jumlah pemilih muda saat ini, bilamana melihat karakteristiknya terdapat hubungan yang erat antara pemilih muda dengan dunia digital.
Digital adalah bentuk kemajuan dari penggunaan teknologi seiring dengan kemunculan internet dan komputer. Politik digital menjadi arena yang memungkinkan adanya partisipasi, representasi, ataupun artikulasi kepentingan kemudian bersinergi dan berkontestasi satu sama lain melalui berbagai konten sebagai sarananya terutama pada media sosial.
Agar tercipta interaksi dan keterlibatan dengan pemilih muda melalui media digital ini, maka dimulai dari pengenalan kebutuhan mereka untuk menumbuhkan kesadaran melalui serangkaian strategi dan tindakan. Orientasinya untuk menciptakan kesan yang positif dan selalu diingat di benak pemilih muda.
Pengetahuan dan kepercayaan menjadi ukuran standar dalam literasi digital ini yang mencakup etika, budaya, keterampilan dan keamanan digital. Ini penting untuk mencegah dan menyaring berita bohong, ujaran kebencian dan politisasi SARA.
Oleh karena itu konten digital tidak hanya terkait informasi dan publikasi saja, tetapi juga memuat edukasi dan peningkatan literasi politik untuk pemilih muda. Pemilihan media, metode, jenis pesan dan pembawa pesan yang sesuai dengan perkembangan pemilih muda akan menentukan efektivitas literasi politik digital ini.
Partisipasi Pemilih Muda
Sikap apatis dan pragmatis menjadi racun bagi demokrasi dan virus bagi pemilih muda. Apatis adalah bertindak tidak peduli dan masa bodoh terhadap lingkungan masyarakat sekitar dan juga terhadap proses politik yang terjadi, sedangkan pragmatis yaitu sikap instan dan sempit untuk kemanfaatan dan kepentingan tertentu tanpa mau berproses panjang dan cenderung transaksional.
Literasi politik pemilih muda di tengah beragamnya latar belakang budaya adalah untuk memastikan pengertian terkait hak dan kewajiban warga negara yang berdasar pada Pancasila kepada pemilih muda sehingga berujung pada peningkatan aktivitas dan keterlibatan mereka dalam kepentingan kewargaan. Sikap kritis, mandiri, visioner, antusias, anti status quo dan cepat adaptasi yang menjadi ciri khas pemilih muda ini, bilamana mengarah pada partisipasi akan berdampak pada kemajuan demokrasi.
Data KPU bahwa tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 lalu meningkat menjadi 81% dibanding Pemilu 2014 sebelumnya yang masing-masing Pemilu Presiden (70%) dan Pemilu Legislatif (75%), tentu menjadi hal yang menggembirakan. Dan akan lebih substantif bilamana tingkat partisipasi ini bukan hanya semata menyalurkan hak pilih di TPS pada saat pungut dan hitung, juga dibarengi dengan pengawasan partisipatif yang lahir dari kesukarelawanan masyarakat terutama pemilih muda dengan melakukan fungsi pemantauan pada setiap tahapan pemilu.
Jika fondasi demokrasi elektoral adalah pemilu yang rutin dilaksanakan secara periodik, maka partisipasi masyarakat menjadi indikator bagi Pemilu yang berkualitas. Partisipasi ini pertanda kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Ini penting menjadi perhatian bersama karena sesungguhnya Pemilu sebagai instrumen sirkulasi kekuasaan adalah bukan hanya urusan negara saja tetapi juga kepentingan rakyat, hajat hidup orang banyak termasuk para pemilih muda yang akan menjadi aktor di masa depan. Mari jaga hak pilih di seluruh negeri, bersama partisipasi pemilih muda awasi pemilu untuk proses dan hasil pemilu yang berintegritas.
Davi Dzulfiqar anggota Panwascam Cibeureum Kota Tasikmalaya
Lihat juga Video: Silaturahmi Ketum Parpol, Sinyal Koalisi KIB-KKIR Bersatu?