Dunia saat ini sedang berkonsolidasi melakukan sebuah komitmen bersama demi menyelamatkan umat manusia dari ancaman lingkungan. Mereka bersama-sama menyusun dan menjalankan berbagai agenda penting untuk mempertahankan eksistensi bumi. Sejak dilakukannya traktat internasional, Protokol Kyoto pada 1997 hingga Perjanjian Paris pada 2015 lalu, dunia bersepakat bahwa emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim atau yang sekarang kita kenal dengan krisis iklim adalah masalah bagi dunia yang harus ditanggulangi dalam kerangka penanganan krisis global.
Dunia telah bersepakat krisis iklim adalah masalah transboundaries, sebab tidak mengenal batasan negara. Setiap negara memiliki beban tanggung jawab (burden of responsibility) sesuai dengan porsinya untuk bersama menghadapi ancaman tersebut. Selama hampir kurang dari 8 tahun sejak Perjanjian Paris dilangsungkan telah ada 195 negara yang meratifikasi modul komitmen untuk diimplementasi dalam political will setiap negara. Salah satunya Indonesia melalui pengesahan Undang Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Dalam UU tersebut tercantum Nationally Determined Contribution (NDC) atau komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon sebesar 29% melalui usaha sendiri (tanpa syarat) dan 41% melalui bantuan dari dunia internasional (bersyarat) pada 2030 nanti. Salah satu mekanisme untuk mengimplementasikannya melalui percepatan transisi energi dari energi fosil yang tidak ramah lingkungan ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
Dalam laporan Kementerian ESDM pada 2022, Indonesia berpotensi menghasilkan EBT yang berlimpah senilai 3.000 giga watt (GW). Bahkan sejauh ini potensi yang dimiliki belum semua berhasil dikeluarkan. Dengan komitmen transisi energi pada Conference of the Parties ke-26 (COP26) pada 2021 lalu disertai perkembangan teknologi yang semakin masif berkembang, seharusnya pemaksimalan potensi EBT semakin bisa dicapai ke depannya.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi meluncurkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres yang diturunkan oleh petinggi eksekutif ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi bersih melalui berbagai mekanisme yang salah satunya ingin menghentikan operasi PLTU batu bara pada 2030 untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang menurut data dari Kementerian ESDM pada 2021 lalu menyumbang 35% atau senilai 1.262 giga ton dari emisi karbon dioksida (CO2) negara Indonesia.
Meskipun Perpres tersebut menyisakan kecurigaan mengenai komitmen Indonesia terhadap penghentian penggunaan batu bara karena masih memperbolehkan PLTU batu bara bekerja hingga 2030 nanti. Apakah transisi ke EBT saja sudah cukup dilakukan untuk menyelesaikan persoalan yang ada?
Ketimpangan Energi
Landasan konstitusional Indonesia, UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) "mewajibkan" negara untuk mengelola sumber daya termasuk energi untuk memakmurkan rakyat. Diksi "makmur" yang merujuk kepada kesetaraan akses penggunaan energi yang seharusnya dinikmati oleh seluruh warga negara tidak terjadi ketika melihat fakta di lapangan bahwa energi selama ini hanya dinikmati secara penuh oleh kalangan tertentu saja.
Menurut data BPS pada 2020 terjadi ketimpangan antara penggunaan listrik di Papua dengan di Jawa dan Bali. Rata-rata penggunaan listrik di Papua hanya 73,8%, padahal di Jawa dan Bali sudah mencapai 98,9%. Data yang dihimpun dari PLN pada 2022 lalu, terdapat lebih dari 4.700 desa di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) yang belum mendapat akses listrik yang layak. Penyebab ketimpangan akses listrik di daerah 3T adalah biaya investasi yang mahal untuk membangun akses listrik yang layak.
Padahal, kesetaraan terhadap akses energi yang seimbang amat penting agar tidak terjadi ketimpangan energi. Energi dalam hal ini listrik sangat penting dipergunakan oleh masyarakat sebagai kebutuhan dasar universal (universal basic needs). Percepatan recovery ekonomi masyarakat pascapandemi Covid-19 membutuhkan pemerataan listrik yang seimbang. Ini menjadi sebuah tantangan besar Indonesia dalam melakukan transisi energi.
Selama ini, dengan penggunaan batu bara yang terbilang murah dibanding EBT saja belum mampu mengejawantahkan pemerataan akses energi yang layak hingga ke masyarakat tertinggal, apakah dengan transisi energi bersih yang kelak dilakukan mampu mencukupi kebutuhan energi seluruh masyarakat?
Pertanyaan ini sungguh penting untuk dilemparkan ke penguasa mengingat biaya investasi perawatan EBT lebih mahal dibanding energi batu bara. Sepertinya penggambaran komitmen transisi energi perlu diperjelas, terutama mengenai kepastian penyetaraan akses energi akan diterima ketika kelak energi yang diproduksi telah berhasil mencapai net zero emission.
Poin yang Terlupakan
Seringkali kita hanya memakai perspektif etika dan moralitas dalam diskursus masalah lingkungan untuk membahas deforestasi maupun eksternalitas dari kerusakan lingkungan yang ada. Tetapi, terdapat satu poin terlupakan yakni etika dan moralitas dalam pengefisiensian penggunaan energi. Kita seringkali lupa bahwa sebenarnya dunia tetap bisa baik-baik saja dalam menggunakan batu bara ketika efisiensi energi berhasil dilakukan.
Ketimpangan dalam penggunaan energi batu bara yang membuat selama ini ada pihak yang mengkapitalisasi energi secara berlebih, sementara ada pihak lain yang tersubordinasi atas akses yang sepatutnya dapat dirasakan. Ini yang menyebabkan lapisan ozon menjadi rusak, karena mereka tidak bisa menampung daya rusak yang dihasilkan batu bara secara berlebih. Kerusakan yang seharusnya bisa diperlambat, tetapi menjadi di depan mata akibat etika dan moralitas dalam penggunaannya yang terlupakan.
Capaian target pertumbuhan ekonomi seringkali membuat negara-negara di dunia "menghamburkan" penggunaan energi yang membuat penipisan lapisan ozon semakin nyata. Mereka mengeruk penggunaan batu bara secara berlebih demi memuaskan hasrat capaian statistika ekonomi di layar kaca. Padahal, target-target atas dalil pertumbuhan ekonomilah yang membuat manusia seolah menggali kuburan mereka sendiri dan membuat keterancaman semakin nyata.
Justifikasi untuk menghindari resesi atau krisis ekonomi yang selama ini didalihkan dengan mengeksploitasi lingkungan menjadikan energi tidak bisa dipakai sesuai dengan kebutuhan yang semestinya. Sejatinya, prinsip intergenerational equity (pemerataan antargenerasi) dalam penggunaan energi harus diseimbangkan dengan intragenerational equity (pemerataan intragenerasi). Jangan sampai, ada dominasi kuasa yang membuat generasi tertentu merugi atas perilaku generasi pendahulu.
Oleh sebabnya, percakapan transisi energi harus diimbangi dengan diskursus keadilan ketika EBT telah menjadi sumber penghidupan manusia kelak. EBT memang dapat menjadi salah satu solusi untuk meneruskan peradaban umat manusia. Prinsip keadilan energi perlu terus diglorifikasi dalam percakapan di ruang publik demi menyamakan persepsi bahwa semua pihak memiliki hak dan kewajiban atas umat manusia lain dalam konteks sumber daya dan energi.
Jangan sampai ketika EBT sudah berhasil ditransformasikan, tetap ada pihak yang tidak bisa mengakses energi secara penuh karena monopoli kekuasaan atas penggunaan energi yang menyebabkan umat manusia di masa mendatang mendapat masalah baru berupa ketimpangan penggunaan energi. Pada intinya, EBT memang dapat menjadi solusi, tetapi juga dapat menghasilkan anomali ketika manusia secara sengaja melakukannya.
Pang Muhammad Jannisyarief aktivis NGO Indonesia Progressive Society
(mmu/mmu)