Kehadiran ChatGPT, sebuah platform chatbot yang dikembangkan OpenAI, masih terus menjadi perbincangan serius. Hal ini tak lepas dari efek samping penggunaan platform berbasis kecerdasan artifisial tersebut. Berbekal kecerdasan yang dimilikinya, ChatGPT dapat membantu memudahkan pekerjaan manusia yang berhubungan dengan teks atau tulisan seperti menulis surat, copy writing, menulis esai, makalah, buku, menulis puisi, hingga tugas akhir kuliah seperti skripsi, tesis, disertasi, dan artikel ilmiah. Tak salah jika menyebut ChatGPT dan Large Language Models (LLMs) sebagai bentuk baru disrupsi di dunia akademik.
Kehadiran LLMs seperti ChatGPT tentu menjadi angin segar bagi mereka yang kesehariannya harus berkutat dengan tulis-menulis. Penggunaannya yang mudah dan bebas biaya, membuat jumlah pengguna ChatGPT terus meningkat. Meski baru dirilis November lalu, dalam dua bulan pengguna ChatGPT sudah menembus 100 juta orang (detikcom, 3/2). Saat ini, ChatGPT masih dalam tahap research review untuk mengumpulkan umpan balik pengalaman pengguna.
Meskipun segudang manfaat ditawarkan oleh ChatGPT, namun nyatanya bahaya efek samping tetap mengintai. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang dialami Antony Aumann, profesor filsafat di Northern Michigan University. Ia mendapati tugas paper yang dikumpulkan mahasiswanya ternyata hasil "kerja sama" dengan ChatGPT. Kecurigaan berawal ketika Aumann membaca paper mahasiswanya yang sangat rapi dan terstruktur, tidak sesuai dengan tingkat keterampilan menulis sesungguhnya dari mahasiswa yang bersangkutan.
Meningkatkan Produktivitas
Kemudahan menghasilkan karya tulis dengan bantuan ChatGPT tentu menjadi kabar baik bagi para akademisi untuk meningkatkan produktivitas ilmiah mereka. Algoritma ChatGPT mampu memberikan rekomendasi kata hingga susunan kalimat, bahkan referensi yang bisa digunakan. Bagi dosen dan mahasiswa, tentu fitur tersebut mampu menunjang penyelesaian tugas akademik mereka. Meski demikian, bukan berarti akademisi dapat pasrah begitu saja terhadap rekomendasi yang disediakan ChatGPT tanpa adanya proses kritis terhadapnya.
Akselerasi perkembangan teknologi berdampak luas pada dunia sosial dan akademik. Belakangan telah banyak hadir teknologi berbasis layanan bahasa yang digunakan oleh akademisi ketika melakukan aktivitas akademik seperti menulis esai, merangkum literatur, membuat draf makalah, dan merumuskan research gap. Beberapa platform yang telah banyak membantu akademisi selain ChatGPT seperti Turnitin, Quillbot, Bibliometrix, VOSviewer, Publish or Perish, dan Grammarly.
Kehadiran AI percakapan seperti ChatGPT dalam waktu dekat akan merevolusi proses penelitian dan publikasi ilmiah yang dilakukan akademisi. Waktu yang dibutuhkan oleh akademisi untuk melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya akan menjadi semakin singkat. Tentu hal tersebut akan berkorelasi pada semakin terbukanya peluang meningkatkan produktivitas akademis.
Selain penelitian, ChatGPT juga dapat dimanfaatkan oleh dosen dalam pembelajaran. Menurut Oskar Riandi, Direktur PT Bahasa Kita, ChatGPT dapat digunakan untuk personalisasi pembelajaran. Sehingga, kebutuhan belajar yang berbeda-beda dari mahasiswa dapat terakomodasi. Selain itu, pembelajaran juga bisa lebih fleksibel karena mahasiswa bisa mengakses pembelajaran di mana pun dan kapan pun (detikcom, 10/3).
Efek Samping
Meskipun segudang manfaat dapat diperoleh para akademisi dari kehadiran ChatGPT, namun ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan dengan serius. Pertama, luruhnya integritas akademik. Pengalaman pahit Antony Aumann di atas menjadi catatan penting yang harus diperhatikan para akademisi dalam memanfaatkan kecanggihan ChatGPT atau LLMs lainnya. Kemudahan yang ditawarkan ChatGPT berpotensi melenakan akademisi dan meningkatkan risiko ketergantungan dan mengambil jalan pintas dalam berkarya.
Kedua, ancaman tumpulnya nalar kritis. Selaras dengan tantangan pertama di atas, bila ketergantungan pada ChatGPT terus dibiarkan bukan tidak mungkin akan menyebabkan nalar kritis penggunanya mengalami penumpulan. Bila tanpa ChatGPT seorang akademisi harus menelusuri literatur, gap riset, dan melakukan analisis serta sintesis dengan mengandalkan nalar kritisnya, ChatGPT memangkas proses tersebut dengan menyajikan informasi yang siap saji.
Ketiga, bias informasi. Statusnya yang masih berada pada tahap pengembangan dan uji coba menyebabkan informasi yang diberikan ChatGPT rentan terhadap bias dan rendah reliabilitas. Padahal dua hal ini merupakan pantangan bagi kerja akademis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rekomendasi Pemanfaatan
Menyikapi kian maraknya pemanfaatan ChatGPT oleh para peneliti, muncul pandangan-pandangan kritis dari berbagai kalangan. Eva A.M. van DIS, Johan Bollen, Robert van Rooij, Willem Zuidema dan Claudi L. Bockting (2023) memberikan lima saran jika peneliti hendak memanfaatkan ChatGPT dalam proses penelitian. Pertama, peneliti perlu tetap berpegang pada verifikasi manusia.
Berdasarkan hasil uji coba yang mereka lakukan, penggunaan ChatGPT dalam penelitian meningkatkan kerentanan terhadap bias informasi, ketidakakuratan informasi, dan plagiasi. Selain itu, ChatGPT masih kurang andal (reliable) dalam mengutip sumber primer dari informasi yang disajikan. Hal ini berpotensi menyebabkan peneliti berisiko tidak menghargai sumber primer informasi tersebut.
Kedua, perlu adanya peraturan yang jelas untuk menjamin akuntabilitas. Meski pengembangan teknologi yang bisa digunakan untuk mendeteksi sebuah teks merupakan produk AI atau manusia terus berkembang, namun tetap dibutuhkan integritas, transparansi, dan kejujuran peneliti dan publisher dalam penggunaan AI Chatbots. Sebab itu, perlu ada kebijakan yang eksplisit untuk mengatur hal tersebut.
Ketiga, memanfaatkan LLMs yang open access. Saat ini, hampir semua teknologi percakapan AI merupakan produk eksklusif dari beberapa perusahaan teknologi besar yang memiliki sumber daya untuk mengembangkan AI. Hal ini berpotensi terjadi monopoli dalam pencarian informasi, pengolahan kata, dan akses informasi.
Keempat, bijaksana dalam memanfaatkan Chatbot AI. Selaras dengan meningkatnya beban kerja dan kompetisi di dunia akademik, berimbas pada meningkatnya penggunaan teknologi percakapan AI. Chatbot seperti ChatGPT memberikan peluang para akademisi untuk menyelesaikan tugas dengan cepat dan efisien. Meski demikian, dibutuhkan kebijaksanaan akademisi dalam memanfaatkan ChatGPT untuk menjamin validitas dan reliabilitas hasil kerja akademis mereka.
Terakhir, memperluas perdebatan. Pada masa awal-awal penggunaan teknologi percakapan AI seperti sekarang ini, diskusi yang intens dan bahkan perdebatan yang luas sangat dibutuhkan. Diskusi dan debat terutama berkaitan dengan bagaimana menggunakan teknologi percakapan AI yang berintegritas, jujur, dan transparan. Para akademisi bersama kelompok riset mereka perlu menguji validitas dan reliabilitas informasi yang disajikan teknologi percakapan AI seperti ChatGPT.