Chat GPT dan Disrupsi Peran Guru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Chat GPT dan Disrupsi Peran Guru

Senin, 03 Apr 2023 12:07 WIB
Ahmad Mathori
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Belakangan ini, ChatGPT menjadi tengah menjadi perbincangan netizen karena kecanggihannya. Selain itu, banyak orang yang penasaran bagaimana cara pakai ChatGPT.
Foto: CFOTO/Getty Images
Jakarta - Saat kecil, saya menyukai film tentang robot. Saya lupa judul persis filmnya. Tapi dalam banyak adegan film yang menceritakan tentang eksistensi robot, alurnya seringkali berputar dalam peran si robot yang membantu pekerjaan manusia. Tak terkira kalau adegan di film-film robot tersebut berhasil eksis juga di dunia nyata.

Pada November 2022 lalu, kita disajikan kabar rilisnya Chat GPT. Sebagai informasi, Chat GPT merupakan sebuah kecerdasan buatan (AI - artificial intelligence) yang dikembangkan oleh perusahaan bernama Open AI. Kemunculannya menuai tanggapan beragam; beberapa orang menganggap bahwa Chat GPT dapat membantu (mempercepat) pekerjaan manusia di bidang olah data, membuat artikel, menyusun kode komputer sederhana, akunting, dan lain sebagainya.

Sebagian yang lain menganggap bahwa kemunculan Chat GPT berpengaruh pada dominasi peran robot di kehidupan sehari-hari. Khususnya di dunia pendidikan, pengaruhnya bisa sampai mendisrupsi peran guru. Sejak saat itu, Chat GPT menjadi fenomena yang mengkhawatirkan serta kuat diperbincangkan oleh banyak pihak.
Kekhawatiran ini kian menguat dilandasi dengan perilaku generasi kita, khususnya generasi Z. Sebab, ciri khas generasi Z ialah umumnya menyukai budaya instan.

Kalau diibaratkan, bak ikan yang terkail pancing. Pola hidup generasi Z yang cenderung sat-set itu, sepertinya akan menggunakan Chat GPT sebagai jalan pintas mereka dalam menyelesaikan tugas sekolah yang diberikan oleh gurunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dunia pendidikan hanya akan menjadi sarana labelitas, karena ruang eksplorasi para pembelajar habis dikeruk oleh kekuatan robot yang juga mengganggu peran guru tersebut.

Singkatnya, tenaga pengajar di sekolah tidak lagi dipandang sebagai panutan, kalau seorang murid dalam menyelesaikan tugasnya meminta bantuan ke Chat GPT. Lebih teknis, sebagai orang yang juga merasakan bagaimana sulitnya menyelesaikan tugas akhir di tingkat perguruan tinggi. Ragam potensi persoalan yang mengancam dunia pendidikan bangsa ini akan berdampak pada pemakluman budaya plagiarisme. Karena cara tersebut merupakan jalan pintas bagi siapapun yang sedang/akan menyelesaikan tugas akhir. Padahal jelas, plagiarisme adalah tindakan yang dilarang oleh undang-undang.

Melihat Kembali

Fenomena kuat yang lahir dari Chat GPT menyasar ruang pendidikan kita agaknya perlu ditanggapi dengan kembali melihat kebutuhan dasar para murid. Tujuannya, oleh Ki Hajar Dewantara disebutkan bahwa seorang pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, sehingga dapat memperbaiki perilakunya.

Saya menerjemahkan pesan Bapak Pendidikan dengan makna bahwa seorang guru harus sudah selesai terhadap penanaman nilai integritas, karena yang kita bicarakan ialah kebutuhan terhadap penguatan mental dan karakter si murid. Singkatnya, pengaruh yang diimpor dari Chat GPT terhadap dunia pendidikan kita, tidak serta merta langsung mendisrupsi peran guru secara utuh.

Berkaca dari luar negeri, lembaga pendidikan yang telah menerapkan peraturan khusus menanggapi eksistensi Chat GPT seperti di George Washington University, para tenaga pengajarnya telah menghilangkan format tugas PR (Pekerjaan Rumah) dengan membuka buku. Tetapi mereka menerapkan tugas yang langsung dikerjakan di sekolah dalam pemantauan para guru dan dilakukan dengan tulis tangan.

Tidak hanya itu, sebanyak 6.000 dosen di Harvard University, Yale University, dan University Rhode of Island telah mengajukan GPT Zero. Sebuah program yang bisa mendeteksi dengan cepat hasil teks yang dihasilkan oleh AI –Artificial Intelligence (kecerdasan buatan).

Di Indonesia sendiri kadang sedikit gagap dalam menanggapi beberapa hal terkait isu strategis, khususnya di bidang teknologi. Terkesan menerima setiap perkembangan yang ada, namun juga terlihat seperti tidak punya sikap.

Dalam kesempatan beberapa bulan lalu, melalui siaran kanal Youtube Gita Wirjawan, Mendikbud Nadiem Makarim menyebutkan bahwa kita sedang menyiapkan kurikulum khusus yang bertujuan untuk melahirkan seorang guru yang capable. Sederhananya, kita membutuhkan seorang guru yang secara lahir dan batinnya ingin mendidik, bukan hanya seseorang yang menguasai bidang ilmu tertentu saja. Tetapi seseorang yang punya visi untuk membentuk generasi penerus yang siap di segala medan.

Lebih luas, peran guru dalam membentuk karakter muridnya berorientasi pada pembentukan sikap sang murid. Korelasinya mengarah kepada tidak mengenal kebutuhan dasar diri si murid itu sendiri, karena dari tidak berhasil memaksimalkan ruang eksplorasi di bangku sekolah, hingga berujung pada tidak menemukan potensi terdalam yang ada pada dirinya akan membentuk kebekuan ataupun kebuntuan yang dialami generasi penerus bangsa ini.

Alih-alih lembaga pendidikan menjadi jawaban dari pelbagai persoalan yang membelenggu bangsa ini, seperti angka kemiskinan tinggi, pengangguran bertumpuk, dan lain-lain. Justru lembaga pendidikan akan "terkesan" mendukung misi kehancuran bangsa ini karena kebuntuan para generasi penerusnya.

Agaknya kita harus bersepakat untuk mengukuhkan kembali realisasi fondasi berdasar konstitusi dalam sistem pendidikan kita. Dalam hal ini, saya tidak sedang mengatakan bahwa sistem pendidikan kita jauh dari nilai-nilai konstitusi. Namun, penerapan nilai-nilainya harus diterjemahkan kembali secara lebih komprehensif mengikuti perkembangan setiap fenomena yang menyasar ruang strategis.

Karena nilai luhur bangsa ini amat sangat ideal bila dijadikan fondasi utuh yang penerapannya menyeluruh. Dalam sistem pendidikan, kita harus menyasar ke semua objek. Tidak hanya bagaimana pembentukan karakter dan perilaku murid, namun juga peran tenaga pengajar yang menjadi pelaksana sarana prasarana lembaga pendidikan.

Mengikuti Perkembangan

Berbicara sarana lembaga pendidikan, memang sudah sewajarnya mengikuti perkembangan zaman yang kian memudahkan. Seperti adopsi teknologi ke dalam sistem pendidikan. Tapi akan menjadi hal yang mengkhawatirkan apabila ternyata seorang tenaga pengajar kurang melek teknologi.

Barangkali dengan dalih tersebut, bangsa ini justru memaklumi eksistensi Chat GPT (yang jelas mengancam) di dunia pendidikan? Siapa yang tahu. Karena realitanya kita memang terkesan terlambat untuk menyikapi hal tersebut, atau sederhananya, tidak sat-set.

Bagaimana kemudian kita berbicara tentang 2030 yang digadang-gadang sebagai bonus demografi, kalau para tenaga pendidik kita saja tidak mampu maksimal dalam menyiapkan generasi penerusnya? Maka jangan heran, kalau istilah "Indonesia Emas 2045" hanya akan menjadi slogan belaka.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads