Bola, Identitas dan Industri
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Bola, Identitas dan Industri

Sabtu, 01 Apr 2023 16:26 WIB
H Rahmat Hidayat Pulungan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
H Rahmat Hidayat Pulungan (dok.istimewa)
Foto: H Rahmat Hidayat Pulungan (dok.istimewa)
Jakarta -

Federasi sepak bola dunia (FIFA) telah resmi mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah pada gelaran Piala Dunia U-20 tahun 2023. Keputusan FIFA tersebut jelas merupakan pil pahit bagi sepak bola Indonesia. Sebab, kesempatan besar bagi Tim Nasional (Timnas) U-20 untuk tampil dalam ajang level dunia menjadi sirna.

Padahal persaingan dalam perebutan sebagai tuan rumah yang berhasil dimenangkan Indonesia merupakan suatu prestasi luar biasa. Sebab, jika melihat ke belakang, perjuangan dan diplomasi Indonesia untuk memenangkan hati FIFA tidaklah mudah.

Indonesia mesti bersaing dengan sejumlah negara yang terkenal dalam dunia sepak bola macam Peru, Brasil, dan gabungan tuan rumah bersama (Bahrain, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Keberadaan para pesaing raksasa dengan tradisi sepak bola jauh di atas Indonesia ini membuat banyak pihak pesimistis. Namun alih-alih tidak dipandang sebagai kandidat potensial, Indonesia justru berhasil ditunjuk sebagai tuan rumah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun demikian, pencabutan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 ini juga harus dijadikan bahan untuk refleksi-diri bagi bangsa Indonesia. Ada beberapa catatan yang perlu dibenahi oleh Indonesia terkait kegiatan olahraga dunia ini.

Potensi Indonesia

ADVERTISEMENT

FIFA melihat Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi untuk berkembang dalam aspek-aspek menyeluruh terkait sepak bola. Unsur-unsur penting seperti dukungan kuat negara serta angka populasi warga Indonesia yang mencintai sepak bola juga begitu tinggi. Ini sebagaimana terlihat dari data yang dipublikasikan oleh perusahaan riset multinasional (Ipsos) tahun 2022 yang menempatkan Indonesia sebagai negara teratas dalam hal jumlah penggemar sepak bola, yakni sebanyak 69 persen dari total 270 juta populasi.

Besarnya jumlah penggemar serta dukungan dari negara merupakan suatu ekosistem yang menjanjikan bagi perkembangan sepak bola, baik dalam sudut pandang olahraga maupun industri. Sebagaimana kita tahu bahwa FIFA itu berada di antara negara dan pasar (industri). Sementara ekosistem bola itu adalah pemain, penonton dan pelaku. Indonesia merupakan bagian dari ekosistem bola yang menjanjikan bagi FIFA.

Sepak bola modern sudah bermetamorfosa menjadi dua entitas, yaitu klub (industri) dan negara (identitas). Batasannya pun sangat tipis. Seorang pemain sepak bola bisa menjadi simbol sebuah industri sekaligus negara.

Terkadang batasan antara dua entitas tadi menjadi kabur dan buram. Tapi pada prinsipnya orang modern menjadikan sepak bola sebagai sebuah pertunjukan hiburan (entertainment) dan kesenangan.

Penolakan Israel

Gerakan penolakan terhadap Timnas Israel yang menyebabkan dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah adalah contoh betapa gamangnya kita dalam melihat realitas perkembangan dunia dewasa ini. Bukti-bukti kegamangan itu dapat dilihat dari masih kuatnya dua faktor klasik dan satu tambahan faktor baru yang melatarbelakangi penolakan Timnas Israel.

Penulis memahami mereka yang menolak Israel berpegang pada tiga alasan. Pertama alasan teologis. Diketahui bahwa umat Islam selama lebih dari tujuh dekade lamanya menolak penindasan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Fakta bahwa Israel sebagai negara yang dihuni mayoritas umat Yahudi dan Palestina yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam membuat persepsi konflik bersifat teologis begitu sulit untuk dihindari.

Bagi pihak yang mendasarkan pertimbangan teologis tentu butuh waktu panjang untuk menjernihkan segala urusan yang berkaitan dengan Israel. Karena mereka akan selalu mengacu pada kitab suci yang memang secara jelas membahas posisi dan status Yahudi. Dalam hal ini diperlukan kematangan politik serta transformasi pemikiran untuk bisa menerima Israel sebagai fakta sosial dengan segala perkembangan dan pengaruhnya dalam banyak bidang.

Kita seharusnya mengambil pelajaran dari banyak negara di Timur Tengah yang dulunya terlibat peperangan dengan Israel akhirnya mengubah persepsi konflik teologis yang melelahkan dengan jalan keterbukaan; untuk menerima dan berinteraksi dengan Israel.

Alasan lain penolakan terhadap Israel adalah karena sejarah. Ekspansi Israel di tanah Palestina sejak pertengahan tahun 1940-an masih terpatri dalam benak dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Secara khusus, penolakan terhadap kepesertaan Israel dalam perhelatan dunia olahraga yang diselenggarakan di Tanah Air telah terjadi sejak era Pemerintahan Presiden Soekarno.

Penolakan yang dilakukan Sang Proklamator itu kemudian menjadi salah satu rujukan sikap bagi pihak-pihak yang hari ini menyuarakan penolakan terhadap Timnas Israel. Pihak-pihak yang mendasarkan penolakan pada pertimbangan historis perlu merenungi dengan pandangan yang lebih jernih. Karena problem terkait peristiwa di masa lalu bisa diletakkan sebagai pelajaran dan konsensus untuk menata masa depan yang lebih baik sehingga tidak diwariskan sebagai beban pada generasi sekarang.

Sementara faktor ketiga lebih disebabkan oleh aspek traumatis dari pihak-pihak yang menyimpan kekhawatirkan kehadiran Israel yang berpotensi dijadikan alat propaganda politik bernuansa agama. Dalam benak pihak yang diliputi suasana traumatis ini, keberadaan Israel dalam pentas Piala Dunia U-20 begitu rentan dimanipulasi dengan narasi anti-Islam. Seorang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dalam Pilkada DKI saja bisa dijadikan sasaran empuk politisasi agama, apalagi Israel.

Belajar dari Qatar

Kita harus belajar dari Qatar saat negara di jazirah Arab itu menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Negara ini memiliki agenda nasional jelas dengan kalkulasi politik dan ekonomi yang matang.

Qatar memanfaatkan hajat Piala Dunia untuk mendongkrak pendapatan dari berbagai sektor, terutama pariwisata. Qatar rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk perhelatan akbar Piala Dunia. Namun imbal balik dari investasi ini pun besar dan bersifat jangka panjang.

Berdasarkan riset PwC, hasil Piala Dunia ini menjanjikan pertumbuhan ekonomi Qatar sebesar 8,7 persen dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Sementara dari sisi pariwisata sendiri, berdasarkan riset Newlines Institute di Amerika Serikat, keuntungan langsung yang didapat Qatar dari sektor ini diperkirakan sebesar Rp 266,9 triliun.

Secara politik, Qatar menjadikan Piala Dunia sebagai ajang menujukkan diri pada dunia bahwa negara ini terbuka di tengah tudingan sebagai negara konservatif dan tertutup (eksklusif). Dari Piala Dunia ini, Qatar bahkan bisa menjadi negara yang mampu menjembatani dunia Arab dengan Barat.

Kita harus jujur bahwa Indonesia memang tidak siap untuk menggelar perhelatan olahraga akbar ini. Kita tidak berhasil mengonsolidasikan apa yang menjadi agenda nasional untuk menyelenggarakan event ini. Terlalu banyak catatan yang dapat dilihat dengan jelas. Misalnya, tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. Lalu penggunaan stadion Gelora Bung Karno untuk konser Blackpink menjelang proses audit oleh FIFA, serta hal lain yang tak menunjukkan kesiapan kita untuk Piala Dunia U-20.

Kegagalan ini juga memberikan pesan evaluatif untuk kita semua bahwa ekosistem sepak bola kita belum bisa menjadi identitas dan industri secara baik, serta menjadi tontonan yang menyenangkan.
Siapa pun presiden dan ketua umum PSSI-nya akan mengalami dilema yang sama jika dihadapkan pada masalah ini.

H Rahmat Hidayat Pulungan
Wasekjen PBNU

(ygs/ygs)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads