Tanda waktu menunjuk tujuh menit menjelang Rabu beringsut menuju Kamis. Bonong masih berselancar dari laman satu media ke lain media yang riuh. Di tengah kesenangan menikmati sajian berkualitas Profesor Mahfud MD di rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Sirajuddin sahabat masa kecilnya berkirim pesan WhatsApp. Isinya tentang ihwal Indonesia yang batal menjadi tuan rumah perhelatan piala dunia sepak bola usia dua puluh tahun.
Alih-alih menjawab komentar sabahatnya itu, Bonong malah membelokkan pembicaraan dengan pertanyaan.
Sudahkah Zubaidah menyiapkan santap sahurmu Sirad? Jika belum, bangunkanlah dia agar tersedia singang di meja makanmu malam ini. Sirajuddin memang tinggal di kampung halaman. Sebuah desa kecil di Sumbawa. Ada selisih waktu satu jam lebih awal dengan catatan waktu Jakarta. Adapun Zubaidah adalah adiknya. Kembang desa yang dipinang dan dinikahi Sirajuddin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seolah ingin meledek sahabatnya itu, Bonong menutup chatnya dengan candaan seperti biasa. Ah sudahlah Nyonyok, urus saja ladang jagung, kuda dan kerbaumu. Tahu apa engkau dengan urusan sepak bola ini? Sirajuddin hanya membalas dengan emoticon senyum. Nyonyok adalah sebutan akrab untuk dirinya. Sebetulnya itu tak sedap karena bermakna si mulut mancung. Namun karena mereka sangat akrab semenjak kecil, ledekan itu berubah menjadi panggilan akrab.
Kebiasaan masyarakat kita terkadang memang sedikit aneh. Terdapat ruang interaksi sosial untuk mengemas perhatian dan kasih sayang dengan diksi yang sejatinya sangat dapat menggoreskan luka di hati. Seolah respek tak terdefinisi atau bahkan tak perlu disertakan semata karena alasan diri yang telah akrab dikenali satu sama lain. Tapi begitulah kita.
Meributkan Bola
Rasa kantuk seolah telah pupus. Kepala terlanjur terasa penuh meski hanya karena satu kata, bola. Ya, bola. Peristiwa di Senayan dan kabar pertemuan presiden FIFA dengan Ketua Umum PSSI Erick Tohir seperti tertaut dalam satu sulaman berita dengan kata kunci yang sama.
Tiba-tiba saja publik kita seperti sedang meributkan kebenaran bola. Dua peristiwa berbeda namun menghadirkan rasa dan irisan pesan yang sama.
Jurus sakti Mahfud Md di Senayan mengupas angka yang setelah mendengarnya saja sontak membuat telinga kita terluka seperti tak cukup. Dahaga kita ditambahi dengan misi Ketua Umum PSSI. Kegigihan ikhtiar yang buahnya tak semolek harapan. Benarlah kiranya bahwa Ramadan adalah bulan tarbiyah. Sepertinya semesta memang sedang sengaja mendidik kita sebagai bangsa. Namun pelajaran apa gerangan? Apa yang semesta inginkan untuk kita baca?
Apakah oleh tragedi masa silam? Kanjuruhan misalnya. Atau ekspresi kemarahan atas nama kesetiakwanan dan kesetaraan kemanusiaan yang ingin kita tegaskan.
Publik riuh oleh silang pandangan tentang ukuran kebenaran. Bahkan penuh oleh argumen yang tak mesti selalu dapat disandingkan dengan keteraturan berlogika. Namun begitulah sisi indah keberagaman kita. Ketidakteraturan berlogika tidak selamanya dapat dipersalahkan.
Simpul kerumitan bernalar kita memang telah terlanjur kuat. Tak cukup dipahami hanya dengan untai tipis benang pemisah benar dan salah. Tidak pula dengan sekedar kata hitam dan putih. Tak lagi dengan cara itu.
Bangsa ini harus berjuang selaras untuk beranjak ke aras keragaman berlogika yang lebih kaya dan lebih tinggi. Bahwa segala hal di semesta selalu bergerak selaras dan berubah. Maka piranti yang dibutuhkan untuk mengenal kebenaran dalam dinamika peradaban yang berubah cepat pun demikian. Tak boleh statik.
Bonong rupanya mengerti mengapa kemudian Sirajuddin yang sederhana menjadi tak sanggup menerima keadaan. Tipikal cara berpikir khas publik di akar rumput yang polos dan jujur. Lugas dan sederhana.
Maka teringat ia kepada sajian uraian progresif seorang ulama Nahdatul Ulama, KH Fachrurozi yang mengupas hal betapa pentingya menyelaraskan keteraturan cara berfikir dengan perubahan zaman dan kemajuan peradaban. Disebutkan bahwa bahkan ketentuan fiqih yang terdefinsikan dari keadaan peradaban di masa silam itu elok bersifat dinamik. Bukan dalam pengertian kaidah yang menjadi lentur melainkan ketegasan batasan kebenaran berkat tersertakannya pijakan yang bertaut dengan kompleksitas keadaan baru. Sesuatu yang belum terjadi dan bahkan tidak terdefinsikan di masa silam. Sang Kyai mencontohkan persoalan transaksi digital yang belum dikenal di masa awal Islam.
Perubahan cara memandang persoalan dan mengenal kebenaran jelas berkorelasi dengan perubahan peradaban. Perkembangan sains pun terpicu oleh cara seperti itu. Sebut saja misalnya Jagadish Chandra Bose mengamati gejala tidak alami dalam respon lektromagnetik material chiral. Itu terjadi di tahun 1898. Kala itu itu ia tidak memiliki cukup argumen fisika teori untuk menjelaskan gagasan material dengan indeks bias negatif. Sebuah fenomena yang ternilai sebagai sesuatu yang menentang sifat alam. Melawan kaidah ayat semesta.
Namun hampir seratus tahun kemudian Viktor Vaselago, seorang fisikawan Rusia berhasil merumuskan penjabaran teoretik atas apa yang diamati Bose. Bahwa ternyata permeabilitas yang berkaitan dengan sifat kemagnetan bahan maupun permitivitas yang berkait dengan sifat kelistrikan dapat bernilai negatif. Teori Vaselago menjadi tonggak lahirnya pengetahuan baru akan yang kini dikenal sebagai metamaterial. Menjadi sisi lain membaca kebebnaran ayat semesta yang hanya dapat difahami dengan sudut pandang dan kaidah pengetahuan baru.
Artinya, tidak ada satupun pengingkaran kaidah di dalamnya. Ilmu pengetahuan itu kini telah berkembang sangat pesat yang bermanfaat. Pembuktiannya dapat dilakukan dari beragam persfektif kajian fisika.
Apakah semua ilmuwan seberuntung Bose dalam pengertian temuannya terverifikasi dengan sahih dan elegan? Tentu saja tidak. Kisah Socrates berada di sisi pilu perjalanan peradaban. Ia berpikir melampaui dan jauh di depan kaum dan jamannya. Tak beda dengan hal yang terjadi di tengah masyarakat kita kini.
Perbedaan yang tidak selalu ternilai sebagai rahmat melainkan dapat menjadi sebab hilangnya rasa hormat. Himpitan ketidaktahuan dan kegagalan berselaras dengan perubahan jaman yang lalu memicu pertentangan. Menghabiskan energi kita yang sejatinya terbatas. Aroma seperti itu terasa dalam riuh kita mengeja kebenaran bola dan bola kebenaran yang puncaknya terjadi Rabu kemarin itu.
Kita tentu dapat belajar dari sejarah. Kehebatan berpengetahuan Socrates tidak bertaut berselaras dengan kemampuan umat kala itu. Keunggulan yang seharusnya dipandang sebagai lentera pencerahan justru menjadi pemicu nestapa. Ia dihujat dan bahkan ditekan kalangan dan kekuatan gereja.
Kisah itu mengjarkan kita bahwa terpontal-pontalnya kearifan suatu kaum akibat keterbatasan piranti berpikir yang tidak berselaras dengan laju perubahan zaman dapat menjadi pemicu keadaan yang sangat berbahaya.
Kebenaran akan selalu menjadi kebenaran. Tidak akan berubah. Hal yang mungkin luput dari kebiasaan kita adalah keengganan untuk beringsut menerima perubahan cara pandang yang lalu menjadi penghalang. Kaum yang dilanda keadaan seperti itu sangat beresiko untuk terjejak di tipak zaman sebagai penggores riwayat kelam dan pilu. Akhir tragis dari kehidupan Socrates tercatat oleh keadaan semacam itu.
Hari telah mendekati subuh. Bonong tersenyum sembari teringat bibir mancung Sirajudin. Diarih ponselnya lalu menulis pesan Whatsap. Sahabatku, engkau tak salah jika menyoal ihwal perhelatan kejuaraan sepak bola yang batal itu. Tak perlu bersedih, karena hampir semua anak negeri kini sedang meributkan bola kebenaran dan kebenaran bola dalam spektrum pemikiran warna-warni. Itulah keunikan kemajemukan kita.
Sepertinya semesta memang sedang sengaja mengajakmu, mengajakku aku dan mengajak kita semua anak bangsa untuk naik kelas dalam mengeja kebenaran. Beringsut selaras ke cara arif yang berbeda. Kita hanya perlu membuka pintu akal budi. Tak perlu lagi meributkan ongkos dan resiko dari semua keriuhan ini. Pastikan saja bahwa kita akan bersiap menerimanya sebab kita bersedia untuk belajar menjadi lebih hebat setelah untaian peristiwa ini. Wallahualam.
Iwan Yahya. Dosen dan peneliti. The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
(rdp/rdp)