Anomali dalam ketatanegaraan Indonesia kembali terjadi ketika ketok palu atas Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menandai pengesahan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna DPR, Selasa, 21 Maret 2023. Putusan yang menuai penolakan tersebut berawal dari Pidato Presiden pada 20 Oktober 2019 mengenai gagasan Undang-Undang Omnibus Law dan kemudian disahkan pada 5 Oktober 2020 yang telah lebih dahulu menuai penolakan.
Namun jalan yang tersedia dalam amanat konstitusi untuk membatalkan produk Undang-Undang tersebut hanyalah judicial review. Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan bahwa Undang-Undang tersebut cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Bukan mematuhi putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O, Presiden justru menggunakan hak veto yang dimiliki untuk mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja yang secara materiil dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 dan kemudian disahkan DPR.
Idealkah Perppu Dikeluarkan?
Secara formil, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan tindakan yang tidak demokratis. Namun wewenang tersebut tetap diamanatkan kepada presiden untuk memenuhi asas formil dari suatu keputusan ketika tidak memiliki dasar hukum dalam ihwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22 UUD 1945). Adapun yang dapat dijadikan alasan dalam mengeluarkan Perppu karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasar undang-undang.
Alasan selanjutnya dikarenakan adanya kekosongan hukum, atau terdapat undang-undang tetapi tak memadai. Artinya partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang hanya dapat dihilangkan ketika dalam situasi mendesak terhadap suatu kebutuhan. Oleh sebab itu, pertanyaan mendasarnya apakah dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja telah memenuhi kategori kegentingan memaksa yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945?
Salah satu alasan argumentatif yang dibawa pemerintah dalam mengeluarkan Perppu tersebut adalah kebutuhan mendesak di bidang ekonomi sebagaimana bagian menimbang poin g dalam konsideran Perppu tersebut. Namun hal kontradiktif justru dapat dilihat dari rilis pemerintah sendiri bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 merupakan yang tertinggi semenjak 2014 (+5,31%). Bahkan Menko Perekonomian juga memperoleh Priyadarshni Academy Global Award sebagai salah satu tokoh inspiratif pemulihan ekonomi pascapandemi. Begitu pun dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa keadaan ekonomi Indonesia dalam keadaan baik-baik saja.
Rilis tersebut seolah menyatakan bahwa dengan produk hukum yang tersedia saat itu Indonesia mampu membangkitkan ekonomi. Lalu di mana kebutuhan mendesak, kekosongan hukum, dan tidak memadainya undang-undang yang ada sehingga pemerintah menilai harus mengambil suatu keputusan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat? Atau kebutuhan mendesak apa yang mengharuskan pemerintah mengambil langkah tersebut?
Mencederai Demokrasi
Terlepas dari kepentingan apa yang dibawa, satu hal pasti bahwa langkah tersebut telah mencederai demokrasi ketika tidak ada alasan argumentatif logis dari pemerintah. Pertama, putusan MK terhadap Undang-Undang Omnibus Law ialah cacat formil dikarenakan minim partisipasi dalam perumusannya dan juga muatan di dalamnya yang kontradiktif dengan tujuan dibentuknya undang-undang tersebut. DPR kemudian diberikan waktu dua tahun untuk memenuhi aspek formil mengenai minim partisipasi serta aspek materiil yang kontradiktif dengan asas tujuan pembentukan undang-undang tersebut sebelum disahkan kembali.
Namun langkah yang diambil pemerintah ialah mengeluarkan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang secara materiil sama dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020. Langkah ini lebih parah lagi dikarenakan dalam mengeluarkan Perppu sendiri memang tidak mengharuskan pemerintah membuka ruang partisipasi (kegentingan memaksa). Poin dalam langkah tersebut bahwa pemerintah tidak ingin mengikutsertakan masyarakat dalam proses perumusan.
Undang-Undang No 11 Tahun 2020 dirumuskan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun terhitung dari Desember 2019 hingga Oktober 2020. Namun DPR tidak mampu dalam memenuhi putusan MK yang memberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki undang-undang tersebut. Tentunya hal ini dipertanyakan, tidak logis ketika DPR mampu membentuk Undang-undang tersebut dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, namun tidak mampu memenuhi tuntutan perbaikan terhadap undang-undang tersebut dalam kurun waktu dua tahun.
Secara idealnya, proses pembahasan Perppu oleh DPR merupakan penilaian aspek materiil apakah Perppu tersebut disetujui atau tidak. Hal ini juga mengandung makna partisipasi DPR sebagai wakil rakyat yang menilai apakah Perppu tersebut selaras dengan kebutuhan masyarakat. Namun nyatanya secara materiil Perppu No 2 Tahun 2022 dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tidak jauh berbeda, dan DPR mengesahkan Perppu menjadi Undang-Undang
Aspek Materiil
Secara materiil, penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja dikarenakan adanya pasal bermasalah yang disinyalir akan mendiskriminasi pekerja. Misalnya dalam penghapusan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sehingga ada kekosongan hukum. Ketika ada kekosongan hukum PKWT, maka perjanjian akan dikembalikan kepada pemberi kerja dan pekerja sehingga tidak ada jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan juga akan berpotensi munculnya kesewenang-wenangan terhadap pekerja.
Masih banyak aspek materiil lainnya yang bermasalah dalam Perppu tersebut yang sebelumnya dinyatakan kontradiktif dengan asas pembentukan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tersebut dalam putusan MK Nomor 91/ PUU-XVIII/2O2O. Misalnya penghapusan pengaturan PKWT dan penghapusan "kebutuhan hidup layak" sebagai dasar penetapan upah minimum. Permasalahan dalam aspek materiil ini justru diabaikan oleh pemerintah, padahal argumentasi yang dibangun merupakan kekhawatiran terhadap hak pekerja yang juga menjadi tujuan pembentukan Perppu tersebut "perlindungan". Namun kemudian pemerintah menyatakan pentingnya undang-undang tersebut sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui cipta kerja.
Muatan materiil sebagaimana contoh yang dijelaskan tadi tentu akan menguntungkan perusahaan atau para pemberi kerja. Kondisi tersebut akan menghidupkan sektor industri dan menjadikan Indonesia semakin seksi sebagai tujuan investasi dikarenakan tanggung jawab perusahaan kepada pekerja semakin kecil. Lalu apakah menggadaikan kesejahteraan pekerja merupakan solusi pemerintah untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi?
Saya tidak ingin berspekulasi tentang apa motif pemerintah sehingga terkesan memaksakan produk hukum tersebut. Satu hal pasti bahwa langkah pemerintah justru membangun stigma bahwa ada kepentingan yang diakomodasi di luar kepentingan masyarakat. Sebab tidak ada alasan logis yang pemerintah berikan sehingga masyarakat dapat menerima bahwa produk hukum yang dipaksakan tersebut merupakan kebutuhan masyarakat. Maka wajar dan harus bagi seluruh mahasiswa untuk menyuarakan dan menolak produk hukum tersebut!
M Hafiz Al Habsy mahasiswa Ilmu Administrasi Negara UNP, Presidium Nasional Ikatan Lembaga Ilmu Sosial Politik Indonesia
(mmu/mmu)