Absurditas Pengesahan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Absurditas Pengesahan Perppu Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang

Kamis, 30 Mar 2023 11:00 WIB
Setyo Widagdo
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Absurditas Pengesahan Perppu Cipta Kerja Menjadi UU
Setyo Widagdo (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Akhirnya DPR mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) setelah tiga bulan diterbitkan. Tujuh fraksi pendukung pemerintah di DPR telah menyetujui Perppu Cipta Kerja untuk disahkan di sidang pleno (21/3), sedangkan dua fraksi yang selama ini berada di luar pemerintahan, yakni PKS dan Partai Demokrat menolak.

Persetujuan tujuh fraksi terhadap Perppu tersebut sebelumnya sudah dapat diduga. Agak sulit mengharapkan parlemen yang isinya mayoritas koalisi pemerintah memiliki sikap yang berseberangan dengan kemauan pemerintah, sebab anggota DPR yang mestinya mandiri dan bertanggung jawab kepada konstituennya, harus tunduk patuh terhadap fraksinya, karena kekhawatiran akan di-recall.

Inilah persoalan anggota parlemen kita yang selama ini menjadi pertanyaan konstituennya, sebetulnya anggota DPR itu memperjuangkan aspirasi rakyat yang memilihnya atau menampung aspirasi fraksinya? Pertanyaan ini sebenarnya mudah dijawab, tetapi sulit mewujudkannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika untuk persoalan-persoalan penting dan strategis diputuskan melalui pemungutan suara per fraksi, maka fraksi-fraksi pendukung pemerintah yang selama ini berkoalisi pasti akan menang dalam pemungutan suara tersebut, dengan demikian kebijakan pemerintah aman. Bahkan jikalau pun pemungutan suara dilakukan secara one man one vote, tidak bisa diharapkan ada anggota DPR yang berani berbeda dengan kebijakan fraksinya, kendati dengan alasan menyalurkan aspirasi konstituennya, karena bayang-bayang recall. Memang nampak "absurd", tetapi itulah yang terjadi selama ini.

Oleh karena itu, ketika pemerintah dapat merangkul partai politik masuk dalam koalisinya, melampaui 50% suara parlemen, maka setiap kebijakan pemerintah yang harus mendapatkan persetujuan DPR atau kebijakan yang harus dituangkan dalam bentuk UU, rasanya sulit dipatahkan atau dengan bahasa yang lebih lugas sulit digagalkan. Contohnya ya UU tentang Cipta Kerja ini.

Sebelumnya UU tentang IKN dan UU lain yang kemudian di-judicial review (JR) oleh sekelompok masyarakat, karena hanya melalui JR inilah masyarakat dapat melakukan pengawasan melalui cara yang legal. Sementara protes melalui demo kurang mendapatkan perhatian serius.

Sering kita mendengar anggota DPR ketika mendapatkan kritik bahwa mereka kurang memperhatikan aspirasi masyarakat, sehingga menghasilkan produk UU yang buruk, selalu mengatakan, "jika tidak puas dengan UU yang kami hasilkan, silakan dibawa ke Mahkamah Konstitusi, jangan teriak-teriak demo di jalan." Pernyataan demikian ini selain normatif juga lebih bernada "ngeles".

ADVERTISEMENT

Seharusnya DPR sadar dan paham bahwa justru produk UU yang baik itu ketika tidak ada celah sedikit pun untuk dipersoalkan, sehingga kemungkinan untuk di-judicial review itu nol, alias tertutup. Hal ini dimungkinkan jika pembahasan RUU atau Perppu benar-benar memperhatikan prinsip-prinsip atau asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana diatur dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU No 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

Barangkali praktik yang terjadi di DPR selama ini, dalam konteks pelaksanaan fungsi legislasi maupun pengawasan, perlu diubah paradigmanya. Setidaknya di internal partai politik yang mengusung para anggota DPR itu sendiri yang harus mengubah mekanisme hubungan antara anggota DPR dengan konstituen pemilihnya, anggota DPR dengan fraksinya, fraksi dengan parpolnya, sehingga anggota DPR tidak terbebani atau tersandera oleh fraksi maupun parpol pengusungnya.

Harapannya, pelaksanaan fungsi legislasi dan pengawasan eksekutif lebih optimal. Demikian juga anggota DPR diharapkan dapat lebih produktif dan efektif menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tanpa dibayang-bayangi oleh ancaman recalling oleh fraksinya yang notabene adalah kepanjangan dari parpolnya.

Selain itu, persoalan koalisi pemerintah dengan parpol-parpol pendukung di parlemen menjadi masalah tersendiri dalam konteks hubungan eksekutif-legislatif. Biangnya adalah adanya pembagian jatah parpol di kabinet. Pembagian jatah inilah penyebab sulitnya DPR menolak setiap kebijakan pemerintah. Contoh yang paling hangat adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang masih ikut di barisan koalisi pemerintah menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU, walaupun Nasdem mulai agak berani berseberangan dengan mendeklarasikan Anies Baswedan menjadi bakal calon Presiden.

Apalagi tiga Menteri dari Nasdem di kabinet batal di-reshuffle. Tentu hal ini semakin menguatkan dalil bahwa ketika koalisi itu diikuti oleh pembagian jatah menteri di kabinet, maka sangat sulit mekanisme check and balance dalam hubungan eksekutif-legislatif berjalan dengan semestinya sesuai dengan teori-teori ilmu politik maupun hukum. Terlebih lagi jika ada persoalan "kepentingan" dan "cuan" dalam hubungan tersebut.

Maka tidak mengherankan apabila Perppu Cipta Kerja disetujui menjadi UU oleh semua fraksi pendukung pemerintah, kendatipun terdapat keberatan dan penolakan di kalangan masyarakat sipil, pengamat politik, dan para intelektual hukum. Mereka ini menyatakan hal yang sama bahwa Perppu Cipta Kerja itu inkonstitusional.

Apakah dengan demikian DPR telah abai terhadap aspirasi rakyat? Mungkin tidak terlalu salah pendapat yang menyatakan demikian, sebab rakyat tidak merasakan "diwakili" dengan keputusan pengesahan Perppu tersebut menjadi UU.

Kini rakyat hanya bisa melakukan judicial review, jalan satu satunya secara hukum yang dapat ditempuh untuk mencoba mengharap asa. Itu pun jika rakyat masih percaya dengan Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang belakangan disorot independensinya, dan berbagai kasus internal MK itu sendiri, seperti perbedaan bunyi putusan antara yang dibacakan dengan yang tertulis.

Sudah selayaknya masyarakat sipil terus-menerus ikut melakukan pengawasan terhadap kinerja lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif sebagai tanggung jawab warga negara terhadap baiknya penyelenggaraan negara, agar cita-cita bersama dalam mewujudkan good governance dan clean government dapat tercapai.

Setyo Widagdo Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Simak juga 'Pimpinan DPR Persilahkan yang Menolak UU Cipta Kerja Gugat ke MK':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads