Sepak bola adalah miniatur kehidupan atau bahkan kehidupan itu sendiri. Ya, sejak awal mula bola disepak, lajunya tidak menemui henti. Bola terus bergulir, digiring, ditimang, dimaknai, ditekuri, dan difilsafati. Sepak bola adalah permainan yang memaktub beribu aksi --dan beriring berjuta reaksi. Novelis Inggris Terry Pratchet pernah menyatakan, "Hal hal terpenting tentang sepak bola adalah bahwa ini bukan hanya tentang sepak bola."
Benar saja, sepak bola tidak dapat ditelisik hanya dalam satu sisi saja. Di dalam gelindingnya, si kulit bundar dapat membawa kepentingan politik, ideologi, dan berbagai kepentingan massa. Ya! Sepak bola sanggup diamanati untuk menjaga martabat massa atau mengerek muruah bangsa. Di Beograd, Red Star dijadikan wadah perjuangan warga Serbia untuk merebut kembali martabat bangsanya, fans Red Star dengan lantang meneriakkan yel-yel yang menuntut pemisahan, "Serbia, bukan Yugoslavia! Serbia, bukan Yugoslavia!" Sebaliknya, rival sekota Red Star, Partizan --yang didukung tentara-- getol mengupayakan penolakan terhadap gerakan nasionalisme Serbia.
Di Spanyol juga terjadi rivalitas yang secorak dengan Yugoslavia, yakni perseteruan klasik antara Real Madrid dan Barcelona. Madrid merupakan representasi dari Spanyol, sementara Barcelona mengejawantahkan spirit 'memberontak' bangsa Catalan yang ingin merdeka. Di Skotlandia, perseteruan Old Firm antara Rangers dan Celtic dibumbui aroma lanjutan Reformasi Protestan yang belum bersua kata 'tuntas'. Celtic adalah Katolik. Kesuksesan Celtic ditujukan untuk merongrong superioritas Protestan. Laga Celtic kontra Rangers laksana 'akhir pekan berdarah'. Pasalnya kala laga itu berlangsung, pasien yang dikirim ke bangsal gawat darurat dapat meningkat hingga sembilan kali lipat (Franklin Foer, 2004).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepak bola telah menjelma lebih dari sekadar olah badan. Laju sepakannya berkelindan dengan kepentingan dari setiap ruang penghidupan. Gelinding 'si kulit bundar' acap dijadikan semiotik dan simbolisasi perjuangan. Di Indonesia pun sama, rumput hijau juga dijadikan medan pertempuran dalam upaya menghempas congkak-culas penjajahan.
Sepak bola dijadikan alat bagi Muhammad Husni Thamrin dan Otto Iskandar Dinata untuk menginjeksi spirit gerakan kebangsaan. Sepak bola digaungkan PKI sebagai wahana menempa fisik bagi para pemuda di Sumatera Barat. Sepak bola digunakan kamuflase bagi aktivis komunis di Banten dalam mengadakan rapat (Zen, 2016). Pada masa pendudukan Jepang, di Banten Selatan, Tan Malaka bahkan membentuk tim sepak bola yang bernama Pantai Selatan untuk menempa fisik para pemuda pejuang.
Belum lagi jika kita menelusur sejarah pendirian Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Pembentukan PSSI tidak lepas dari gejolak nasionalisme yang menggelora dan dikatalisasi oleh perlakuan segregatif penjajah di lapangan sepak bola. Dengan demikian, bukan berlebihan jika Maulwi Saelan, dalam bukunya yang berjudul Sepak Bola (1970), menyatakan bahwa PSSI adalah anak kandung gerakan kebangsaan, sekaligus juga merupakan pengejawantahan Sumpah Pemuda di rumput hijau. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika George Orwell menyatakan bahwa sepak bola internasional adalah kelanjutan perang dengan cara lain.
Polemik Kehadiran Timnas Israel U-20
Publik Indonesia saat ini digaduhkan dengan polemik kehadiran Timnas Israel U-20 dalam gelaran Piala Dunia U20 (20 Mei hingga 11 Juni 2023). Pemerintah meminta masyarakat tidak mencampuradukkan masalah politik dengan olahraga. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin menegaskan, rencana keikutsertaan Timnas Israel tidak akan menggugurkan dukungan Indonesia atas kemerdekaan Palestina.
Namun, ada kelompok masyarakat yang menolak kehadiran Timnas Israel. Ketua DPP PDI-Perjuangan bidang keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan, Ham Haq menilai penolakan ini salah satunya didasari prinsip Presiden Sukarno, yang tidak mengakui Israel sebagai negara. Pendapat Ham Haq ini senapas dengan pernyataan Gubernur Ganjar Pranowo dan Gubernur Wayan Koster.
Timnas sepak bola Israel U-20 yang akan bertanding dalam Piala Dunia U-20 sebenarnya bukan delegasi pertama Israel yang berlaga di Indonesia dalam kancah olahraga. Sebelum ini, di cabang olah raga bulu tangkis, Misha Zilberman pernah berlaga di Istora Senayan dalam Kejuaraan Dunia BWF (2015). Kemudian ada juga atlet panjat tebing Yuval Shemla yang berlaga dalam IFSC Seri Jakarta (2022) ,dan atlet sepeda Mikhael Yakovlev yang berlaga dalam Kejuaraan UCI Track Nations Cup (2023).
Lantas mengapa baru sekarang? Mengapa di gelanggang sepak bola saja keikutsertaan Israel dipermasalahkan? Terlepas dari asumsi klise yang menduga penolakan terhadap Israel dapat mendulang suara dari golongan Islam mengingat momen ini berdekatan dengan 'tahun politik', alasan sederhana lainnya adalah karena sepak bola senantiasa mendapat 'lampu sorot' dan perhatian massa. Dengan demikian, penolakan Timnas Israel U-20 saat ini, oleh beberapa kelompok dianggap sebagai momentum emas untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam membela kemerdekaan Palestina.
Akal Sehat dan Pragmatis
Untuk mengurai polemik keikutsertaan Timnas Israel dalam Piala Dunia U-20 bukanlah dengan meminta rakyat Indonesia memisahkan sepak bola dan politik. Permintaan itu merupakan hal yang absurd lagi naif. Kelindan sepak bola dan politik --sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini-- adalah keniscayaan. Menteri Olahraga Maladi --sebagai figur kepercayaan Bung Karno untuk membuncahkan jiwa olahraga rakyat Indonesia-- pernah berujar, "Sport tidak dapat dipisahkan dengan politik, yang secara terus terang dan terbuka dinyatakan oleh Indonesia kepada dunia!"
Polemik ini seyogianya ditakar dari aspek pragmatis dan akal sehat. Apabila ditakar secara pragmatis, penolakan terhadap Timnas Israel U-20 justru akan mencabik-cabik kredibilitas Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Sebagaimana kita tahu, pencanangan Indonesia sebagai host Piala Dunia U-20 bukanlah 'hadiah dari langit', melainkan perlu upaya keras dan seleksi sengit.
Apabila dikaji dengan akal sehat dan nalar, penolakan terhadap Timnas Israel U-20 --apabila benar-benar diakomodasi pemerintah-- adalah bentuk ketidakdewasaan Indonesia sebagai tuan rumah. Akal sehat kita mesti memahami bahwa Piala Dunia U-20 bukanlah The Games of the New Emerging Forces (GANEFO).
Piala Dunia U-20 bukan hajatan milik Indonesia. Timnas Israel nyatanya telah berhasil lolos dari babak kualifikasi dan berhak untuk tampil di putaran final Piala Dunia U-20. Dengan demikian, Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menggugurkan keikutsertaan Israel di Piala Dunia U-20. Perlu digarisbawahi, Indonesia 'hanya' mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah atas pengajuan Indonesia sendiri. Sekali lagi: hanya tuan rumah!
Ardian Nur Rizki penulis "Pustaka Sepak Bola Surakarta"
(mmu/mmu)