Fakta dan Ahistoris Pisahkan Olahraga dari Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Fakta dan Ahistoris Pisahkan Olahraga dari Politik

Rabu, 29 Mar 2023 10:53 WIB
Sudrajat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sudrajat, wartawan detikcom
Foto: Rahman/detikcom
Jakarta -

Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan menyikapi penolakan sebagian kepala daerah, ormas, dan elite partai politik terhadap Tim Sepakbola Israel bertanding dalam ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia. "Jangan mencampuradukkan urusan olahraga dan urusan politik," tegasnya di Istana Merdeka, Selasa (28/3).

Sepintas pernyataan tersebut ada benarnya, tapi juga terasa ahistoris. Sebab, banyak contoh kasus pada masa lalu betapa olahraga dalam dosis tertentu dimanfaatkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik.

Mohammad Ali misalnya. Ia tegas menolak ikut wajib militer untuk dikirim ke Vietnam dan aktif berkampanye menentang perang terhadap Vietnam. Ali pun dikenai hukuman dan denda sebesar USD10 ribu. Gelar juara miliknya dicabut, dan Ali dilarang bertanding tinju selama 1967-1970.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di pihak lain, Presiden AS Lyndon B Johnson akhirnya menarik pasukan AS dari Vietnam setelah puluhan ribu prajuritnya mati terkena jebakan tentara Vietkong. Menteri Pertahanan Robert S McNamara pun mengakui pengiriman pasukan ke Vietnam merupakan 'terribly wrong'.

Di Indonesia, kita mengenal pebulutangkis Tan Joe Hok, yang gigih memperjuangkan persamaan derajat antara masyarakat pribumi dan keturunan Tionghoa. Tan Joe Hok, yang lahir di Bandung pada 11 Agustus 1937, pernah memperkuat tim Piala Thomas pada 1958. Dia menjadi pebulutangkis Indonesia pertama yang menjadi Juara All England pada 1959.

ADVERTISEMENT

Meski begitu, Tan Joe Hok tetap diperlakukan diskriminatif. Setiap waktu dia masih harus mengurus surat tanda bukti kewarganegaraan RI. Apa yang diperjuangkan Tan Joe Hok akhirnya terkabul setelah rezim Orde Baru tumbang. Presiden BJ Habibie pada 1999 menerbitkan Inpres No 4 untuk menghapus keberadaan SBKRI.

Jauh sebelum itu, politisasi olahraga justru secara gamblang dimainkan Presiden Sukarno pada 1963. Kala itu Indonesia menolak keikutsertaan Taiwan dalam Asian Games IV di Jakarta, 24 Agustus hingga 4 September, dengan dalih tak punya hubungan diplomatik. Indonesia cuma mengakui RRT (Republik Rakyat Tionghoa). Sebaliknya, negara-negara Barat justru cuma mengakui Taiwan.

Sepertinya Bung Karno mengikuti jejak Joseph Stalin dari Uni Soviet. Pasca-Perang Dunia II pada 1945, Stalin mengalihkan propaganda politiknya ke sepakbola dan menjadikan Inggris sebagai tempat pertama percobaannya. Pada 4 November 1945, Stalin mengirim klub Dynamo Moscow untuk memenuhi undangan Asosiasi Sepakbola Inggris.

Misi di balik itu, menurut Randy Wirayudha dalam Historia.id edisi 19 Maret 2018, untuk meyakinkan publik bahwa Soviet tak kalah superior dari negara-negara Barat. Misi Stalin tercapai. Dari empat pertandingan, Dynamo tak pernah kalah. Mereka mengalahkan Cardif City 10-1 dan Arsenal 3-4, serta imbang 3-3 dengan Chelsea dan Glasgow Rangers 2-2.

Contoh paling gres sebetulnya diperlihatkan oleh FIFA. Organisasi ini bersama asosiasi sepakbola Eropa (UEFA) menghukum kesebelasan Rusia menjalani playoff Piala Dunia 2022 karena negara itu telah menyerang Ukraina. Rusia pun akhirnya absen bermain di Qatar. Begitu juga dengan Spartak Moscow dicoret oleh UEFA dari babak 16 besar Liga Eropa.

Kembali ke soal penolakan sejumlah pihak terhadap rencana tampilnya Timnas Israel di Indonesia memang bisa disebut politisasi olahraga. Lebih tepatnya kemunafikan dan penerapan standar ganda. Kenapa demikian?

Pada 20-24 Maret 2022, ada hajatan politik akbar di Nusa Dua, Bali, yakni sidang Inter-parliamentary Union (IPU) ke-144. Sidang itu jelas diikuti perwakilan parlemen Israel, Knesset. Tapi hajatan politik tersebut berlangsung mulus, nyaris tanpa penolakan berarti.

Apakah karena panitianya Ketua DPR-RI Puan Maharani dari PDI Perjuangan? Lalu Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Fadli Zon dari Gerindra serta Wakil Ketua BKSAP Mardani Ali Sera dari PKS?

Bahwa Presiden Jokowi ingin agar olahraga dipisahkan dari politik juga sebuah fakta yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2015, para atlet Israel sudah wira-wiri ke Jakarta. Pebulutangkis Misha Zilberman, misalnya, bertanding di kejuaraan dunia di Istora Senayan pada 11 Agustus, tanpa gejolak berarti.

Lalu pada 24-26 September 2022, Yuval Shemla dan Noa Shiran bertanding di ajang kejuaraan dunia panjat tebing 2022 di SCBD. Juga ada tiga atlet sepeda asal Israel yang ikut berkompetisi di ajang UCI Track Cycling Nations Cup 2023 pada 23-26 Februari 2023.

Yang menarik, sikap Dubes Palestina Zuhair Al Shun pun menyampaikan bahwa event olahraga tak ada hubungannya dengan politik dan konflik. Apalagi menyangkut sepakbola di bawah FIFA, yang punya aturan tersendiri.

Pernyataan itu tak berlebihan bila menilik fakta bahwa Timnas Palestina sendiri sebetulnya pernah dilatih oleh orang Israel, Azmi Nassar. Menurut footballpalestine.com, Azmi Nassar berhasil membawa Timnas Palestina meraih medali perunggu di Pesta Olahraga Arab tahun 1999 di Amman, Yordania. Pada 2005, Azmi kembali melatih Timnas Palestina meski gagal membawa Palestina lolos ke Piala Asia 2007.

Saat Azmi meninggal dunia pada Maret 2007, ribuan warga Palestina menghadiri pemakamannya di Nazareth sembari mengibarkan fotonya yang berhiaskan bendera Palestina.

Fakta lain yang mungkin luput dari perhatian publik di Tanah Air adalah bahwa ada lima pemain keturunan Arab Palestina yang memperkuat Timnas Israel. Mereka adalah Mu'nas Dabbur (Moanes Dabour), Marwan Kabha, Beram Kayal, Dia Saba, dan Taleb Tawatha.

Khusus Dabbur pada 27 Juli 2022 memutuskan keluar dari Timnas Isarel. Keputusan itu, menurut palestinechronicle.com, diambil setelah Dabbur mengkritik keras aksi kekerasan aparat Israel di Masjid Al-Aqsa.

Dari semua paparan tersebut, saya curiga sebagian politikus yang menolak itu sekadar latah meromantisme masa lalu. Merujuk sikap Bung Karno yang pernah menolak kehadiran Tim Sepakbola Israel pada 1963. Di pihak lain ada ormas-ormas yang juga sekadar mencuri panggung dari isu Piala Dunia U-20. Mereka seolah mengidap amnesia bahwa kenyataannya pola perjuangan dan diplomasi sejak bertahun lalu sudah berubah.

Dubes Zuhair Al Shun sendiri yakin, ketuanrumahan Indonesia di U-20 tidak akan menggoyahkan sedikitpun posisi konsisten Indonesia terhadap Palestina.

Tulisan ini merupakan opini pribadi dari penulis, tidak mencerminkan sikap redaksi detikcom.

Simak Video 'Polemik Piala Dunia U-20, STY: Olahraga Adalah Olahraga!':

[Gambas:Video 20detik]



(jat/idn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads