Mengakhiri Kontroversi Larangan Buka Bersama Bagi Pejabat

Susanto - detikNews
Selasa, 28 Mar 2023 12:50 WIB
Foto: Susanto (Dok. Pribadi)
Jakarta -

Momen berbuka puasa bersama (ifthar jamai) merupakan bagian tradisi yang berjalan sejak lama. Setiap bulan Ramadan, umat Islam menjadikan buka puasa bersama sebagai agenda rutin yang dikemas dalam berbagai bentuk. Sebagian tradisi dikemas buka bersama keluarga, buka bersama kelompok arisan, buka bersama yang disisipkan dalam suatu kegiatan, buka bersama alumni, buka bersama dikemas dengan kegiatan kajian, buka bersama karyawan dan berbagai bentuk kemasan lainnya.

Dalam perspektif Islam, buka puasa bersama merupakan bagian yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut sebagaimana Hadist Riwayat Abu Dawud. "Para sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya, 'mengapa makan tidak kenyang?' Kemudian, Nabi balik bertanya, 'Apa kalian makan sendiri?' Para sahabat menjawab, 'iya'," (HR Abu Dawud). Kemudian Rosulullah SAW menjawab lagi, "Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah SWT akan memberikan berkah kepada kalian semua".

Lantas, bagaimana dengan acara buka bersama oleh pejabat? Kontroversi terkait larangan buka bersama bagi pejabat publik saat ini tampaknya belum berakhir. Bagi yang tidak setuju, memiliki ragam pandangan dan alasan, diantaranya; dinarasikan sebagai bentuk menciderai umat Islam, alasan negara terlalu masuk pada wilayah pribadi keagamaan dan sejumlah alasan lainnya.

Spirit Positif

Setiap kebijakan tentu tak bisa dilihat dari satu perspektif, namun penting dilihat dari berbagai perspektif sehingga kita dapat melihat secara utuh dari terbitnya suatu kebijakan. Dengan membaca secara cermat atas surat berkop Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor R 38/Seskab/DKK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023, penting kita mendudukkan secara proporsional atas surat edaran dimaksud, yaitu: Pertama, substansi surat dimaksud ditujukan kepada pejabat negara bukan masyarakat.

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat wajar jika memberikan arahan kepada pejabat publik melalui Menseskab atas pertimbangan kemaslahatan yang lebih luas. Apalagi buka bersama oleh pejabat umumnya memerlukan biaya yang cukup besar.

Kedua, teks narasi surat edaran dimaksud jika dibaca secara cermat, bukan membatasi wilayah pribadi sebagai umat Islam tetapi mengatur pejabat publik. Maka, rasanya tidak tepat jika surat dimaksud dipandang oleh sebagian kalangan menciderai umat Islam. Karena secara faktual masyarakat muslim tetap diberikan kebebasan menyelenggarakan buka bersama dengan beragam tradisi yang diinginkan.

Ketiga, dilihat dari sisi keberpihakan. Mengingat besarnya dana untuk buka puasa ala pejabat, surat edaran tersebut secara inheren memiliki spirit nilai pentingnya realokasi dana yang lebih maslahah, terutama lebih diperuntukkan bagi fakir miskin, anak yatim piatu dan anak kelompok rentan lainnya.

Apalagi sesuai regulasi UU 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 59 terdapat 15 kategori anak yang memerlukan perlindungan khusus dan jumlahnya sangat besar. Anak korban trafiking, anak korban eksploitasi ekonomi dan seksual, anak korban penelantaran dan kelompok anak lainnya memerlukan keperpihakan dari pejabat agar kelompok anak rentan ini dapat terbantu dan tumbuh kembang secara optimal.

Keempat, kebijakan tersebut dapat dimaknai bahwa pejabat sebaiknya memiliki social sensitivity. Apalagi akhir-akhir ini muncul kecenderungan rasa ketidakpercayaan kepada pejabat sebagai akibat dari pola hidup mewah oknum. Padahal, pejabat selayaknya menjadi role model pola hidup yang sederhana. Hal ini relevan dengan pandangan David Easton (1972) bahwa setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Pembiasaan dengan pola kesederhanan merupakan bagian dari sisi positif dari kebijakan dimaksud.

Kelima, dilihat dari sisi ekonomi, efek ekonomi penyelenggaraan buka bersama yang dilakukan oleh pejabat publik bukan dirasakan wong cilik, namun justru dinikmati kelas elit terutama pengelola hotel dan restoran berkelas.

Faktanya, ada kritik mencuat dari organisasi perhotelan di daerah, yang menjadi pertanda akan ada dampak. Sementara rumah makan kelas warteg dan warung-warung rakyat tentu tak menikmati dari tradisi buka bersama ala pejabat publik. Hal ini tentu merupakan korektif, agar buka bersama sejalan dengan nlai-nilai Islam dan kesederhanaan.

Susanto. Dosen Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Periode 2017-2022.

Simak juga 'Jokowi Minta Anggaran Bukber Pejabat Diganti Kegiatan yang Bermanfaat':






(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork