Publik kembali digaduhkan dengan isu penundaan pemilu. Sekarang isu tidak dibikin oleh elite partai politik yang menginginkan kekuasaan berulang, melainkan dari lembaga institusional penegak hukum yang memegang tampuk keadilan. Sekelas lembaga netral yang dipandang sebagai tangan Tuhan pun terjebak dalam pusaran kebengisan kekuasaan.
Berbagai akademisi hukum dan aktivis ketatanegaraan ikut mengomentari Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Kolom detikcom sudah menayangkan sejumlah artikel merespons putusan yang salah sasaran itu. Namun, saya menyayangkan, sejauh ini belum ada tulisan yang secara spesifikasi memberikan jalan keluar bagaimana status mengikat dari putusan pengadilan jika kompetensinya berada di luar dari kewenangan institusional lembaga bersangkutan?
Diskursus demikian belum terjawab hingga saat ini. Bahkan, ahli tata negara dari UGM Zainal Arifin Mochtar dalam Putusan Keliru Penundaan Pemilu (Kompas, 6/3) hanya menguraikan konsekuensi logis dan kemungkinan lainnya dari putusan PN Jakpus. Alih-alih demikian, Zainal meninggalkan diskursus tanpa jawaban dalam tulisannya itu, "Pertanyaannya, mana yang mengikat dan harus dilaksanakan?".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulisan lain atau pernyataan sikap juga tidak jauh berbeda. Mereka hanya sepakat bahwa Putusan PN Jakpus itu menyalahi kompetensi kewenangan. Fokus berpikir dan kecenderungan publik teralihkan pada isu penundaan pemilu semata. Walhasil, mereka mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan banding pada pengadilan di atasnya. Padahal, ada hal terlupakan ihwal entitas hukum bagaimana ia bekerja dalam sistem formal berdasarkan pada kompetensi legal yang diberikan. Hal inilah yang ingin saya uraikan dalam tulisan ini.
Kewenangan mengadili (attributie van rechtsmacht) lembaga pengadilan secara eksplisit dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI menyatakan sejumlah kualifikasi peradilan dengan kompetensi yang berbeda-beda; Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dijelaskan kompetensi Pengadilan Umum pada Pasal 25 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kewenangan yang dimiliki adalah mengadili, memeriksa, dan memutus perkara pidana dan perdata.
Konsekuensi logis dari adanya putusan tersebut dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku. Jelas Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara melarang adanya campur aduk kewenangan dan larangan terhadap tindakan atau putusan badan atau pejabat pemerintah yang melampaui kewenangan yang diberikan. Jika hal itu terjadi, maka dalam Pasal 19 selanjutnya dikatakan, tindakan atau putusan yang dikeluarkan tersebut dinyatakan tidak sah dengan prasyarat ada uji dan ketetapan dari peradilan yang berkekuatan hukum tetap.
Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang dikabulkan tuntutannya sebenarnya menyalahi legal formal perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan itu terdapat pada tuntutan untuk mengulang kembali tahapan pemilu oleh KPU yang secara tidak langsung menuntut adanya penundaan pemilu. Fatalnya, tuntutan yang dialamatkan kepada KPU ini ditempuh melalui peradilan umum (PN Jakpus). Alih alih PN Jakpus menolak karena berada di luar kompetensi kewenangannya, hakim yang dipimpin Tengku Oyong itu mengabulkan tuntutan itu tanpa pertimbangan hukum yang jelas.
Artinya, Partai Prima yang merasa dirugikan dalam verifikasi administrasi kepesertaan pemilu itu seharusnya mengajukan gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang secara umum kompetensinya mengadili tindakan dan putusan dari lembaga negara dalam kapasitasnya sebagai pejabat pemerintahan (ambtsdrager), atau kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang secara khusus menjadi lembaga pengawas terhadap masalah kepemiluan. Tetapi, jalur demikian sudah ditempuh dan tidak menghasilkan keberuntungan di pihak Partai Prima.
Dilema Kompetensi Absolut
Hal yang menjadi dilema hingga saat ini adalah kompetensi absolut antara PTUN dan Pengadilan Umum. Problematika itu bermula dari tindakan hukum pemerintah (rechtsandelingen) yang bisa dalam bentuk tindakan hukum publik (publiekrechttelijkehandeling) dan tindakan hukum privat (privatrechttelijkehandeling). Tindakan hukum publik terjadi ketika pemerintah memposisikan diri sebagai pejabat pemerintahan, sedangkan tindakan hukum privat adalah kapasitas pemerintah sebagai badan hukum.
Maka jelas, keputusan KPU untuk tidak meloloskan Partai Prima adalah tindakan atau putusan hukum publik KPU dalam kapasitas sebagai pejabat pemerintahan. Jelas kualifikasi tindakannya adalah tindakan hukum publik karena melibatkan kepentingan umum di dalamnya, yaitu pemilu. Maka, ketika didapati kerugian dari tindakan tersebut, pihak yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili adalah PTUN. Hal itu menjadi ketentuan umum karena kompetensi absolut ihwal tindakan pemerintah menjadi basis kewenangan dari lembaga Pengadilan TUN.
Di sisi lain, suatu gugatan yang sama bisa dilayangkan pada Pengadilan Umum jika didapati unsur melawan hukum di dalamnya (onrechmatig overheidsdaad). Artinya, pengajuan gugatan Partai Prima ke PN Jakpus bisa juga dibenarkan secara hukum jika yang dipermasalahkan adanya indikasi kuat tentang perbuatan melawan hukum. Tetapi, tuntutan yang diberikan harus mengarah pada tuntutan personal atau badan bersangkutan (khusus kepada pihak KPU). Putusan PN Jakpus yang menuntut penundaan pemilu tentu tidak dapat dibenarkan karena bukan menjadi bagian atau di luar dari pada kompetensi absolut kelembagaannya.
Saat ini, banyak hal serupa terjadi di mana perkara atau sengketa fundamentum petendi-nya bersifat administratif kenegaraan, tapi diadili di Pengadilan Umum. Dibutuhkan solusi konkret sebagai jalan keluarnya.
Dua Jalan Keluar
Ada dua solusi untuk keluar dari dilema kompetensi absolut ini. Pertama, dengan mengkompilasikan semua hal yang menyangkut tindakan pemerintah menjadi bagian integral dari kompetensi PTUN terlepas dari dua kualifikasi tindakan pemerintah itu sendiri. Solusi ini adalah bagian dari usaha kompilasi dan integralisasi kompetensi kelembagaan PTUN yang benar-benar fokus dalam mengadili tindakan pemerintahan.
Kedua, pejabat pemerintahβdalam hal ini pengadilanβharus konsisten dengan kompetensi kelembagaan yang diberikan. Kewenangan dalam hal mengadili suatu perkara tentu diberikan dalam batas-batas kompetensi yang ada. Hal itu sebagai wujud dari adanya konsep kontrol antar kelembagaan negara (trias politica) agar tetap konsisten dengan prinsip kelembagaan dan sebagai kontrol formal menghindari adanya kesewenang-wenangan.
Dua hal itu menjadi pilihan alternatif dari polemik yang ditimbulkan oleh PN Jakpus. Di samping menolak adanya putusan tersebut, solusi itu perlu dilakukan agar tumpang tindih atau dualisme kompetensi mengadili lembaga peradilan tidak terus terjadi secara berulang.
A Fahrur Rozi pegiat di Distrik HTN Institute Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Simak Video 'Sederet Memori Banding KPU Atas Putusan PN Jakpus soal Tunda Pemilu':