Insiden kebakaran yang terjadi di Terminal BBM Pertamina Plumpang pada 3 Maret lalu telah menimbulkan korban jiwa hingga mencapai 19 orang, 49 orang luka-luka, dan 579 orang mengungsi, puluhan rumah hangus terbakar. Kejadian tersebut ditengarai terjadi saat proses pengisian BBM jenis Pertamax dari Kilang RU VI Balongan ke TBBM Plumpang.
Menurut penuturan warga di lokasi kejadian ada suara keras seperti petir, disusul oleh bau bensin yang menyengat sebelum muncul kobaran api. Di sisi lain, hasil investigasi sementara yang disampaikan oleh Kapolri menunjukkan ada masalah teknis dalam pengisian BBM tersebut yang memicu terjadinya kebakaran.
Kejadian kebakaran di sektor hilir migas relatif identik dan sering terjadi berulang di beberapa titik krusial, di antaranya adanya masalah saat proses distribusi baik antar fasilitas (dari kilang ke TBBM), ataupun di internal fasilitas (di dalam kilang atau TBBM). Kejadian serupa belum lama terjadi di Kilang Pertamina RU VI Balongan dan di Kilang Pertamina RU IV Cilacap yang tejadi pada 2021 lalu, serta Kilang Pertamina RU V Balikpapan juga mengalami dua kasus kebakaran pada 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentunya, Pertamina sebagai perusahaan memegang dominasi dalam sistem distribusi migas di Indonesia memiliki penjelasan sophisticated tentang kejadian-kejadian tersebut, mulai dari faktor kendala teknis seperti tekanan berlebihan dari kompresor pendorong, human error, hingga aspek lingkungan seperti terjadinya sambaran petir. Tetapi, kembali berulangnya kejadian tersebut menunjukkan bahwa belum adanya upaya sistematis untuk melakukan pencegahan yang memadai.
Konsolidasi Infrastruktur Hilir
Pertamina menjadi satu-satunya perusahaan yang saat ini memiliki fasilitas terintegrasi di sektor hilir migas, mulai dari kepemilikan kilang, jalur pipa distribusi, terminal BBM hingga jaringan pemasaran ritel. Meski peran swasta telah dibuka luas, namun investasi di sektor ini masih relatif terbatas. Swasta relatif memilih pasar-pasar potensial terutama di kota-kota besar yang secara daya beli mampu menyerap harga keekonomian BBM yang relatif lebih tinggi dibanding harga jual Pertamina.
Hingga saat ini, meski kebijakan sektor hilir migas telah berusaha membuka persaingan pasar, tetapi Pertamina tetap diperankan sebagai faktor penjaga pasokan dan harga untuk menghindarkan gejolak kelangkaan maupun inflasi akibat kenaikan harga BBM, terutama ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia.
Dengan komposisi pasar yang lebih dari 95% masih dikuasai oleh Pertamina, konsolidasi infrastruktur di sektot hilir migas memiliki urgensitas untuk menekan biaya. Salah satu faktor biaya adalah proses distribusi. Indonesia saat masih mengalami posisi net importir BBM dengan jumlah produksi kilang hanya 729 ribu bpd yang jauh dibandingkan dengan permintaan konsumsi bbm telah mencapai 1,47 juta bpd, dengan konsumsi ritel di masyarakat diperkirakan telah mencapai 800 ribu bpd.
Kondisi demikian menjadikan pemenuhan BBM melalui dua jalur distribusi, baik dari kilang melalui pipa ataupun melalui shipping tanker, atau yang kedua, distribusi BBM jadi yang diimpor melalui proses shipping. Dalam konteks distribusi, penggunaan jalur pipa sangat mendukung efisiensi biaya dan waktu dibandingkan dengan dengan pengiriman melalui jalur laut ataupun darat (kereta api tangki).
Hingga saat ini setidaknya ada tiga jalur utama distribusi pipa BBM di areal jawa dari Balongan ke Cikampek dan Plumpang, serta dari kilang Cilacap ke Tasikmalaya-Bandung dan Cilacap ke Rewulu, Kulon Progo. Aliran distribusi BBM dari kilang Balongan ke TBBM Plumpang paling deras dengan kapasitas diperkirakan 500-600 kilo liter per jam.
Dengan efektivitasnya, tidak mungkin Pertamina menghindari proses distribusi melalui pipa. Sebaliknya, di masa depan seiring dengan semakin tingginya permintaan pasar, jalur distribusi BBM berbasis pipa akan terus dikembangkan untuk dapat menekan biaya baik jalur kilang ke TBBM ataupun dimungkinkan jalur antar TBBM dari induk di pelabuhan menuju titik distribusi penghubung yang jauh dari pelabuhan.
Meningkatnya Risiko
Efisiensi biaya distribusi berbasis pipa berbanding lurus dengan meningkatnya risiko; risiko meluas tidak hanya di sekitar titik infrastruktur kilang dan TBBM, tetapi juga di sepanjang jalur pipa distribusi. Meski pipa-pipa ini biasanya diletakkan di wilayah aman jauh dari penduduk semisal di dekat jalan tol dan jalur kereta, serta lahan-lahan yang dibebaskan, tetapi juga berisiko atas gangguan baik faktor kesengajaan, faktor teknis ataupun faktor geologis, misalnya gempa.
Kejadian kebakaran pada 2014 yang ditengarai akibat illegal tapping juga pernah terjadi di Subang. Begitu juga kebocoran teknis saat uji coba jalur pipa Cilacap-Bandung pada 2022 lalu. Kebocoran BBM sangat berisiko tinggi selain mudah terbakar juga berpotensi menimbulkan dampak sistemik pada cemaran tanah dan air tanah yang berpotensi mengganggu ekosistem sekitar.
Tingginya risiko di industri hulu migas tentunya perlu menjadi kesadaran kolektif para pemangku kepentingan. Pertamina telah berusaha menunjukkan komitmennya yang tinggi dalam menangani korban pasca kejadian, tetapi sebagai sektor bisnis tidak dapat berdiri sendiri memikulnya.
Perlu peran partisipatif dari pemerintah pusat dan daerah dan juga masyarakat untuk bersama-sama memainkan peran mitigasi untuk menghindarkan insiden, atau setidaknya meminimalisasi korban saat terjadi insiden. Peran para stakeholder dapat dijalankan ketika pihak perusahaan secara terbuka memberikan informasi kepada publik secara memadai tentang risiko operasi bisnisnya dan contigency plan dalam mengatasi kondisi darurat apabila terjadi kecelakaan.
Berdampak ke Masyarakat
Pemahaman tentang risiko akan menciptakan komitmen bersama untuk membentuk kerangka kerja bersama untuk mengatasi situasi darurat yang berpotensi terjadi dalam proses bisnis di industri migas hilir. Pengalaman dari tragedi TBBM Plumpang cukup unik; kejadian ini justru berdampak ke arah masyarakat ketimbang ke internal fasilitas perusahaan.
Ada dua penyebab utama; pertama, ada masalah serius tentang penggunaan lahan di sekitar TBBM; wilayah tanah merah yang ditetapkan menjadi buffer zone justru menjadi pemukiman padat penduduk. Isu agraria tentang status kepemilikan tanah menjadi perdebatan krusial di tingkat pengambil kebijakan, opsi relokasi warga dari sekitar plumpang atau sebaliknya relokasi TBBM menjadi dua pilihan kebijakan yang harus segera diputuskan dengan bijak dan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat.
Keberadaan buffer zone menjadi aspek vital di mana kebakaran dengan tingkat yang lebih besar di internal kilang meski menimbulkan kecemasan masyarakat dan juga adanya gelombang pengungsian, tetapi berhasil menghindari banyaknya korban jiwa dan harta. Pembiaran masalah agraria yang menyangkut keselamatan jiwa manusia menjadi bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu dan berpotensi berulang.
Kedua, tidak adanya sinyal early warning system di masyarakat menunjukkan bahwa perusahaan masih abai mengantisipasi risiko kejadian di masyarakat dan cenderung hanya berorientasi pada standar legal yang ekslusif. Keberadaan EWS sangat penting untuk meminimalisasi korban, termasuk rencana contigency dalam keadaan darurat, untuk menentukan titik aman, jalur evakuasi, dan teknik penyelamatan dini sedianya dapat meminimalkan kepanikan berlebihan yang menyebabkan korban jiwa dan luka yang signifikan.
Dengan adanya EWS di internal perusahaan, terbukti mampu mengantisipasi perluasan titik api yang tidak menyambar tangki penampungan lainnya yang lebih besar. Alarm bahaya menjadi sinyal bagi petugas-petugas internal untuk mengaktifkan sistem pencegahan mulai dari penyiram air, pendinginan areal, hingga berbagai langkah pengendalian lainnya. Secara teknis, industri-industri berisiko tinggi telah memiliki berbagai standar Health, Safety and Environment (HSE) yang komprehensif untuk memitigasi serta mengatasi insiden kecelaakaan industrial.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 9LHK), melalui program PROPER sejak 2021 telah memberikan guidance kepada pelaku industri untuk secara volunteery memasukan analisis risiko kebencanaan yang tidak hanya menyangkut keselamatan internal industri semata, tetapi juga melibatkan masyarakat. Meski demikian, aspek kebencanaan dalam Permen LHK No. 1 /2021 tersebut masih menjadi aspek tambahan yang bersifat beyond complience, bukan prasyarat yang wajib dipenuhi untuk standar operasi perusahaan.
Insiden kebakaran di TBBM Pelumpang menunjukkan relevansi untuk memasukkan analisis risiko industrial dan kewajiban menyiapkan mitigasi dan rencana contegency baik di internal maupun di masyarakat terdampak untuk menjadi aspek tambahan dalam penyusunan AMDAL bagi industri-industri berisiko tinggi terutama di sektor migas dan petrokimia.
Pelajaran dari kejadian tersebut kiranya menjadi ruang reflektif baik bagi Pertamina untuk menurunkan tingkat risiko kebakaran di sektor hilir, utamanya terkait standar maintainance dan monitoring terhadap seluruh komponen vital. Di sisi lain, bagi pemerintah perlu untuk segera mendorong industri yang adaptif dan responsif terhadap situasi darurat, terlebih sebagian besar wilayah Indonesia juga memiliki risiko laten kebencanaan terutama yang bersifat geologis --gempa dan tsunami yang sangat berisiko terhadap ketahanan struktur fisik industri.
Hafidz Arfandi peneliti bisnis berkelanjutan Sustainability Learning Center