Politik Kewarganegaraan Pemilu 2024
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Politik Kewarganegaraan Pemilu 2024

Senin, 27 Mar 2023 13:00 WIB
Ferhadz Ammar Muhammad
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Pilpres
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Identitas kewarganegaraan tidak hanya bergantung pada status hukum, tetapi pada dasarnya juga membicarakan tentang akses ke sumber daya sosial dan ekonomi. (Gabriel de la Paz).

Sebuah artikel berjudul Citizenship Identity and Social Inequality saya bawa masuk ke pertemuan pertama kelas Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), alih-alih membawa naskah ketentuan hukum yang biasanya dijadikan bahasan normatif mata kuliah PKn. Alasannya sederhana, pada suatu kesempatan saat berada di bangku S2 Universitas Airlangga, saya mendapati satu buku tentang kewarganegaraan yang diulas sedemikian kritis oleh Berenschot dan Van Klinken, dua nama populer di kalangan akademisi ilmu politik.

Dalam Citizenship in Indonesia yang disunting oleh keduanya, terpampang kalimat, "Topik kewarganegaraan hanya dibahas dalam buku pelajaran sekolah menengah tentang kewarganegaraan yang membosankan." Sejak itulah saya meyakini perbincangan tentang kewarganegaraan tidak hanya memuat konsep yang telah lama dipropagandakan Orde Baru, bahwa hubungan pemerintah dengan rakyatnya seperti ayah dan anak (Shiraishi, 1997). Lebih dari itu, kewarganegaraan menyediakan seperangkat teori yang bisa menjadi kaca pembesar untuk mengkaji perubahan yang ditimbulkan oleh demokratisasi di Indonesia.

Mengenai hal itu, Berenschot dan Van Klinken (2019) meyakini bahwa disiplin kewarganegaraan jauh lebih menonjol dibanding bahasan lain dalam ilmu politik. Sebagai bukti saat mengamati "kekuatan uang" sepanjang perhelatan politik elektoral, ilmuwan politik melulu berfokus pada tidak terinstitusionalnya partai politik, demokrasi patronase yang semakin kompleks, dan perilaku elite yang egois. Padahal demokrasi tercipta bukan dari notion (gagasan) "dari atas", melainkan "dari bawah" yang tercermin dalam teori kontrak sosial.

Mudahnya, bila demokrasi dianggap telah berjalan baik, hal itu terjadi karena warga negara sudah bisa mengoperasikan hak dan kewajibannya dalam sebuah negara, bukan semata berkat usaha elite politik dalam mengefektifkan lembaga negara. Sebaliknya, bila demokrasi dinilai mandek, berarti partisipasi warga negara belum maksimal dalam proses demokratisasi. Pandangan yang menyegarkan tersebut menjadikan Bollen (1980) tak ragu menegaskan bahwa demokrasi telah secara akurat didefinisikan sebagai sejauh mana kekuatan elite politik diminimalkan dan non-elite dimaksimalkan.

Oleh karena itu, demokrasi --termasuk pemilu sebagai salah satu tiangnya-- yang menekankan budaya partisipasi warga negara kini tidak bisa dianggap berhasil hanya dengan menyodorkan bukti-bukti makro, seperti pembangunan dan kesuksesan menghelat pesta lima tahunan. Namun indikator keberhasilan demokrasi diketahui dari jawaban atas pertanyaan: apakah hubungan antara warga negara dengan pemerintah berjalan tidak hanya baik, tetapi juga memuaskan.

Kepuasan ini sangat penting, karena kewarganegaraan memungkinkan orang dapat memahami alasan di balik segala macam perjuangan atas hak warga negara, baik lingkungan, kepemilikan atas properti, identitas, seksual, ekonomi, budaya, lebih-lebih politik.

Identitas dan Integrasi

Sejak bergulirnya proses Pemilu 2024 yang dimulai pada 14 Juni 2022 lalu, spektakel isu kewarganegaraan kerap muncul di tiap pemberitaan. Coba buka saluran televisi, media sosial, dan cetak mana pun, pembaca akan menemukan perbincangan soal pembatasan hak bersuara oleh warga negara dalam agenda pembuatan kebijakan oleh DPR-Pemerintah, penundaan pemilu yang oleh Komnas HAM dianggap melanggar hak konstitusi, kasus Rafael Alun dan anaknya yang menggambarkan elite politik kaya raya, pro-kontra mengenai komentar Wali Kota Medan tentang LGBT, konflik warga Konawe Selatan akibat mata air, sampai konflik mencekam di Papua.

Semua itu adalah bahasan kewarganegaraan yang tanpa disadari mengancam identitas dan integrasi nasional. Soal identitas dan integrasi nasional ini juga perlu mengalami penyegaran definisi. Identitas nasional tidak berhenti pada patriotisme, nasionalisme, dan lambang-lambang negara. Pun integrasi tidak hanya berkutat pada pandangan order atau keteraturan semata, yakni cukup dari Sabang sampai Merauke masih masuk wilayah Indonesia. Pemahaman yang paradoks tersebut tidak akan pernah bisa menjawab masalah kini dan masa lalu, seperti konflik atau kekerasan komunal di era Orde Baru sampai berbagai contoh yang saya sebutkan di atas.

Identitas nasional, menurut Heywood (1994), selalu berkutat pada dua dimensi, yakni objektif dan subjektif. Identitas yang subjektif jauh lebih kompleks dan menyulitkan untuk dipahami, karena berkaitan dengan rasa setia (sense of loyalty) dan rasa memiliki (sense of belonging). Kelakar di media sosial, seperti "pindah ke luar negeri" atau "pindah ke Mars" tidak akan pernah muncul andai semua warga negara merasa memiliki "identitas kewarganegaraan komprehensif", bukan parsial.

Dalam disiplin wacana kewarganegaraan yang kritis, dua kalimat yang seolah terlihat lucu tersebut justru merupakan kulminasi kejenuhan warga negara saat melihat kondisi Indonesia. Bila identitas terjebak pada tataran objektif, sebatas lambang dan simbol serta nasionalisme, maka kita akan kesulitan memahami fenomena 'mengapa penyelenggara pemilu sibuk mengantisipasi golput'. Toh warga negara yang memiliki identitas nasional sudah barang tentu memberikan suaranya saat pemungutan suara, sebagai bentuk kepedulian terhadap negara.

Penyangsian seperti itulah yang saya maksud bahwa masalah kewarganegaraan, sadar atau tidak, belum benar-benar terselesaikan. Demikian halnya integrasi nasional, ia bukan hanya catatan normatif kependudukan dan kewilayahan, melainkan integrasi --menurut Christian Drake dalam National Integration in Indonesia: Patterns and Policies (1989)-- berarti pembagian kekuasaan, perwakilan yang adil dan partisipasi oleh orang-orang dari setiap bagian negara dalam setiap aspek kehidupan nasional dan pemerintahan. Definisi ini memungkinkan kita dapat mengerti, kenapa Gus Dur sampai sekarang masih dipuja oleh orang Papua tanpa terkecuali, sementara kini kekerasan di sana makin menjadi-jadi.

Beruntung, kajian ilmu politik lewat konsep redistribusi dan rekognisi memberikan pedoman subtil dalam mengurai politik kewarganegaraan yang yang intinya menyasar hak atas keadilan, yang kini sedang gencar menyeruak ke muka. Misalnya Isin dan Turner (2003) lalu Nancy Fraser (1995) --dengan tambahan representasi-- menyebut bahwa keadilan hanya dapat tercipta apabila warga negara mendapat pengakuan atas hak mereka, penjaminan akses terhadap sumber daya, serta mampu merepresentasikan dirinya dalam suatu kelompok.

Pemilu 2024 bertugas menghadirkan redistribusi dan rekognisi kepada warga negara tanpa terkecuali. Seluruh pihak terkait sudah barang tentu berusaha membangun kepercayaan warga negara bahwa Pemilu 2024 merupakan ajang demokrasi yang bakal menghasilkan keadilan bagi warga negara. Untuk mencapai target itu, politik kewarganegaraan --seperti bahasan AS Hikam-- oleh karenanya penting untuk mulai diperbincangkan banyak pihak yang terlibat dalam politik elektoral 2024.

Kajian soal kebijakan yang menyasar kepentingan warga negara, seperti demografi, disabilitas, kelompok marjinal, kelompok keagamaan dan kesukuan, aktivis lingkungan, dan lain sebagainya menjadi isu yang vital disamping bahasan tentang pelaksanaan pemilihan umum yang prosedural.

Ferhadz Ammar Muhammad peneliti La Societe Institute, dosen Kewarganegaraan STAI Al-Anwar Rembang

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads