Judul Buku: Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab; Penulis: Haidar Bagir; Penerbit: Mizan, Oktober 2022; Tebal: 204 halaman.
Pernah suatu kali saya membagikan ulasan tentang buku spiritualisme Islam yang laris manis di pasaran. Buku ini hampir selalu muncul dalam percakapan para bookish Twitter. Jika ada yang meminta rekomendasi buku Islam populer, judul buku ini hampir pasti disodorkan. Ketika membagikan ulasan itu, ada beberapa orang yang merasa tak pas dengan buku ini.
Tentu ini hal yang wajar, apalagi saya tahu bahwa buku ini memang sempat menjadi cukup kontroversial karena ada ulasan yang menyebut penulis buku ini punya kecenderungan Syiah. Saya maklum, karena perbedaan dalam penilaian adalah keniscayaan.
Namun, mendadak di bawah cuitan saya, muncul akun-akun aneh yang nadanya agak galak. Ya, seperti bisa diduga, ujaran kebencian dan tudingan Syiah itu muncul. Saya dianggap ngawur karena mengapresiasi buku ini. Dan beberapa di antara mereka adalah anak-anak muda pegiat buku.
Dari sini saya pikir, ternyata narasi pengkutuban Sunni-Syiah lengkap dengan pengkafirannya itu masih berseliweran di Twitter. Padahal di generasi ini-milenial dan gen Z--mestinya sudah bisa memutus segala bentuk syak-wasangka berbau sektarian yang sudah hidup berabad-abad lamanya.
Maka, saya sangat bersyukur ketika Haidar Bagir masih mau menyempatkan dirinya untuk menulis buku risalah sederhana 'Inilah Mazhabku: Mazhab di Atas Mazhab'. Dalam pengantarnya, Haidar Bagir mengatakan bahwa ia selama ini kerap dianggap sebagai 'pentolan Syiah' di Indonesia, meskipun ia tak pernah merasa terikat dengan salah satu mazhab. Oleh karena itu, melalui buku ini ia merasa perlu untuk angkat suara soal masalah pertikaian mazhab yang usianya sudah hampir setua agama Islam.
Seperti cirikhas tulisan-tulisannya, Haidar Bagir memulai buku ini dengan mengajak kita untuk kembali merenungkan makna dari tujuan beragama itu sendiri. Karena jika merujuk pada makna literal istilah 'mazhab' dalam bahasa Arab, artinya adalah jalan. Jika mazhab adalah jalan, maka pada akhirnya, tujuan dari agama Islam adalah untuk keselamatan. Bukan yang lain, apalagi memusuhi yang lain.
Sayangnya, akibat residu politik konflik di masa lalu, umat Islam tercerai-berai dalam perbedaan dan fanatisme. Ia sama sekali tak menafikan perbedaan itu. Baginya, menengok sejarah itu perlu sebagai pelajaran, tetapi tak harus sampai menjadikan suatu kelompok menjadi yang paling benar. "Kalaupun kita harus menengok sejarah, marilah ia kita jadikan bahan pelajaran, yang kita ambil dengan penuh kebijaksanaan, bukan dengan semangat mengunggulkan atau membenar-benarkan diri," tulisnya.
**
Lantas, apakah yang terbentang antara Sunni dan Syiah hanyalah jurang perbedaan yang begitu tajam? Ternyata tidak. Ada titik temu antara Sunni dan Syiah yang kerap diabaikan: tasawuf (sufisme). Kedua mazhab besar ini memiliki posisi dalam sufisme. Bahkan, keduanya saling melengkapi.
Misalnya, sufi besar Jalaluddin Rumi sering dianggap Syiah, padahal ia adalah Sunni. Hanya saja Rumi adalah tokoh sufi pembentuk tasawuf Syiah. Hal-hal semacam inilah yang luput dari perhatian sehingga kita pun dihantui prasangka.
Hal menarik lainnya dari buku ini adalah ketika Haidar Bagir juga melampirkan bab yang menjelaskan berbagai macam spektrum sub-sub mazhab di luar mainstream Syiah-Sunni. Dari mulai Salafi, Wahabi Rafidhi, Ismaili, Alawi, Ghulat dan lain sebagainya. Penjelasan ini sekaligus menjernihkan pandangan yang penuh prasangka pada beberapa mazhab. Kita akan tahu bahwa ada beberapa pandangan kita yang keliru terhadap beberapa mazhab.
Tak hanya itu, di akhir juga dilampirkan Risalah Amman yang digagas demi menyerukan toleransi dan persatuan dalam dunia Islam. Risalah ini diteken oleh para tokoh ulama dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Risalah Amman merupakan bukti bahwa persatuan Islam merupakan cita-cita umat seluruh dunia. Jadi agaknya perbedaan dalam mazhab tak harus memecah belah.
Membaca buku risalah pendek ini membuat kita untuk berhenti terjebak dalam kecurigaan yang bisa memecah belah. Akhirnya, kita pun beragama Islam melampaui sekte-sekte. Saya kira, sumbangan kecil Haidar Bagir ini bisa menuntun umat Islam untuk kembali ke tujuan awal dalam berislam: keselamatan.
(rdp/rdp)