LHKPN dan Mandulnya Pengawasan Inspektorat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

LHKPN dan Mandulnya Pengawasan Inspektorat

Senin, 20 Mar 2023 13:06 WIB
Agunghermansyah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta -
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) para pejabat negara tengah mendapat sorotan tajam dari publik. Dari hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui bahwa 134 pegawai pajak ditengarai memiliki saham di 280 perusahaan dengan kepemilikan atas nama istri. Sedangkan temuan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebanyak 69 pegawai Kementerian Keuangan tidak melaporkan harta kekayaannya secara lengkap dan tak sesuai fakta.

Temuan KPK dan Inspektorat terkait LHKPN yang bermasalah tersebut merupakan puncak gunung es. Sebagai penyelenggara negara, tindak tanduk pejabat negara harusnya mesti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (asas rechtmatighed), termasuk validitas data dan kebenaran laporan kekayaannya. LHKPN yang tidak lengkap (atau bahkan tidak sesuai fakta) bagaikan duri dalam daging pada tubuh administrasi pemerintahan, penuh tipu muslihat.

Sungguh memilukan sekali LHKPN pejabat negara tidak menjunjung tinggi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi pemerintahan. Hal ini terbukti dari temuan KPK pada 2021 yang menyebutkan 95% penyelenggara negara tidak menyampaikan LHKPN dengan baik dan benar, serta diketahui pelaporan LHKPN tersebut secara mayoritas tidak akurat.

Selain itu, KPK juga menyampaikan terjadinya penurunan tingkat kepatuhan LHKPN bidang legislatif di tingkat pusat sebesar 19% dari yang semula 74% kini hanya mencapai 55%. Ketidakpatuhan tersebut membuktikan adanya ketidakpedulian dan ketidakjujuran para pejabat negara terhadap kewajiban complience untuk melaporkan harta kekayaan sebagaimana diamanatkan oleh UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Mandulnya Pengawasan Internal


Sungguh sangat disayangkan sekali temuan dan evaluasi oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan terkait LHKPN pegawai pajak baru bisa terkuak pasca viralnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat di Direktorat Jenderal Pajak. Andai kasus penganiayaan oleh anak pejabat Dirjen Pajak tidak pernah terjadi, tentunya persoalan dan isu-isu terkait LHKPN pegawai pajak dan kementerian keuangan lainnya yang bermasalah tidak akan pernah mengudara dan hanya akan mengendap di instansi tersebut.

Padahal, berdasarkan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo Peraturan Menteri Keuangan No.75 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Keuangan No.18 Tahun 2022, harusnya Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan adalah pihak pertama yang paling terdepan mengetahui jika terjadi penyimpangan di instansi itu sendiri. Hal ini mengingat Inspektorat memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan internal ''sebagai mata dan telinga'' pada instansinya.

Temuan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan terkait LHKPN Pegawai Pajak dan Kementerian Keuangan itu membuktikan tidak berjalannya fungsi pengawasan tersebut. Bahkan, kritik atas mandulnya pengawasan internal oleh Inspektorat sudah lama terjadi. Mirisnya, Inspektorat pernah mendapat sorotan tajam ketika oknum Inspektorat Jenderal di Kementerian Desa terjaring OTT KPK pada akhir 2017. Bukannya menjalankan amanah, oknum Inspektorat justru berusaha menutupi kebobrokan institusinya dengan menyuap oknum BPK agar Kementerian Desa mendapatkan opini WTP.

Richo Andi Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Sisi Gelap dan Terang Inspektorat (2/4/2019) menjelaskan kritik terhadap Inspektorat biasanya terletak pada situasi tidak independennya lembaga ini. Sebagai bawahan pimpinan badan publik, Inspektorat kerap sungkan jika harus berseberangan dengan atasan atau pimpinan instansinya. Kalaupun berani, laporan Inspektorat ke atasan atau pimpinan akan banyak yang "masuk laci", dan kemudian pegawai Inspektorat tersebut dimutasikan ke tempat yang lebih "minus".

Lebih lanjut, Richo Andi Wibowo menerangkan bahwa buram-cerahnya performa Inspektorat amat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan badan publik untuk mendayagunakan mereka. Masyarakat tidak dapat banyak berharap dengan Inspektorat apabila pimpinan badan publiknya tidak committed. Sebaliknya, jika pimpinan badan publik memiliki komitmen, Inspektorat seharusnya dapat didayagunakan dengan baik. Hal ini sebanding dengan karakter pengawasan Inspektorat yang bukan untuk menghukum, melainkan memberi masukan.

Perbuatan Curang


LHKPN yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya termasuk ke dalam perbuatan curang. Bahkan menurut Romli Atmasasmita (9/03/23), tingkat kepatuhan terhadap UU Nomor 28 Tahun 1999 yang rendah merupakan embrio dan sumber dari timbulnya perbuatan korupsi di masa yang akan datang. Ketidakjujuran (baca:kebobongan) dalam melaporkan harta kekayaan hanya akan mengantarkan kepada kebohongan selanjutnya. Hingga sampai pada saatnya kebohongan itu sendiri yang akan menerkamnya (baca: tuntutan hukum).

LHKPN yang tidak sesuai fakta termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum dalam bentuk tipu muslihat secara sengaja dan dapat dijerat dengan ketentuan pidana. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.75/2020 dan Peraturan Menteri Keuangan No.18/2022, Inspektorat dapat melimpahkan jika ada unsur pidana dalam LHKPN tersebut kepada Aparat Penegak Hukum. Apabila ada sangkut pautnya dengan keuangan negara, maka dapat dijerat dengan UU Tipikor dan terhadap hasil kekayaan yang diperoleh tersebut dapat dikenakan ketentuan UU Pencucian Uang dan dirampas untuk negara, bahkan dimiskinkan.

Jadi, jangan ada nanti pejabat-pejabat negara yang merasa dikriminalisasi, sedangkan untuk hal yang paling sederhana terkait LHKPN saja kalian tidak mau jujur dalam pengisiannya. Sesungguhnya ketika para pejabat negara tidak jujur dalam pengisian LHKPN-nya, maka secara hukum tanpa ia sadari pada saat itu juga ia telah melepaskan haknya (rechtsverwerking) terkait penyelesaian secara administrasi apabila terdapat trouble pada LHKPN-nya dan membuka pintu untuk dilakukan penyelesaian secara pidana (penalisasi) terhadap LHKPN-nya tersebut.

Agung Hermansyah
dan Nandy Rahman advokat, konsultan, dan peneliti hukum pada Law Office Rahman Agung Attorney at Law (RA Law Office) di Jakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads