Bahkan dalam beberapa waktu terakhir topik tersebut bergulir bak bola panas layaknya pandemi yang menginfeksi mental health para ASN di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kondisi menjadi kurang kondusif sehingga mempengaruhi kinerja organisasi. Dilema pun menghantui pegawai di institusi yang selama ini telah menghimpun penerimaan negara dengan porsi lebih dari 70% di setiap tahunnya.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa ternyata masih ada ASN dan penyelenggara negara yang memiliki kekayaan yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan profilnya. Namun, jika mengadopsi azas praduga tak bersalah, anggapan ketidakwajaran tersebut tidak bisa serta merta menjadi sebuah stigma sebelum dimintakan klarifikasi dan bukti kepada yang bersangkutan. Hal ini perlu dipertegas dan diperjelas karena faktanya, kasus harta fantastis, kasus rekening gendut, dan kasus sejenis lainnya tersebut bukan baru kali ini terjadi. Tidak hanya berasal dari pegawai pajak saja, tetapi juga dari ASN dan penyelenggara negara dari institusi pemerintah lainnya.
Cerita tentang kekayaan pejabat yang melewati batas wajar tersebut sebenarnya sudah lama menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat luas. Mungkin inilah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menyusun sebuah kebijakan strategis, sekaligus mempertegas regulasi yang sudah ada agar penerapannya dapat dilakukan dengan bijak. Karena bukannya tidak mungkin kasus seperti itu akan terulang kembali di masa-masa yang akan datang terhadap siapapun dan dari institusi mana pun.
Pemerintah harus memperluas kewajiban pelaporan LHKPN sampai ke level staf bagi seluruh pegawai di instansi pemerintah pusat dan daerah, TNI, Polri, lembaga legislatif dan yudikatif serta ke semua karyawan BUMN/BUMD. Memberdayakan pengawas internal di masing-masing institusi secara masif untuk mengklasifikasi LHKPN yang wajar dan yang tidak wajar, kemudian mengeskalasi ke penegak hukum atas LHKPN dengan kriteria tidak wajar tersebut untuk dilakukan pemeriksaan.
Jika ternyata ada harta yang tidak bisa dijelaskan dan dibuktikan asal usulnya namun tidak ditemukan unsur tindak pidananya, maka atas harta tersebut dapat langsung disita oleh negara. Metode seperti hukum pembuktian terbalik ini diyakini akan lebih efektif dan efisien untuk diterapkan di Indonesia, namun dengan meniadakan sanksi pidananya jika hal tersebut terjadi untuk yang pertama kali agar terhindar dari intervensi dan permainan politik pihak-pihak tertentu.
Sedangkan di sektor perpajakan yang tengah menjadi sorotan masyarakat, pemerintah melalui Kementerian Keuangan seyogianya dapat menjadikan kejadian tersebut sebagai momentum untuk melakukan revolusi perpajakan. Selain efisiensi dan bersih-bersih SDM yang salah satunya melalui filterisasi harta kekayaan yang tidak wajar, pemerintah juga perlu melakukan revisi terhadap sistem dan regulasi perpajakan yang dinilai berpotensi sebagai pemantik munculnya korupsi maupun kolusi, setidaknya terhadap beberapa hal berikut ini:
Administrasi perpajakan
Sudah saatnya urusan perpajakan itu dibuat semudah dan sepraktis mungkin. Mengingat masyarakat sudah dibebani dengan kewajiban untuk membayar pajak, seharusnya beban administratif dapat diminimalisasi, termasuk meminimalisasi atau bahkan menghapus semua jenis sanksi administrasi. Gagasan memfinalkan seluruh objek PPh bagi wajib pajak Orang Pribadi merupakan salah satu contoh regulasi yang dapat diterapkan dalam rangka memberikan kemudahan administratif bagi wajib pajak.
Wajib pajak Orang Pribadi tidak lagi dipusingkan dengan pajak yang masih kurang bayar pada saat pelaporan SPT Tahunan, dan pihak pemberi kerja yang melakukan pemotongan pajak juga tidak direpotkan lagi dengan perhitungan-perhitungan yang pelik, serta tugas pegawai pajak dalam mengawasi wajib pajak orang pribadi pun tentu akan menjadi lebih ringan. Perlu diingat bahwasanya birokrasi yang rumit tidak hanya dapat menimbulkan potensi korupsi maupun kolusi, tetapi juga dapat merusak image institusi pemerintah di mata masyarakat.
Tarif pajak
Jika membandingkan tarif pajak kita dengan negara tetangga mungkin besarannya sudah cukup kompetitif. Tapi apakah sebelum menetapkan tarif pajak pemerintah sudah mempertimbangkan faktor kultur sosial masyarakat dan "kultur" dalam menjalankan usaha di Indonesia?
Selama tarif pajak masih dianggap tinggi oleh masyarakat, selama itu pula level potensi ketidakpatuhan masyarakat terhadap pajak akan tinggi, dan selama itu pula potensi munculnya itikad untuk bertindak inkonstitusional yang akan merugikan keuangan negara menjadi tinggi. Oleh karena itu, butuh elaborasi dengan seluruh stakeholder dalam merumuskan besaran tarif pajak yang ideal tersebut, termasuk dengan melibatkan masyarakat wajib pajak secara aktif.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Secara administratif ataupun regulatif, urusan PPN adalah urusan pajak yang paling kompleks. Selain teknis pelaksanaan kewajiban perpajakannya yang cukup pelik, potensi penyelewengan terkait PPN ini dinilai juga lebih besar. Bahkan mayoritas kasus perpajakan yang berujung pada terjadinya patgulipat antara wajib pajak dengan petugas pajak didominasi oleh permasalahan PPN.
Mulai dari tahap pengawasan, pemeriksaan (restitusi), proses penagihan, keberatan hingga banding di Pengadilan Pajak adalah titik-titik rawannya. Maka dari itu, dipandang perlu untuk melakukan kajian komprehensif perihal penggantian PPN menjadi pajak yang bersifat final seperti Pajak Penjualan atau Pajak Komersial, tentunya dengan tarif yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tarif PPN agar tidak mempengaruhi harga pada konsumen akhir.
Besar harapan agar konsep pemikiran sebagaimana yang dipaparkan di atas dapat diimplementasikan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini, atau oleh siapapun yang akan memerintah pada 2024 nanti. Karena, dengan me-redesign tiga hal tersebut di atas saja, perpajakan Indonesia diyakini akan semakin kuat dalam menopang penerimaan negara. Terlebih dengan adanya kombinasi antara SDM yang kredibel dan regulasi yang ideal dengan melibatkan masyarakat wajib pajak secara aktif, dipastikan akan dapat mengembalikan marwah Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dalam mengemban tugas menghimpun penerimaan negara.
(mmu/mmu)