Judul Buku: Nyanyi Sunyi; Penulis: Uly Siregar; Penerbit: Cantrik Pustaka, 2023; Tebal: 169 halaman
Buku ini menarik perhatian saya pertama kali karena penulisnya, Uly Siregar adalah seorang "selebtwit" yang cukup populer di jagad media sosial. Suaranya lantang, mengomentari nyaris isu apapun, tak jarang memicu kontroversi, dan kehadirannya kerap tak bisa ditolak. Artinya, walaupun saya tidak follow dia, tapi beberapa kali "terpapar" oleh komentar-komentarnya. Dia memang punya segalanya untuk mudah mencuri perhatian di lini masa --simak bio-nya: writer, essayist, ex journo, Indonesian immigrant in USA.
Yang terakhir itu saja sudah cukup menjelaskan semuanya, kenapa ia "menarik" bagi netizen. Tapi, itu pun belum semuanya; tambahan "3 academic degree" seolah menyempurnakan "otoritas" setiap pendapat-pendapatnya mengenai berbagai isu yang sedang viral di media sosial. Dan, dengan sub judul "Catatan Personal tentang Cinta, Keluarga, dan Romantika Hidup di Amerika", buku ini menjanjikan apapun yang ingin didapatkan oleh pembaca dari sebuah buku. Gambar bra merah menggantung di ujung jemari pada sampul buku akan menambah rasa penasaran tentang isi bukunya.
Ada 19 "catatan personal" yang dihimpun dalam buku ini, dibagi ke dalam dua bagian yang merujuk pada kronologi waktu, yakni masa kehidupan sang penulis sebelum dan setelah pindah ke Amerika. Namun, sebelum masuk ke catatan-catatan tersebut, kita dihadang oleh semacam pengantar dari penulis yang menjelaskan mengenai buku ini. This book is long overdue. Demikian kalau diringkas, seperti dinyatakan sendiri oleh Uly. Bertahun-tahun hanya tersimpan di komputer, nyaris dilupakan.
Tadinya direncanakan dalam bentuk buku memoar penuh menyerupai novel, akhirnya menjadi kumpulan esei personal yang di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media. Sesuai judulnya, tema yang menyatukan tulisan-tulisan dalam buku ini adalah kehidupan yang berkaitan dengan Amerika. Pengalaman menjalani kehidupan di luar negeri, dengan segara perbedaan dan benturan budaya, memang selalu menarik untuk diceritakan. Perasaan terisolasi, sunyi, dan berbagai kerumitan lainnya. Tapi, apa yang baru?
Seandainya tulisan-tulisan dalam buku ini hanya tentang "itu", mungkin saya akan segera menutup dan meletakkannya kembali di antara tumpukan buku-buku lain yang sudah maupun belum terbaca. Tapi, harus diakui, buku ini memang menarik sejak awalnya. Lupakan bagian "pengantar" tadi, yang kadang terdengar heroik, penuh klarifikasi, dan tak jarang terkesan "apologis". (Aku begitu berani ketika menuliskan ceritaku; semua amat sangat gamblang: kejujuran --kejujuran yang brutal-- adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh).
Bagi saya, pada zaman ketika "personalitas" mendapat tempat yang begitu terbuka di ruang-ruang digital, keberanian dan kejujuran menjadi tidak bisa lebih menarik lagi. Saya justru lebih terkesan dengan kisah apel merah di tulisan yang mengawali bagian pertama buku ini. Bagaimana Uly menggunakan metafora apel merah ---mpor dari Amerika-- sebagai "barang mewah" di tengah-tengah keluarganya di Palembang pada 1980-an ketika ia masih kecil untuk mengantarkan kisah hidupnya hingga menemukan "my ticket to the land of the Red Delicious apple".
Tulisan sepanjang 8 halaman berjudul Kisah Si Apel Merah yang ditaruh di awal buku ini seolah meringkas seluruh perjalanan hidup Uly yang ingin disampaikan dalam buku ini. Tulisan-tulisan selanjutnya adalah detail-detail berikutnya yang akan memperjelas siapa dia, dan mengapa seolah-olah "mengharuskan" dirinya untuk mengungkapkan kisah hidupnya --atau dalam bahasanya sendiri "menguliti diri sendiri". Kendati sejak awal tidak diniatkan sebagai memoar yang utuh, tapi tulisan-tulisan dalam buku ini disusun dengan runtut, mengalir, dan enak diikuti.
Tentu saja, karena pada dasarnya ini adalah kumpulan tulisan, kadang terasa adanya pengulangan informasi, atau perbedaan "rasa" antara satu tulisan dengan tulisan lainnya --ada yang terasa seperti kisah rahasia yang dituturkan teman dekat, ada yang tiba-tiba seperti sebuah reportase (Bisnis Orgasme di Amerika) atau bahkan opini (Suka Duka Merawat Cinta). Bagaimanapun, Uly adalah mantan wartawan. Ini menjadi kelebihan sekaligus "kekurangan".
Yang jelas, kita bisa membaca buku ini dengan memulainya dari mana saja, tanpa harus urut. Ketika melihat daftar isi, misalnya, saya malah langsung tertarik dengan tulisan berjudul Selama Aku Tinggal di Rumah Sastrawan Peraih Nobel. Pembaca lain boleh jadi akan langsung menuju halaman 109, pada tulisan berjudul Amerika, Payudaraku Berterima Kasih Padamu. Tulisan ini mungkin menjelaskan mengapa ada gambar bra merah melambai di sampul buku.
Tanpa perlu terlalu terpengaruh oleh klaim-klaim penulisnya di bagian "pengantar", bagi saya pribadi, membaca esei personal memang selalu (lebih) menarik, dibanding misalnya tulisan komentar sosial atau opini politik. Tapi sekali lagi, saya tidak terlalu memberi harga pada kejujuran ataupun keberanian, karena pada dasarnya kita tidak pernah benar-benar tahu motif seorang penulis mengungkapkan kisah pribadinya --segamblang apapun ia berusaha menjelas-jelaskannya.
Kejujuran pastilah masih bisa menjadi jalan. Tapi, ia --apalagi diembel-embeli kata ajaib "brutal"-- bukan satu-satunya, dan kadang justru membunuh rasa penasaran kita. Atau, lebih buruk lagi, menghancurkan imajinasi kita. Apalagi jika kejujuran itu seolah-olah mendadak menjadi begitu penting sejauh menyangkut urusan-urusan seputar kehidupan seksual --kehilangan keperawanan, affair dengan orang yang sudah berkeluarga, atau flirting dengan orang-orang asing di medsos.
Saya lebih senang bisa dibuat terharu, misalnya lewat tulisan Mengejar Cinta ke Amerika, yang betapapun judulnya terdengar klise, tapi isinya jauh lebih menarik ketimbang bagian-bagian lain yang memperlihatkan betapa narsisnya si penulis dengan segala kisah cinta dan petualangan seksnya. Bagi pembaca lain, karena buku ini dimaksudkan sebagai "jalan tengah" sebelum lahirnya memoar utuh yang entah kapan ("menunggu waktu itu sempurna datang"), setelah membaca buku ini, barangkali akan semakin tak sabar untuk mengetahui kisah selengkapnya. Tapi, bagi saya, buku ini sudah lebih dari cukup.
Mumu Aloha wartawan, editor
(mmu/mmu)