Subaltern Rhoma Irama dalam Konser Deep Purple

ADVERTISEMENT

Pertunjukan

Subaltern Rhoma Irama dalam Konser Deep Purple

Joko S Gombloh - detikNews
Jumat, 17 Mar 2023 13:45 WIB
Rhoma Irama buka konser Deep Purple di Solo, Jumat (10/3/2023)
Rhoma Irama membuka konser Deep Purple di Solo (Foto: Tara Wahyu NV/detikJateng)
Jakarta -

Riff gitar yang sangat dikenal dalam lagu Smoke on The Water karya super grup Deep Purple lantang terdengar dari panggung gelap dan tertutup layar. Histeria ribuan penonton yang menyesaki gedung edutorium Universitas Muhammadyah Surakarta (UMS) langsung pecah bergemuruh. Seperti penyambutan datangnya Kleos, pahlawan termasyur dan mulia.

Namun histeria yang menempik sorak kerinduan itu seketika berubah kontras. Ketika layar panggung disingkap, dan sorot cahaya perlahan memancar, bukan gitaris Simon McBride yang dilihatnya. Tapi, sesosok pedangdut tersohor yang menjadi raja di kerajaan musik dangdut Indonesia: Rhoma Irama bersama gitar buntungnya. Penonton kembali riuh, dengan seabrek tanya dalam benaknya.

Tiba-tiba seseorang berlari menghampiri Rhoma, meminta sang raja untuk menghentikan aksinya. Riff pembuka Smoke on The Water berhenti, digantikan lagu Hari Berbangkit, salah satu hits yang diciptakan oleh Rhoma. Bang Haji kemudian melanjutkan aksi lagu-lagu berikutnya, bersama grup Soneta yang dibentuknya.

Insiden itu banyak dipandang sebagai trick pertunjukan, gimmick. Lucu-lucuan untuk meraih efek kejut pementasan. Tapi yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah peristiwa penting yang mengingatkan praktik subaltern dalam poskolonialisme. Apalagi tersebar kabar, momen tersebut bukan lucu-lucuan. Tetapi memang dilakukan oleh crew dari Deep Purple agar Rhoma menghentikan permainan gitarnya. Peristiwa ini memancing diskusi posisi musik Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan hegemoni musik pop yang masih berasa.

Sebagai pembuka konser Deep Purple, Rhoma memegang kata kunci hibriditas musik rock di Indonesia. Apalagi Rhoma menempati posisi agung bagi para pecinta dangdut, yang popularitasnya tak diragukan lagi dalam lanskap musik Indonesia. Rhoma adalah legenda hidup, sebagaimana grup rock God Bless yang turut mendampingi konser Deep Purple pada Jumat (10/3) malam itu.

Ruang Antara

Rhoma bagi pengikutnya yang ratusan juta penikmat dangdut, meminjam diksi poskolonialis Homi Bhabha, adalah subaltern yang menyediakan "ruang antara" musik "kita" dengan musik "mereka" yang dari negeri Barat. Ruang antara yang menjadikan musik Indonesia memiliki identitas karakter yang khas, yaitu musik dangdut. GR Lono Lastoro Simatupang, antropolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) bilang, "Dangdut is very very Indonesia!"

Rhoma, yang pada mulanya memainkan musik Melayu, adalah narasi oposisi biner antara musik rock (Barat) dengan orkes Melayu yang lahir, tumbuh, dan berkembang di Indonesia (Timur). Keduanya saling beroposisi dalam kontestasi musik popular Tanah Air. Oposisi saling berhadapan itu nyata Ketika ia berseteru dengan Achmad Albar dengan God Bless yang memainkan rock. Saling ejek dan hujat di media, hingga duel meet, tarung di atas panggung. Peristiwa ini menggerakkan Rhoma untuk mengatur strategi: mengubah orientasi bermusiknya dengan mengomsumsi rock! Deep Purple salah satu yang dipelajarinya.

Kehadiran Deep Purple, juga grup rock lainnya, seperti penyejuk di dalamnya. Betapapun ia diposisikan sebagai musik yang menghegemoni selera musik Tanah Air, tapi benarkah para pemusik di Indonesia hanyalah kaum inferior yang hanya siap untuk memamah apa saja yang disuguhkan dalam rock? Rhoma memilih berada di dalam "ruang antara", yaitu menempati ruang ketiga yang memungkinkan untuk mendapatkan semuanya. Ia ruang perjumpaan rock dan dangdut yang bakal melahirkan karya-karya hibrida berkelas, yaitu ruang liminal yang halus dalam menangkap sekaligus melawan hegemoni musik Barat.

Pada ruang ambang inilah Rhoma menemukan strategi perlawanan terhadap dominasi wacana hegemoni rock. Tidak secara frontal, melainkan dengan melakukan "persetubuhan" budaya: mentransformasi tanda-tanda budaya musik rock dengan elemen musik Melayu, hingga menghasilkan identitas musik baru. Ia mengembangkan orientasi artistik musik Melayu dengan mengapropriasi dan mengadaptasi elemen-elemen rock. Ia menyesap banyak idiomatika musik Deep Purple dalam karya-karyanya. Bahkan karakter sound gitarnya mengacu pilihan warna Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple pada masa awal kejayaannya.

Rhoma dalam hal ini tidak mempermasalahkan seberapa menindasnya musik rock. Ia lebih mempersoalkan betapa tajamnya pembedaan dangdut dan rock yang mengekalkan oposisi biner, yang membagi perbedaan secara absolut pertentangan identitas. Rhoma, sebaliknya, mampu menciptakan ruang simbolis dengan melakukan lompatan budaya yang membebaskan diri dari binerisme tersebut. Ia subaltern musik Melayu dan rock yang memuncak pada hibrida musik berjuluk dangdut. Ia mampu menunjukkan dinamika pembentukan identitas musik dangdut yang kuat dan dinamis di tengah goncangan musik pop yang dominan. Genre rock yang dilahirkannya ini adalah elan vital dalam kontestasi di palagan musik populer Indonesia.

Penampilan Rhoma bersama Soneta mulai menggunakan panggung raksasa, sound system ratusan ribu watt. Soneta ingin ekual dengan Deep Purple band rock yang menjadi panutannya itu. Ia bahkan melampaui gigantisme panggung dan sound yang digunakan oleh God Bless dan grup-grup rock Indonesia lainnya kala itu. Rhoma kemudian ditahbiskan sebagai sosok revolusioner dalam budaya pop, terlebih ketika ia juga menjamah dunia film. Ia bintang pop yang sanggup memaksa warga desa patungan menyewa truk untuk melihat konser Soneta, juga menonton film-filmnya di bioskop-bioskop yang menjadi tempat hiburan mewah pada masa itu.

Maka, setelah insiden intro Smoke on The Water, Rhoma melenggang dengan lagu-lagu berikutnya, seperti Gali Lobang, Fitnah, Adu Domba. Ajib! Sekitar 7 ribu penonton yang hadir pada konser Deep Purple malam itu khusuk menziarahi lagu-lagu dangdut tersebut. Hal yang muskil terjadi pada pementasan yang menghadirkan super grup dunia. Ingat, mereka yang menyesaki edutorium UMS itu adalah kaum gaek fanatisan Deep Purple yang datang dari kota-kota besar Indonesia. Kaum yang dulu sangat anti musik Dangdut!

Sementara God Bless yang tampil berikutnya adalah legenda hidup yang tidak pantas untuk disebut sebagai "kasur tua", seperti pernah dilontarkan oleh WS Rendra ketika menilai budaya tradisi. Kasur yang digambarkan sebagai tempat untuk memanen mimpi. Tapi kasur tua itu lusuh, kumal, dan kapuknya sudah keras, sehingga tidak nyaman untuk menyemai mimpi.

Para gaek Ian Antono (gitar), Achmad Albar (vokal), dan Abadi Soesman (keyboard) dalam tubuh God Bless seolah menepis analogi kasur tua. Dalam keriput tubuh yang semakin nyata, mereka tetap menjaga pesona sang bintang agar terus terpancar. Ian Antono lebih banyak terpaku di depan mikrofon, memainkan gitar sembari membantu vokal latar. Jemarinya lincah di atas frets, meluncurkan nada-nada melengking. Sementara Abadi Soesman yang setia mengenakan udeng penutup kepala mengimbangi harmoni nada-nada yang dimainkan Ian. Dua personel lainnya, Fajar Satritama (drum) dan Arya Setyadi sebagai pencabik bass tampak lebih energetik dengan usianya yang jauh lebih muda.

Achmad Albar tampak beberapa kali kedodoran saat melengkingkan nada tinggi. Ia lemparkan beberapa lirik kepada penonton untuk melanjutkan lagunya. Dibuka dengan Bla-Bla-Bla, God Bless meneruskan 9 lagu berikutnya, seperti Cermin, Semut Hitam, dan Kehidupan. Termasuk dua balada yang terkenal, yaitu Panggung Sandiwara dan Rumah Kita. God Bless memungkaskan penampilannya dengan dengan lagu berirama cepat, Trauma, yang dirilis pada 1988 dalam album Semut Hitam. Pada lagu Bara Timur yang menyisipkan gamelan Bali, mereka berpeluang untuk menyuguhkan citra rock lokal. Sangat disayangkan, penataan sound system kurang berpihak pada penampilan mereka. Sampling suara gamelan berubah seperti bunyi kotekan.

Sang Pembawa Kleos

Deep Purple adalah sang Kleos yang sejati. Dalam epos Odyssey bangsa Yunani, Kleos bukan semata termasyhur, tapi juga kemuliaan. Dalam usianya yang ke 57 tahun, dan dengan personel yang rata-rata usianya mendekati angka 80 tahun --kecuali gitaris Simon McBride (47 tahun) yang diangkat setahun lalu menggantikan Steve Morse -- Deep Purple adalah singa tua yang tetap ganas mencabikkan taringnya pada tubuh Wildebeest (Connochaetes), mamalia herbivora yang gesit di savana Afrika.

Teknik vokal Ian Gillan adalah virtuoso yang terlatih dan dirawat dengan ketekunan seorang penyanyi sopran (soprano) dalam tradisi musik seriosa. Ia, misalnya, di akhir lagu Anya, melolongkan nada panjang dan tinggi tanpa menanggalkan kejernihan yang prima. Atraksi ini menampik uzur tubuhnya yang tampak lemah, ringkih, yang membuat Gillan tidak banyak gerak dalam aksi panggungnya. Dan, ia bertahan dengan anggun sampai 13 lagu disuguhkan.

Simon McBride, gitaris kelahiran Belfast, yang secara resmi ditarik Deep Purple pada 16 September 2021, adalah gitaris energik dengan suara jernih dalam energitas rock yang mengentak. Ia cukup berbeda dengan Ritchie Blackmore yang dingin namun kasar. Simon digadang akan menaruhkan legacy penting sebagaimana dua gitaris sebelumnya, yaitu Ritchie Blackmore dan Steve Morse yang memiliki warisan panjang dengan Deep Purple. "Deep Purple memiliki sejarah gitaris hebat, jadi saya sangat terhormat diminta untuk menjadi bagian dari itu," kata Simon seperti dikutip dalam portal planetradio.co.uk.

Simon sesekali menyematkan solo gitar yang membawa komposisi lebih berkembang. Pada Lazy yang kuat aroma blues dan hard rock, ia memberikan untaian solo gitar yang memesona. Hingga keyboardist Don Airey memencet-mencet organ Hammond-nya, memunculkan tradisi jamming yang memikat antara Don dan Simon. Ian Paice yang rambutnya berubah poni lurus dan memutih tetap garang di balik set drum. Paice membabat permainan snare drum bertempo cepat pada pembuka konser, Highway Star. Roger Glover terbilang cukup atraktif dalam mencabik bass. Bersama Simon, ia menjaga blocking panggung selalu berimbang.

Pertunjukan diakhiri lagu Black Night setelah Gilan dan kawan-kawan membawakan encore, Hush, yang berirama ringan. Deep Purple memberi pengaruh penting hibriditas musik dangdut, sekaligus semangat yang selalu membara pada rocker gaek Indonesia. Insiden riff gitar Smoke on The Water seolah menyisakan jejak apa yang dilontarkan oleh pentolan grup The Doors, Jim Morrison, "The west is the best!"

Joko S Gombloh pengamat musik

Simak Video 'Momen Rhoma Irama Disetop saat Nyanyi oleh Kru Deep Purple':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT