Kematian ibu hamil adalah tragedi yang memilukan, tetapi lebih memalukan jika kematian terjadi karena aparat negara lebih mendahulukan prosedur daripada nyawa manusia.
Kematian ibu hamil ironisnya masih terjadi di negeri ini. Setiap tahunnya ribuan ibu hamil meninggal dunia. Data Unicef (2020) menunjukkan bahwa di Indonesia masih terjadi 7.800 kematian ibu hamil, setara dengan hitungan maternal mortality ratio (MMR) sebesar 173 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada tahun yang sama, angka MMR Indonesia jauh lebih tinggi dari Vietnam (124), Filipina (78), Brunei (44), Malaysia (21), dan Singapura (7).
Situasi ini telah terjadi terus menerus, menempatkan Indonesia dalam posisi yang begitu buruk dibandingkan negara tetangga yang telah disebutkan di atas. Lebih ironisnya, kematian ibu di Indonesia yang begitu tinggi itu, terjadi saat tiada perang, tidak kondisi darurat, dan tidak ada kondisi ekstrem yang menimpa Indonesia secara keseluruhan.
Terlambat
Sudah lama dipahami bahwa kematian ibu terjadi karena tiga terlambat. Terlambat pertama terjadi di keluarga, yaitu saat keluarga ibu hamil tidak memahami tanda-tanda bahaya yang mengancam nyawa ibu. Perdarahan, ketuban pecah dini, dan berbagai kondisi lain, sering diabaikan dan dianggap biasa oleh keluarga ibu hamil. Alhasil, ibu hamil kolaps dan jika dibawa ke pelayanan kesehatan, terlambat sudah, nyawanya tidak sempat tertolong lagi.
Terlambat kedua terjadi karena perjalanan menuju fasilitas pelayanan kesehatan begitu rumit. Jalan yang buruk, moda transportasi yang minim, lokasi rumah ibu hamil yang sulit akses, memberikan penjelasan mengenai kondisi keterlambatan ini. Jika ibu hamil hendak dibawa ke rumah sakit mengalami keterlambatan ini, momentum menyelamatkan nyawa semakin mengecil. Apalagi jika sejak dari awal terlambat pertama telah terjadi.
Terlambat ketiga adalah ketika ibu hamil terlambat ditangani di rumah sakit. Keterlambatan ini berhubungan dengan kesiapan rumah sakit, staf medis dan peralatan rumah sakit. Tanpa kesiapan sistem layanan kesehatan darurat, maka ibu hamil akan kehilangan nyawa dengan sia-sia. Kematian yang terjadi di layanan kesehatan atau setidak-tidaknya saat ibu telah tiba di rumah sakit, menunjukkan bobroknya prosedur pertolongan pada ibu hamil.
Itulah yang terjadi pada ibu hamil, yang sempat ditolak oleh pihak rumah sakit umum daerah di Subang. Alih-alih menyelamatkan nyawa, prosedur administrasi institusi ternyata jauh lebih dipentingkan daripada menyelamatkan kehidupan. Padahal itu adalah rumah sakit milik pemerintah, dibiayai dari uang negara.
Jelas ini menjungkirbalikkan upaya yang selama ini telah dilakukan secara masif di lapangan. Untuk mencegah terjadinya kematian ibu di Indonesia, negara telah lama mengambil alih peran. Para calon bidan diminta belajar sangat intensif menggunakan kurikulum yang dikendalikan oleh negara.
Sejak semester tiga kuliah, calon bidan telah ditempatkan di masyarakat untuk belajar mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai tanda dan bahaya persalinan. Mereka belajar sampai ke pelosok. Demikian mereka lakukan sampai tamat pendidikan. Ketika tamat studi, mereka menjadi bidan desa, yang bekerja penuh waktu agar ibu-ibu hamil dapat memeriksakan kehamilannya dan bersalin ke fasilitas kesehatan.
Dinas Kesehatan, melalui APBN dan APBD, mengorganisasi beragam kegiatan mingguan dan bulanan. Hampir 300 ribu bidan kini menjadi pasukan penolong kematian ibu di berbagai wilayah di Indonesia. Bukan hanya bidan. Para kader juga bekerja di desa. Mereka mengajak para ibu hamil memeriksakan diri dan meningkatkan pemahaman mengenai kehamilan dan persalinan. Tanpa pamrih, atau pun dengan insentif yang sangat kecil dari dana desa, para kader ini bekerja siang dan malam. Kadang, gerakan melibatkan suami pun dilakukan, agar ibu hamil mendapatkan layanan kesehatan yang memadai.
Bukan hanya mereka. Para dokter di puskesmas juga dibekali pelatihan. Mereka dididik untuk dapat melakukan prosedur persalinan normal dan langkah-langkah merujuk ibu hamil yang memerlukan pertolongan. Tiap-tiap tahun tenaga kesehatan dididik, keterampilannya ditingkatkan, menggunakan anggaran negara yang begitu besar. Semuanya untuk sebuah tujuan penting: menurunkan angka kematian ibu. Itulah komitmen negara.
Ironisnya, saat tiba di rumah sakit yang dimiliki negara, ibu hamil ditolak karena layanan gawat darurat rumah sakit penuh, demikian alasan yang kita dengar. Para bidan, kader-kader dan para dokter yang selama ini berjibaku di lapangan mendengar hal ini mungkin akan terisak dalam tangisan. Saat setiap hari mereka berjuang menyelamatkan nyawa, rumah sakit justru mengabaikan perannya. Apa arti dari pengorbanan mereka-mereka yang selama ini berlelah-lelah di tahap paling awal, jika ternyata di ujungnya, satu nyawa saja ternyata tidak dapat diselamatkan hanya karena alasan yang tidak dapat diterima akal sehat?
Bukankah ruang gawat darurat itu merupakan tempat di mana situasi setiap pasien dilihat dan jika harus melakukan tindakan segera, perlu ada upaya darurat pula? Kenapa jika kejadian luar biasa (KLB) ruang gawat darurat bisa digunakan menampung pasien, sementara satu ibu hamil yang membutuhkan pertolongan pun tak diberikan ruang? Benarkah ada dokter dan perawat di ruang gawat darurat rumah sakit tersebut dan yang dengan segala ilmu yang dimiliki dan izin praktik yang dilegalkan negara, telah memberikan penilaian yang berkualitas, sesuai dengan kondisi pasien, disertai pemeriksaan tanda-tanda vital dari ibu hamil tersebut?
Itu pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita terheran-heran ketika membaca peristiwa ini. Satu saja kematian ibu sebenarnya adalah tragedi karena lebih dari satu kematian ibu hanyalah data statistik belaka. Begitulah yang selalu kita sampaikan kepada para penentu keputusan, agar benar-benar serius menekan kematian ibu hamil, apalagi jika terjadi di layanan kesehatan di perkotaan. Benar bahwa proses adminitrasi harus dipenuhi, tetapi seharusnya rumah sakit milik negara berkepentingan mengabaikan hal itu, mengesampingkan berkas-berkas kertas, demi nyawa manusia. Negara bertanggung jawab menyelamatkan nyawa ibu hamil!
Tanggung Jawab Negara
Peristiwa ini menunjukkan betapa sisi kemanusiaan justru tidak dimiliki oleh rumah sakit, yang berdiri karena izin negara. Correa dan Petchesky (1994) pernah menuliskan sejumlah pihak dalam rangkaian kematian ibu hamil yang alih-alih berperan mencegah, mereka justru membiarkan kematian ibu hamil terjadi. Salah satunya adalah negara, yang sering sekali tidak memastikan rumah sakit bekerja maksimal untuk menolong mereka yang paling membutuhkan.
Negara membiarkan rumah sakit mendefinisikan ibu hamil yang memerlukan pertolongan dan yang mana yang tidak. Bukannya mencegah kematian ibu hamil, negara, meminjam istilah Robert Pool dan Geissler (2005), justru telah membiarkan terjadinya "kekerasan struktural". Kekerasan struktural ini adalah hambatan perilaku dan pilihan-pilihan bagi individu, yang terjadi karena ketidaksetaraan yang terinstitusionalisasi melalui perbedaan kesejahteraan dan kekuasaan, khususnya pada mereka yang terpinggirkan dan mereka yang miskin.
Keluarga ibu hamil tersebut adalah kelompok yang menjadi korban kekerasan struktural, kelompok yang sama sekali tidak berdaya. Mereka hanya bisa menurut ketika dari rumah sakit ke rumah sakit mereka harus berpindah-pindah, karena mereka bukan siapa-siapa. Mereka tidak bisa memaksa rumah sakit menerima mereka karena negara tidak pernah mengakomodasi hal tersebut.
Justru, sosok-sosok yang tak punya akses dan tak punya pilihan saat mereka membutuhkan layanan kesehatan darurat ini, dibiarkan terus menerus (oleh negara) saat sering "disiksa" ketika berkunjung ke rumah sakit (fasilitas kesehatan). Layanan rumah sakit mana yang paling sering dikeluhkan oleh masyarakat? Bukankah lebih sering yang dimiliki oleh negara?
Inilah fakta di balik peristiwa ini. Di satu sisi kita lantang berteriak menyelamatkan nyawa ibu hamil, di sisi lain negara hanya bergerak ketika kematian terjadi dan menghebohkan publik. Keluarga-keluarga ibu hamil yang tak punya kemampuan apa-apa, tak punya akses pada kekuasaan, sering hanya bisa pasrah, dibiarkan mengalami "takdir" sebagai orang kecil. Tak heran, karena kematian ibu hamil di Indonesia tak dianggap tragedi yang memalukan.
Fotarisman Zaluchu pengajar di Prodi Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara, PhD dari University of Amsterdam