Perjuangan para perempuan dalam menyelamatkan sumber daya alam tidak pernah mudah. Ada lapisan relasi kuasa yang harus dilawan. Sehingga butuh pertahanan dan perjuangan berlapis yang harus dilakukan. Ironisnya, perjuangan berlapis ini tak diiringi dengan perlindungan hukum yang komprehensif.
Para perempuan ini tidak hanya melawan para pelaku perusak lingkungan, oknum aparat penegak hukum, dan pemangku kebijakan, namun juga dengan sahabat, anggota komunitas bahkan kerabat sendiri. Para perempuan tidak dilibatkan dalam setiap tahapan proses keputusan hingga pengalaman perempuan yang dipandang tidak menguntungkan dalam mengelola sumber daya alam.
Posisi perempuan yang masih subordinat dalam pengambil keputusan dan perempuan masih dipandang hanya pemangku ruang domestik yaitu urusan pangan, rumah, dan kesehatan keluarga menjadi hambatan bagi perempuan untuk melakukan perlawanan. Proses menuju perlawanan itu pun diawali dengan penolakan-penolakan dari sahabat bahkan kerabat.
Setelah berhasil melewati hambatan klise ini, para perempuan harus dihadapkan dengan upaya-upaya represif saat melakukan aksi perlawanan. Ancaman psikologis, ancaman kekerasan fisik hingga kriminalisasi dialami oleh perempuan-perempuan ini. Begitu panjang nan berliku perjuangan perempuan untuk melindungi sumber kehidupan.
Tentu sudah menjadi keharusan negara memberikan perlindungan hukum bagi perempuan yang berjuang melindungi lingkungan hidup. Sebab hak memperoleh lingkungan yang sehat, memperoleh rasa keadilan, rasa aman, dan perlindungan terhadap ancaman dan kekerasan merupakan hak asasi manusia sekaligus hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 66 telah menegaskan bahwa orang-orang yang berjuang melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak dapat digugat secara perdata maupun pidana. Tetapi das sein-nya masih banyak mereka yang berjuang melindungi sumber daya alam dan lingkungan hidup tetap dijerat hukum.
Berkaca pada kasus kekerasan yang dialami perempuan-perempuan di Desa Wadas Purworejo 8-11 Februari 2022 berjuang agar desanya tidak menjadi tempat penambangan batuan andesit dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangunan Bendungan Bener. Para perempuan ini harus mengalami tindakan represif aparat kepolisian saat sedang mujahadah (bersalawat). Bahkan puluhan warga ditangkap oleh polisi karena dituduh sebagai provokator.
Hal serupa juga dialami perempuan-perempuan di Pulau Wawoni, Sulawesi Tenggara yang berjuang agar desanya tidak digusur untuk pembangunan jalan aktivitas tambang PT Gema Kreasi Perdana pada Maret lalu. Para perempuan Wawoni berada di garis depan menghadang eksavator kuning milik perusahaan yang ingin menggusur kebun mereka. Hartina, salah satu perempuan paruh baya bahkan ikut menghadang dengan menaiki eskavator. Perempuan-perempuan ini pun juga mengalami tindakan represif dan ancaman dari aparat kepolisian. Bahkan ada yang ditangkap yaitu La dani, yang dituduh melakukan penyekapan karyawan PT Gema Kreasi Perdana.
Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh perempuan-perempuan Warga Wae Sano, Manggarai Barat yang menjadi garda terdepan penolakan proyek geothermal PT Geo Dipa Energi. Dampak pembangunan proyek geothermal ini akan memusnahkan sumber kehidupan warga Wae Sano yang bertumpu pada alam. Perjuangan ini demi keberlangsungan kehidupan dan demi anak cucu masa depan.
Perlindungan Hukum
Menyangkut urusan pangan bagi perempuan bukan hanya sebatas urusan dapur, namun meliputi bentang alam: kebun, sungai, hutan, dan laut. Sehingga tak ragu, jika urusan dapur dirampas, maka kaum perempuan akan menjadi garda depan dalam memperjuangkan hal tersebut. Peluang para perempuan ini mengalami ancaman dan kekerasan pun cukup besar.
Dari catatan tahunan Komnas Perempuan yang di-launching pada awal Maret 2023, pada 2022 kekerasan yang dialami perempuan dalam konflik sumber daya alam berjumlah 11 aduan dan jumlah yang sama untuk konflik agraria. Lalu jenis kekerasan yang dialami perempuan yang berhadapan dengan hukum melibatkan aparat penegak hukum berupa kriminalisasi sebanyak 18 kasus. Bahkan telah terjadi peningkatan kekerasan yang dialami perempuan di ranah negara yang hampir 80% (68 kasus) jika dibandingkan pada 2021(38 kasus).
Peningkatan jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan di ranah negara tentunya menjadi perhatian khusus. Sebab negara yang seharusnya melindungi harkat dan martabat warganya malah turut andil mengancam kehidupan warga. Terkhusus lagi perempuan-perempuan yang berjuang melawan pengrusakan lingkungan hidup yang rentan mengalami kekerasan dan ancaman dari berbagai pihak.
Perlawanan perempuan-perempuan dalam melindungi sumber kehidupan sering berhadapan dengan pihak-pihak perusahaan, aparat penegak hukum, dan pemerintah. Bahkan kadang perlawanan datang dari orang terdekat. Di satu sisi mereka harus melawan ketakutan terhadap ancaman penguasa dan di sisi lain ketakutan akan hancur dan hilangnya sumber kehidupan mereka. Hal ini tentu menambah betapa kompleksnya posisi perempuan yang berjuang terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Oleh sebab itu perlindungan hukum bagi perempuan pejuang lingkungan hidup tidak semata terbatas pada rumusan perlindungan yang termaktub dalam Pasal 66 UU PPLH. Perlu aturan turunan yang menyadur konsep pemberian perlindungan khusus pejuang lingkungan hidup. Bahkan para penegak hukum harus memiliki pedoman dalam hal perkara perlindungan sumber daya alam dan lingkungan terutama bagi pejuang lingkungan hidup.
Ifziwarti peneliti Yayasan Auriga Nusantara
(mmu/mmu)