Tantangan Profesionalisme Penyelenggara Pemilu 2024

ADVERTISEMENT

Kolom

Tantangan Profesionalisme Penyelenggara Pemilu 2024

Nurhadi - detikNews
Senin, 13 Mar 2023 13:00 WIB
11 Prinsip Penyelenggara Pemilu
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Jangan berharap banyak untuk bisa lolos menjadi penyelenggara pemilu daerah, Mas kalau tidak punya jaringan luas. Begitu obrolan lama dengan beberapa dengan teman-teman Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), ketika dulu saya mau mendaftar sebagai penyelenggara pemilu tingkat kota.

Dan, sekarang ketika tahapan rekrutmen penyelenggara Pemilu 2024 sudah dimulai, semakin terasa pergerakan orang-orang yang berniat mendaftar; mereka mulai mendekati berbagai jaringan yang dianggap bisa memberikan rekomendasi. Bukan hanya untuk calon yang baru mau mendaftar saja, tetapi untuk para incumbent pun melakukan hal yang sama bahkan terlihat lebih "gercep". Ternyata jaringan yang luas tetap dianggap oleh mereka menjadi syarat tak tertulis yang akan memudahkan dalam proses seleksi.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa apa yang dilakukan mereka salah, bahkan boleh jadi malah bagus karena bisa menjadi tolok ukur keluasan pergaulan, atau bahkan bisa membantu pengamanan dalam pelaksanaan pemilu nanti.

Sebenarnya jaringan itu penting, dan kita memang sudah seharusnya berjejaring dengan berbagai komponen sebagai indikator keluasan dalam bergaul dan berkontribusi dalam pembangunan. Dan, itu semua dilakukan dengan mengedepankan fungsi-fungsi profesional dalam berinteraksi. Jaringan juga bisa menjadi alat kontrol yang baik bagi profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilu.

Tetapi yang menjadi kekhawatiran adalah munculnya persepsi bahwa jaringan itu justru menjadi syarat utama tak tertulis yang bisa menjadi kunci untuk lolos dalam proses rekrutmen penyelenggara pemilu, sehingga bisa menutupi kriteria utama lain yang menjadi persyaratan.

Apalagi kalau kemudian sering muncul isu jalanan bahwa sebenarnya peta yang akan lolos menjadi penyelenggara itu sudah dibuat sejak awal sesuai dengan peta dukungan jaringan yang dimiliki. Nah, kalau ini yang terjadi, maka dikhawatirkan akan menjadi syarat yang berbau kepentingan, karena toh banyak juga para politisi yang bernaung di bawah jaringan organisasi masyarakat. Dan, akhirnya akan bisa menjadi beban untuk bisa balas budi kalau nantinya lolos menjadi penyelenggara pemilu.

Lantas, kalau itu yang terjadi, maka pertanyaan yang muncul di benak kita adalah "di mana letak profesionalismenya?" Padahal kita semua tahu bahwa tantangan menjadi penyelenggara pemilu itu cukup berat, sehingga integritas dan profesionalisme adalah kompetensi yang wajib dimiliki mereka.

Kelelahan

Salah satu tantangan penyelenggara pemilu yang sering dialami di lapangan, misalnya pengalaman saya sendiri ketika menjadi penyelenggara, saat itu suasana cukup panas, yaitu ketika kami para komisioner KPU Daerah sedang memimpin rapat pleno rekapitulasi suara pemilu legislatif 2014.

Ketika itu semakin malam massa yang hadir semakin banyak. Bagi penyelenggara, situasi seperti ini cukup kritis, karena secara fisik sudah mulai lelah mengingat rapat pleno sudah sudah berlangsung sejak siang, dan kelelahan sering menjadi faktor ketidakcermatan.

Situasi seperti ini sering dimanfaatkan oleh sebagian orang yang membawa kepentingannya sendiri. Apalagi ketika massa yang hadir adalah juga politisi dari jaringan ormas yang mungkin pernah memberi rekomendasi buat seseorang menjadi penyelenggara pemilu. Di sinilah mental, integritas profesionalisme, dan komitmen para penyelenggara pemilu untuk bersikap jujur dan adil akan diuji.

Contoh lain, seorang teman menyampaikan tentang masih adanya penyelenggara pemilu di lapangan, seperti di tempat pemungutan suara (TPS) tingkat kelurahan (PPS), maupun tingkat kecamatan (PPK) yang belum memahami aturan dan prosedur pengawalan suara.

Misalnya, dia pernah melihat panitia di TPS bahkan PPS gagap ketika ada masalah; mereka seperti kebingungan dan mudah sekali dimainkan oleh para saksi. Apalagi ketika saksi dari partai politik mendebatnya dengan kata-kata yang keras. Dan, parahnya lagi petugas di lapangan tadi mentalnya sudah jatuh duluan, sehingga aturan yang mereka pahami langsung ambyar.

Kurang Memahami Aturan

Sebenarnya permasalahan utamanya karena mereka kurang memahami aturan, jadi tantangan yang berat dalam penyelenggaraan pemilu sering tidak dibarengi dengan penguatan kapasitas penyelenggara yang profesional. Kadang mereka hanya dibekali hal-hal teknis penyelenggaraan pemilu saja, tetapi dari sisi mental, nilai-nilai atau pun soft skill lain masih belum maksimal.

Tantangan lain adalah bahwa mengelola pemilu itu bisa jadi lebih rumit dari perang, karena dalam sebuah perang fisik pasti ada korban, atau bisa saja boleh ada korban, wong namanya juga perang. Sedangkan kalau pemilu sebagai pesta demokrasi, tidak boleh satu pun ada korban, dan juga dalam pelaksanaannya harus tepat waktu sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Jika mundur satu menit saja, maka akan dianggap tidak cermat yang bisa berujung gugatan terhadap hasil pemilu, atau pun berujung pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pantas dalam sebuah acara orientasi penyelenggara pemilu daerah, Ketua DKPP saat itu bertanya sambil berseloroh kepada para anggota KPU daerah yang menjadi peserta: "Kok Anda mau jadi penyelenggara pemilu, padahal berat, karena yang Anda hadapi nanti adalah orang yang ingin berkuasa, yang mungkin bisa saja melakukan berbagai cara."

Saya yang saat itu menjadi salah seorang peserta tentu paham maksudnya, bahwa kami sebagai penyelenggara pemilu di daerah harus siap dengan segala kemungkinan. Nah, jika hal itu dipahami menjadi sebuah tantangan bagi para penyelenggara Pemilu 2024, maka tuntutan profesionalisme menjadi sangat krusial dan mendesak.

Profesionalisme harus dimulai dari proses rekrutmen yang profesional. Proses rekrutmen harus transparan, di mana tidak ada titipan orang di bawah standar yang berbau kepentingan. Dan, tidak boleh ada jaringan organisasi yang mungkin merekomendasikan calon yang lolos menjadi penyelenggara, nantinya akan menjadi beban sejarah, karena membuat penyelenggara menjadi tersandera ketika menyelenggarakan tahapan pemilu.

Dan, yang penting juga adalah sistem kontrol dan pengawasan yang partisipatif dan melibatkan masyarakat. Karena sekali lagi, tantangan penyelenggara Pemilu 2024 semakin kompleks, di mana pertama kali kita akan melaksanakan pemilu serentak, pemilu legislatif dan pemilu presiden di waktu yang sama, dan pada tahun yang sama pula kita akan melaksanakan pilkada serentak.

Akhirnya kita berharap pada penyelenggara Pemilu 2024 nanti betul-betul profesional dan memiliki kapasitas yang baik, sehingga proses dan hasil pemilu menjadi berkualitas dan memiliki legitimasi yang kuat.

Nurhadi pemerhati pemilu dan demokrasi, akademisi yang juga Sekretaris Umum ICMI Orda Kota Depok

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT