Kemunculan teknologi transportasi berbasis aplikasi atau transportasi online di satu dekade terakhir banyak diposisikan sebagai penggerus jumlah penumpang angkutan umum. Beberapa pihak bahkan menyatakan bahwa teknologi disruptif ini adalah ancaman serius bagi keberlanjutan angkutan umum perkotaan di Indonesia. Padahal, perkembangan teknologi tidak bisa dicegah eksistensinya di era digital saat ini.
Karenanya, kehadiran inovasi teknologi di sektor transportasi perlu dipandang sebagai sebuah peluang dalam mendukung dan mengoptimalkan layanan angkutan umum yang ada. Terkait hal tersebut, integrasi angkutan umum dengan jasa transportasi online dapat dijadikan salah satu kunci keberhasilan transportasi berkelanjutan di era digitalisasi.
Integrasi keduanya berperan bukan hanya di dalam menyelesaikan masalah penyedia transportasi publik, namun juga menyelesaikan permasalahan yang seringkali berada di luar jangkauan otoritas penyedia transportasi publik. Seperti permasalahan tata kota yang membuat laju perluasan jangkauan ataupun pembangunan berorientasi transit selalu tertinggal dengan perluasan wilayah pemukiman kota (urban sprawl).
Artinya, integrasi keduanya diharapkan tidak hanya membantu mempertahankan jumlah penumpang transportasi publik namun juga berpotensi mendukung percepatan peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik.
Negara lain pun mengintegrasikan angkutan umum dengan layanan transportasi online. Sebagai contoh, otoritas transportasi di Southeastern Pennsylvania (SEPTA) melakukan kemitraan dengan perusahaan transportasi online guna meningkatkan jumlah pengguna kereta komuter. Salah satunya, dengan memberikan diskon 40%, dengan diskon maksimal 10 USD per perjalanan, bagi penumpang kereta komuter yang menggunakan layanan transportasi online sebagai first and last mile mode nya (kendaraan dari rumah menuju stasiun dan sebaliknya).
Hal ini dilakukan setelah SEPTA menemukan bukti bahwa lebih dari 20 persen penggunanya menggunakan layanan transportasi online untuk mencapai stasiun kereta api komuter. Tercatat, negara lain seperti Kanada, Chile, India, dan Amerika Serikat juga mengintegrasikan transportasi online sebagai penyedia layanan first and last mile.
Peluang ini pun juga mulai diterapkan di Indonesia. Konsep density as destiny untuk keberhasilan angkutan umum (angkutan umum akan lebih berhasil jika rutenya melewati kawasan yang penduduknya sangat padat) yang masih sulit diterapkan di kota-kota di Indonesia, utamanya Jabodetabek, akibat tata guna lahan yang kurang terkendali dan sedikitnya hunian vertikal, bisa dioptimalkan dengan memanfaatkan layanan transportasi online sebagai first and last mile mode.
Meskipun cakupan pelayanan angkutan umum massal di Jakarta sudah mampu menjangkau 96,1 persen penduduknya di kawasan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) baru menjangkau 26,2 persen penduduk saja. Ironisnya, dengan tingkat keterjangkauan yang tinggi di Jakarta, transportasi umum masih belum menjadi pilihan utama mobilitas warga.
Menurut Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Hasil Sakernas 2020 yang dilakukan oleh Bappenas, bahkan di masa sebelum pandemi pun persentase jumlah pekerja komuter yang menggunakan transportasi umum hanya berjumlah 12% di tahun 2019 dan 89% masih menggunakan transportasi pribadi, baik roda dua maupun roda empat.
Salah satu inovasi yang telah dilakukan operator on-demand Gojek, GoTransit, patut diapresiasi. GoTransit menghubungkan pengguna dengan transportasi multimoda. Selain bisa membeli tiket KAI Commuter, GoTransit juga menyediakan alternatif rute, waktu perjalanan, dan biaya untuk membantu penumpang kereta komuter menentukan perjalanan terbaiknya dari titik asal (rumah) ke titik tujuannya (misalnya: tempat kerja). GoTransit yang telah beroperasi wilayah Jabodetabek yang menjadi bukti nyata perlunya integrasi antara angkutan umum dengan transportasi online.
Data dari Gojek, misalnya, di mana satu dari dua penggunanya pernah mengakses layanan transportasi online menuju hub transportasi publik. Data dari sumber yang sama bahkan menyebutkan bahwa perjalanan menuju hub transportasi publik meningkat hingga 81% di tahun 2022, setelah mobilitas kembali pulih. Alhasil, dalam waktu yang cukup singkat GoTransit sukses meningkatkan transaksi tiket digital KAI Commuter mencapai 300%.
Integrasi lainnya juga terdapat di wilayah operasional Yogyakarta-Solo. Meskipun sudah tersedia layanan angkutan umum Bus TransJogja dan Batik Solo Trans di area perkotaan Yogyakarta dan Solo, ada beberapa penglaju dengan kereta komuter yang rela memarkirkan sepeda motornya di stasiun tujuan sebagai last mile mode nya (kendaraan dari stasiun tujuan ke tempat tujuan akhir). Sehingga, penglaju tersebut minimal harus memiliki dua sepeda motor: sepeda motor pertama digunakan untuk perjalanan dari rumah ke stasiun asal, dan sepeda motor kedua digunakan dari stasiun tujuan ke tempat tujuan akhirnya.
Atau, cukup memiliki satu kendaraan namun perjalanan dari rumah ke stasiun asal diantar oleh orang lain. Integrasi angkutan umum dan transportasi online yang tepat sasaran dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga ke depannya, pengintegrasian dan peningkatan pelayanan angkutan umum diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum, tapi juga mampu menekan keinginan seseorang untuk memiliki kendaraan pribadi.
Di India, integrasi ini juga berdampak ke kepemilikan kendaraan bermotor. Meskipun kepemilikan kendaraan pribadi tetap tumbuh setiap tahunnya, pertumbuhannya terus melandai berkurang sekitar 7,7% sejak munculnya layanan transportasi online, dan dampak ini tampak lebih nyata dari waktu ke waktunya.
Rencana integrasi selanjutnya adalah dengan Bus Transjakarta, sebagaimana yang beberapa waktu lalu diberitakan. Meskipun pemerintah juga sudah menginvestasikan integrasi Bus TransJakarta dengan Jaklingko, integrasinya dengan transportasi online diharapkan dapat lebih memperluas jangkauan bus Transjakarta dan memberikan alternatif kendaraan yang lebih banyak untuk first and last mile nya bagi pengguna bus TransJakarta. Karena perlu diingat juga bahwa untuk operasional rute yang ada saat ini, Pemprov DKI menggelontorkan subsidi hingga 3,5 triliun Rupiah setiap tahunnya.
Sebagai penutup, sudah selayaknya membangun budaya kolaborasi yang lebih aktif di antara semua pemangku kepentingan transportasi publik dengan penyedia teknologi, kendati melihatnya hanya dari perspektif transportasi publik yang sangat sempit. Karena jika tidak bergerak cepat dalam kolaborasi, alih alih meningkatkan jumlah pengguna angkutan umum, malah terjadi perpindahan preferensi dari angkutan umum ke transportasi online.
Muhammad Zudhy Irawan, Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada
(ncm/ega)